Hujan mengguyur dengan deras entah di mulai dari jam berapa tapi yang pasti sejak Edward meminta padanya untuk menyiapkan alasan ia ingin sekolah di SMAN 1 NEO ia tidak bisa tidur dengan nyenyak atau bahkan sama sekali tidak tidur.
Jika ia jujur sama saja seperti memasukan kucing kedalam got hanya akan memperkeruh semuanya, sejujurnya Alderan tidak mengerti dengan segala sikap Edward jika ingin mengacuhkannya maka harusnya lakukan dengan maksimal tidak perlu menuntut ini dan itu.
"Cari alasan apa ya? Yang pasti harus bisa di terima Ayah. " Ia sungguh tidak tenang segala pikiran berkecambuk nasibnya akan sama saja jika pindah ke sekolah Internasional ia tidak akan bisa pergi dari rumah ini. Bagai burung dalam sangkar, tapi bukankah burung juga kerap di pamerkan?
Ketukan samar terdengar pintu ber cat hitam terbuka pelan disana berdiri Andres entah apa yang membawanya mengunjungi Alderan pagi buta begini. "Kenapa bang?" Tanya Alderan penuh penasaran.
"Jangan ngotot mau sekolah di SMAN 1 NEO. " Alderan terpengarah tanpa basa basi terlebih dahulu Andres berucap tanpa beban ikut melarangnya, dari mana ia tahu?
"Kenapa?"
"Kamu pikir dengan keluar dari rumah ini dan tinggal di asrama semuanya akan berbeda?"
Alderan diam, ia tidak tahu harus menjawab apa sedikit bingung Kakak pertamanya ini kenapa bisa membaca dengan jelas rencana yang ia susun sangat lama ini.
"Ayah tidak akan membiarkan itu jadi daripada melawan dan berakhir semuanya menjadi lebih buruk kamu nurut aja. " Tatapan itu tatapan yang di layangkan Andres terasa begitu dingin dan menusuk.
"Abang bilang gitu karena gak pernah di setir secara langsung sama Ayah. " Alderan tidak ingin kalah dengan mudah dan ikut menatap lekat kedua mata Andres yang cukup tinggi.
"Abang gak pernah kan ikut di potong uang jajan karena turun peringkat karena tifus?"
"Abang gak pernah kan berangkat pagi pagi cari uang dari warung ke warung?"
"Abang gak pernah kan beli mie ayam harus nabung dulu?"
"Abang gak pernah kan makan roti dan susu yang sama setiap hari?"
"Abang gak pernah kan lari larian dari sekolah ke tempat les karena gak punya uang?"
"Abang juga gak pernah kan diem di kelas karena gak punya uang?"
"ABANG GAK TAU APA APA!" Kilatan amarah terpancar jelas di sertai genangan air mata ikut turun menerobos keluar.
"Kalian, kalian semua gak tau apa apa jadi terus saja bersikap gak peduli. " Hening, kini Andres yang diam menatap kedua mata adiknya ia sendiri cukup bergeming.
Setelah lulus SMA ia memang langsung pergi ke LA untuk kuliah di sana bukan karena paksaan atau permintaan Ayah ya tapi murni keinginan dirinya sendiri agar lebih dekat dengan sang Ibu yang sudah biasa bulak balik Jakarta - LA.
Ia hidup dengan baik tanpa ada rasa kekurangan menikmati pesta kala matahari pergantian dengan bulatnya bulan purnama, tak jarang bergantian dengan sang Ayah menyusuri beberapa negara bagian untuk memperluas bisnis yang kian bertambah tanpa rasa paksaan semua ia jalani dengan penuh kebahagiaan.
"Alderan, apa begitu caramu bicara dengan kakak yang sudah lama tidak bertemu?" Mata itu teralih menatap ujung tangga Edward berdiri di sana dengan beberapa kertas di tangan kanan.
Matanya jelas memperlihatkan kemarahan akan sikap yang di tunjukkan Alderan pada Andres.
"Ayah udah denger semua ya kan? Kalau gitu aku gak perlu jelasin lagi. " Memang benar Edward mendengar jelas perdebatan yang terjadi di depan pintu kamar anak tengahnya itu dari awal hingga kini.
Nadanya melemah hembusan nafas tak beraturan ikut terhembus rasa lelah dan ngantuk menjadi satu tidak ada rasa bersemangat sama sekali yang ia tunjukkan, "Ya, dan keputusan Ayah tetap sama. "
Sungguh jika di rasa Alderan memiliki energi lain untuk di sedot ia akan mengamuk saat ini juga tapi yang terjadi malah air mata yang turun semakin deras, ini bukan dirinya sejak kapan ia menangis? Apa karena terlalu lelah?
"Ambil, serahkan pada wali kelas mu jika tidak kamu akan Ayah hukum. " Menyodorkan helaian kertas putih yang dapat di lihat beberapa dokumen pemindahan pendaftaran sekolah yang seharusnya sudah di tutup.
Bukan Alderan yang mengambilnya melainkan Andres anak itu masih terdiam di tempatnya, "Biar Andes yang kasih Yah, sekalian mau liat liat sekolah. " Sudah di bilang bukan di mulai dari TK-Sd-SMP Alderan berada di antara bayangan Andres.
Menatap sekilas wajah sembab Alderan sebelum berbalik dan melanjutkan langkah entah kemana Edward seakan tidak tertarik mengapa Alderan sampai menangis penuh air mata.
Iksan hampir saja memukul kepala sahabat pintarnya ini dengan buku matematika setidaknya Alderan harus masuk uks tapi niatnya urung melihat tatapan pasrah yang di layangkan Alderan sejak menampakkan kaki di kelas.
Mendengarkan dengan seksama segala keluh dan kesah Alderan ia ingin sangat ingin melempar buku matematika pada Alumni Kebanggaan sekolah ini yang ai temui di lorong menuju ruang kepala sekolah yang sialnya kakak dari Alderan.
"Terus nasib gue gimana? Gue udah daftar semua persyaratan udah lengkap. " Menangkup wajahnya di tas meja Iksan kembali pada saat saat memutuskan akan satu sekolah dengan Alderan, kenapa dulu ia bodoh sekali?
"Sorry, gue malah ikut masukin lu ke kubangan got. "
"Kenapa lu yang jadi minta maaf? Walaupun gue kesel nih gue bisa aja ngerengek minta pindah ke sekolah yang sama kaya lu. "
"Tapi lu gak bisa. " Kini mereka berhadapan "Lu gak bisa ngerengek buat pindah sekolah kaya gue. Jadi stop nunjukin wajah sok bersalah lu itu. "
Benar, memangnya siapa Alderan dalam keluarga Cillision.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alderan
PovídkyAlderan Cillision, anak tengah dari keluarga Cillision yang terpandang, hidup dalam senyap di antara bayang bayang yang kian besar. Meski segala pendidikan terpenuhi ia harus terus mencari beberapa koin tambahan. Dibalik kediamannya, tersimpan perju...