Bab 8 : Merenung

587 70 3
                                    

Sepulang les Alderan tidak langsung pulang ia menepi di antara hamparan ramput hijau dan danau buatan di depan matanya, suasana sore ini tampak tenang beberapa anak berlari saling mengejar, berlari dan tertawa bersama menghabiskan senja dengan bersantai.

Dalam riuh gelak tawa dan canda Alderan diam merenung, perkataan Yunus beberapa saat yang lalu masih ia pikirkan mungkin saja apa yang Alderan rasakan saat ini bukan apa apa jika di bandingkan sakit nya di bohongi, di khianati oleh orang yang sangat ia sayangi persis di depan matanya.

"Kalau Ibu atau Ayah yang selingkuh rasanya pasti hancur banget. " Gumam Alderan pelan meski ia tidak dekat dengan kedua orang tuanya nyatanya rasa sayang antara anak dan orang tua tidak bisa bohong.

Memejam sebentar biarkan waktu berhenti untuk sebentar.

"Alderan, jangan main main. " Peringatan sang ibu. "Sebentar boleh bu?" Alderan kecil masih ada di dalam kolam kecil berisi banyak bola bola kecil berwarna warni. "Jangan salahkan ibu jika besok mainanmu hilang. " Anita pergi tidak bersusah payah membujuk anaknya itu.

Hilang, mainnya benar benar hilang tak tersisa bak tak pernah ada. Mata Alderan kecil mengembun tidak menyadari ucapan Anita bukan hanya sebatas peringatan.

"Itu yang akan terjadi jika kamu tidak menurut. Hilang. " Anita lewat tanpa beban. Isakan kecil terdengar Alderan kecil berlari ke arah Edward setidaknya ayahnya itu harus membantu dirinya kan?

"Ayah, ma..mainan ak..uu il..ang sama i..buu. " Edward tetap pada posisinya meski sedikit terusik dengan rengekan Alderan ia tetap bertahan. "Menurut jika tidak ingin hilang. Sana belajar. "

Sejak saat itu Alderan tidak memiliki mainan seperti anak seumuran dirinya, di umurnya yang sudah merasakan iri ia hanya dapat melihat Andres memainkan berbagai mainan dengan segala jenis bentuk.

"Aku boleh ikut main gak bang?" Alderan mendekat berdiri tak jauh dari Andres, "Kerjakan dulu pr mu Abang juga akan belajar. " Andres membereskan beberapa robot dan koleksi Hot Wheels miliknya yang berserakan di lantai.

"Bukannya pulang malah diam di sini. " Suara yang cukup familiar mengalun membelah memori lama. "Abang, ngapain di sini. " Tentu Alderan sedikit terkejut kakak sulungnya itu sudah ikut duduk di sampinya.

"Kamu juga ngapain di sini bukannya pulang. "

"Masih sore. "

"Jadi harus lewat jam makan malam dulu baru pulang?" Sindir Andres tepat sasaran. "Kemarin aku emang sibuk sekarang udah enggak. " Balas Alderan dingin ia masih sedikit kesal dengan kejadian di depan pintu kamarnya beberapa hari yang lalu.

"Alderan kamu belum bisa ngerti dengan apa yang terjadi sekarang. " Andres merenung menerawang jauh ke depan entah apa yang ia pikirkan. "Karena itu gak seharusnya abang diem aja. Jelasin ke aku. " Alderan sudah tidak peduli ia hanya ingin segera lulus dari sekolah menengah akhir, kuliah yang jauh dan pergi sendiri.

"Mau kamu sekolah di luar kota atau luar negeri sampai mencoba kabur kamu akan tetap di tempat yang sama jadi jangan buang buang energi. "

Alderan berdecih memang percuma ngobrol dengan kakak sulung nya yang sudah merasakan segala kesenangan dunia ia tidak akan mengerti apa yang di rasakan dan di inginkan Alderan.

"Kamu akan ngerti ketika waktunya tiba. " Beranjak berdiri memandang sebentar area taman dan berniat segera pergi kala melihat beberapa orang mulai menyadari kehadiran dirinya.

"Bahkan saat tiba waktunya aku akan  bersikap sama. " Hembusan angin menutup hari Alderan yang bercabang.

Alderan sudah memiliki rencana untuk menghabiskan waktu liburnya dengan bermalas malasan ia mungkin harus mengucapkan terimakasih pada Edward yang tidak menambah jam les nya jadi sampai sore ia bisa berleha leha di atas kasur.

"Apa Ayah mau nyogok aku biar gak marah lagi ya?" Pikiran itu datang saat tubuh pemuda itu kesana kemari jujur ia sedikit bosan. "Tapi bukan Ayah banget sampai nyogok segala biasanya juga gak peduli. "

Menatap langit langit kamar di sana terdapat beberapa stiker bintang dan bulan Alderan senang melihat sekumpulan benda langit di atap kamarnya ketika malam tiba rasanya seperti ia bisa melayang dan menghilang dari kenyataan.

"Bodo amatlah yang penting bisa santai gak di bantai tugas mulu. " Senyum itu perpancar meski sedikit gabut tapi itu lebih baik daripada hanya duduk di ruangan penuh dengan buku dan anak ambis alis tempat les.

Tolong beritahu Alderan tutorial melempar batu bata ke kepala manusia yang lebih tua karena sungguh demi ikan tuna Jin BTS anak itu masih berusaha mati matian untuk tidak berkata kasar.

Ekpetasi yang terlalu sering di patahkan harusnya mengajarkan Alderan untuk mencurigain berbagai hal ganjil seperti tadi contohnya saat dirinya bertanya tanya kenapa Edward tidak memberi jam les tambahan karena nyata ia kini tengah duduk manis di kursi penumpang sebuah mobil keluaran Jepang.

Roda empat itu membelah jalan raya yang tampak agak ramai di depan sana wajar saja jika sedikit ada kemacetan libur sekolah sudah di mulai jadi para angkutan kendaraan itu pasti akan berlibur.

Tapi yang aneh adalah kenapa Alderan juga ikut duduk di mobil yang membawanya ke rumah keluarga Cillision tempat kakeknya tinggal.

Cillision Party' memang di adakan setiap tahun secara acak tak tentu tanggal dan waktu hanya keluarga Cillision saja yang hadir tanpa terkecuali dari yang kecil sampai besar semua ikut hadir dalam perjamuan di meja besar yang tak terlihat ujungnya entah apa pembahasan para orang dewasa tapi di mulai dari yang masih berkuliah sampai yang baru bisa membaca akan duduk bersama kakek tertua Eald Cillision ia adalah kepala dan puncak tertinggi Cillision.

Alderan masih ingat dulu sekali ketika ia baru masuk smp kakeknya terus menatap tajam sembari melontarkan pertanyaan yang susah di jawab anak seumuran dirinya,

'Apa yang terjadi jika perang dunia dimulai?', 'Kenapa mata uang dunia harus dollar?', 'Kenapa mereka yang hidupnya susah terus berteriak tentang keadilan?'.

Sungguh itu adalah kenangan suram yang tidak ingin Alderan ulangi lagi yah tapi siapa juga yang ingin ikut di tanyain pembahasan dunia saat usianya masih asik bermain game di ponsel. Tapi haruskan Alderan sedikit bersyukur karena sejak saat itu ia sudah tidak lagi menginjakan kaki di sana lagi.

"Sudah sampai Nak. " Supir yang mengantar Alderan berucap menyadarkan Alderan dalam lamunan sepanjang jalan, tersadar Alderan pun turun karena dirinya berada di mobil yang berbeda dengan keluarga yang lainnya ia harus melangkah dan menghadapi rumah mewah nan megah ini sendiri.

"Okey, lupakan tentang rasa terimakasih tidak berguna. " Karena kenyataan dirinya kembali menghadap bangunan megah di depannya ini.

AlderanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang