Bocah

24 7 0
                                    

Tari berjalan melewati jalanan bebatuan yang menurun. Baru saja dia kembali dari tempat yang beberapa hari ini menjadi tempat penelitiannya. Jalannya cukup curam, oleh karena itu dia enggan membawa motor sendiri dan memilih naik ojek di depan gang.

Di kanan kiri jalan tidak ada banyak rumah. Hanya ada beberapa saja dan itu pun jaraknya berjauhan. Daerah ini masih terdapat banyak pepohonan.

Tari memelankan langkah saat mendengar tangisan. Kepalanya menoleh ke sana kemari mencari sumber suara. Akan tetapi dia tidak menemukan siapa pun.

Seketika tubuhnya merinding.

Tari lalu berjalan tergesa-gesa. Beberapa langkah kemudian, dia mendadak terhenti. Dia melihat seseorang di pinggir jalan—yang tadi posisinya terhalang pohon besar.

Tampaknya itu seorang bocah laki-laki. Dia sedang berjongkok dan membenamkan wajahnya di kedua tangan yang bertumpu.

Tari pun menghampirinya.

"Kamu kenapa, Dek?"

Bocah itu menghentikan isakkannya, lalu mendongak.

"Mau pulang ...."

"Rumahnya di mana emang?"

"Enggak tau."

"Tadi kamu dari mana?"

"Sana." Bocah itu menunjuk jalan setapak di seberang.

Tari menarik bocah itu hingga berdiri. "Ya udah, ayo, Teteh anter."

Lalu menuntunnya ke jalan setapak tersebut. Mungkin saja di sana ada pemukiman tempat tinggalnya.

Hari semakin petang. Angin sore bertiup kencang. Tidak ada percakapan selama perjalanan. Bocah itu bergeming dengan tangan yang terus dalam genggaman.

Hampir satu kilo meter perjalanan, barulah terdapat sebuah rumah di tempat yang bisa dikatakan seperti hutan itu.

"Itu rumah kamu?"

Bocah itu hanya menggeleng.

Rumah itu terlihat sepi. Pintu dan jendelanya sudah tertutup rapat. Memang waktunya sudah mau magrib. Beberapa puluh meter setelahnya baru terdapat rumah lagi.

Bocah itu berlari ke arah rumah tersebut, meninggalkan Tari beberapa langkah di belakangnya. Lalu berhenti di pelataran rumah. Tari pun menghampirinya.

"Ini rumah kamu?"

Bocah itu mengangguk.

"Alhamdulillah," ucap Tari. "Ya udah, kamu masuk. Teteh mau langsung balik aja."

Setelahnya, Tari berjalan melewati jalan setapak kembali hingga tiba di jalan utama dan sampai di depan gang.

"Tumben sampe sore banget, Neng," ujar tukang ojek yang menyiapkan motor.

"Iya, nih, Mang."

Langit sudah gelap saat dalam perjalanan. Memakan waktu setengah jam hingga sampai ke rumah Tari.

"Nih, Mang." Tari menyerahkan uang sejumlah yang biasanya ia bayar.

"Kurang atuh, Neng."

"Eh ... naik?"

Tukang ojek itu menggeleng. "Nggak. Atuh si Eneng, kan, berdua. Jadi bayarnya dobel."

Seketika Tari tertegun.

"Lah, berdua sama siapa?"

"Tah, bocah itu." Si tukang ojek menunjuk ke arah belakang Tari.

--
Malam Jumat, 17920.

Kripik SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang