Tapak

39 12 0
                                    

Ah, aku menyesal tidak menerima tawaran Ali untuk menginap di rumahnya. Akibatnya kini aku berjalan pulang sendiri setelah menyelesaikan tugas kelompok kami. Dan sialnya, malam ini sepi sekali. Entahlah, mungkin sudah menjadi kebiasaan warga sini, yang akan menutup pintu dan meninggalkan aktivitas di luar rumah jika sudah jam malam.

Jalan berbatu dengan pemandangan pepohonan di sisi kanan kiri kini mendominasi. Langkah terus kupacu secepat mungkin untuk melewati wilayah ini, sebab rasanya bulu kudukku merinding tiba-tiba. Lima puluh meter kemudian aku sampai di bagian depan desa, yang mana ada beberapa rumah warga. Sedikitnya itu membuatku lebih tenang.

Hampir tibalah aku di depan gang. Pada kedua sisi jalan gang terdapat tembok lumayan panjang dan tinggi—tembok pembatas dengan sebuah perusahaan pabrik. Lampu jalan pada tembok itu berpendar oranye.

Aku berjengit. Telingaku menangkap suara tapak sandal dari belakang. Tanpa menoleh untuk memastikan, aku dapat melihat bayangan orang di belakang, memanjang hingga ke depanku karena tertimpa cahaya lampu.

Ah, syukurlah ada orang lain di sini. Mungkin orang itu juga ingin bepergian dan akan menungu angkutan umum di depan gang sana. Aku pun berjalan dengan santai.

"Cihujan-Pancuran, Dek!?"

Tepat ketika aku sampai di depan gang, sebuah mobil angkot yang kutuju tiba. Abang tukang angkot menawari dan aku tanpa basa-basi langsung masuk. Deru gas mobil terdengar karena diinjak, aku pun segera menginterupsi sopir itu.

"Bang, tunggu dulu!"

Sopir itu menghentikan laju mobil. "Kenapa, Dek?" tanyanya kemudian.

Aku langsung menoleh dan melongok ke luar kaca mobil. Tetapi yang kutemui hanyalah jalan kosong yang sepi. Tak ada siapa pun di sana.

"Tadi ada yang mau naik angkot juga kayaknya," gumamku.

"Adek tadi jalan sendirian, kok," balas sopir itu sembari menoleh keheranan.

Seketika jantungku berdegup kencang.

Itu, tidak mungkin, kan?


--
Malming, 19/10/19.

Kripik SetanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang