Rumah, satu kata bermakna bagi setiap manusia, bagi Alderan sendiri ia masih belum menemukan arti sesungguhnya dari rumah yang kata orang bangunan tempat mereka kembali atau terkadang rumah tempat berpulang melepas lelah bukan hanya berupa bangunan tapi bisa juga seseorang yang selalu menyambut hangat dan membuka lebar lengannya.
Tapi bagi Alderan entah itu bangunan atau seseorang ia tak memiliki tempat untuk berpulang.
Jalanan besar yang membentang mulus di lengkapi indahnya pohon pohon yang berjalan rindang memberi kesan hangat, nyaman, dan sejuk membawa ketenangan bagi siapa yang bersandar di antara ranting pepohonan.
Namun kemana arah pohon berjalan disana rasa takut, khawatir, sesal, dan marah menumpuk satu persatu semakin tinggi semakin megah bangunan yang terlewati dan berhenti di persimpangan terakhir yang bernama rumah.
Dingin, gelap, sunyi, sendiri, dan sepi itulah rumah yang selama ini membesarkan Alderan sampai 16 tahun.
Ketika gelapnya malam semakin menutup warna jingga ke emasan langit di sore hari, ketika bayangan hangatnya mentari berubah menjadi bayangan ketakutan yang berusaha untuk di simpan rapat tanpa semakin membesar lebar menelan hidup menelan hidup.
Tanpa di sadari ketakutan itu semakin besar si sertai seringai meremehkan, Edward berdiri di sana langkahnya mantap dan penuh kuasa.
"Alderan, "
Sosok yang menjadi kunci hanya diam menahan nafas berusaha mati matian untuk bersikap santai dan dingin.
"Sudah cukup waktu bermainnya sampai Ayah harus datang dan menjemput mu. " Alderan menunduk, jika Ayah yang selalu sibuk dan tidak pernah menghampirinya setelah 16 tahun datang dan memintanya kembali apakah ia harus bahagia atau tertawa miris?
"Kau pikir bisa lari dari tanggung jawab dan nama Cillision? Kemana pun kamu melangkah Cillision akan tetap di belakangmu. " Tatapannya tajam menusuk, Edward mendekatkan tubuhnya pada Alderan, "Apa kamu tahu berapa banyak masalah yang kamu timbulkan?" Sorot matanya dingin dan mengintimidasi.
Alderan menyesal sungguh bisakah jam pasir berputar sekali saja dan ia akan kembali ke masa lalu dan lebih banyak mempersiapkan diri untuk kabur berlari menjauh dari pandangan pria tua di hadapannya sampai ia tak bisa hanya untuk memancarkan aura mengintimidasi nya.
'Tapi memang apa yang gue timbulkan hanya karena kabur dari rumah yang gak pernah ada gue di dalamnya?'
"Coba mundur beberapa langkah dan ingat apa yang sudah anak kedua Cillision ini lakukan di hari semua orang datang untuk berpesta menyanjung perusahaan Cillision?"
oh, saat pesta,.. 3 minggu yang lalu,.. saat itu ia bersama Yunus,... ia membawa laptop dan Yunus,.. flashdisk,...
SHITT!!
Bola mata Alderan membesar menyadari kemana arah pembicaraan ini membawa ingatan yang hampir ia lupakan atau mungkin berusaha ia lupakan untuk menutup rasa bersalah pada Yunus, namun sekarang biarkan Alderan menghadapi apa yang sudah ia buat. New problem.
Namun, Edward hanya mendengus kecil, tatapannya tetap tajam menusuk, "Ini bukan negosiasi atau permintaan Ayah pada anak nakalnya, " Tanpa basa basi, Edward menarik tangan Alderan membuatnya tersentak kaget.
"Pulang sekarang dan renungkan kesalahanmu bukannya kabur dan bersembunyi seperti tikus got. "
"Lepaskan. " Pinta pelan Alderan, "Kenapa aku yang harus bertanggung jawab dan merenungkan tindakanku? MEREKA YANG SALAH!. " Menghempas kasar tangan Edward.
Alderan menggenggam erat ujung kemeja sekolah yang masih melekat longgar di tubuhnya yang terasa sedikit mengurus, setiap malam bukannya mimpi indah yang datang menghampiri tapi rasa sesal dan sesak yang selalu datang seakan tak ada hari esok untuk berpulang.
Edward tetap pada posisinya, berdiri tegak tanpa sedikitpun memancarkan rasa simpati, sedih atau emosi yang bisa di rasakan manusia pada umumnya.
"Yunus anak itu tidak akan bisa menghindari hukuman berat setelah menyebarkan vidio menjijikan di depan tamu Cillision dan mempermalukan perusahaan bahkan Johnson tak akan bisa melepaskan anak itu saat perusahaan nya sudah di ambang bangkrut, pria itu tidak akan memiliki waktu untuk memikirkan anak yang menyebabkan semua ini terjadi. " Nada suaranya santai disertai tekanan yang menguar dalam setiap baris kalimat yang menghantam telak.
Deg,..
"Jika tidak mau pulang maka tinggal lah disini selama yang kamu mau dan lihat bagaimana Cillision bisa memanjarakan anak di bawah umur selama 4 tahun. Tidak ada yang tak mungkin jika itu menyangkut Cillision. "
Pelan, Alderan menggigit bibirnya gugup, tak menyangka Ayahnya akan tega memanjarakan dirinya dan Yunus, ini tidak adil.
"Anita ia akan mengejar kalian jika tahu siapa yang bertanggung jawab. " Seringai tipis, "Anak itu hanya akan berada dalam kubangan lumpur yang semakin menghisap semakin dalam tanpa ada jalan keluar. "
Yunus, tidak bisa Alderan bayangkan apa yang akan datang menghampiri sang sahabat, karena Cillision tidak peduli siapa yang salah mereka hanya peduli pada siapa yang menyentuh nama Cillision dan membuatnya ternodai.
Ini bukan hanya sekedar ancaman, Cillision tidak pernah main main dengan seseorang yang lebih dulu bermain dengan mereka dan Alderan sadar mereka tidak akan berakhir bebas dengan mudah.
Pilihan untuk melawan seakan terikat pada benang tipis, bukannya putus dan membebaskan dirinya tapi rasa sakit yang di timbulkan semakin terasa.
"Apa yang akan terjadi jika aku kembali?"
Edward mendekat, wajahnya tanpa ekspresi tetapi penuh keyakinan dingin.
“Jika kau kembali,” bisiknya, “Kau hanya perlu menurut menjadi anak baik. Tidak ada suara. Tidak ada pertanyaan. Cukup ikuti apa yang Ayah katakan, dan kamu mungkin masih punya kesempatan untuk berjalan bebas… sesekali.” Edward tersenyum penuh kemenangan.
Itu artinya Alderan hanya akan menjadi boneka hiasan yang mengisi rasa serakah dan haus Edward untuk kembali memenuhi ekpetasi nya lebih buruk dari sebelumnya, boneka yang sama tanpa kendali di atas tubuh dan keinginannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alderan
ContoAlderan Cillision, anak tengah dari keluarga Cillision yang terpandang, hidup dalam senyap di antara bayang bayang yang kian besar. Meski segala pendidikan terpenuhi ia harus terus mencari beberapa koin tambahan. Dibalik kediamannya, tersimpan perju...