Bab 27 : Petunjuk Lain

162 24 0
                                    

Pagi ini suasana si rumah Cillision tidak jauh berbeda dari biasanya hanya berisi keheningan seakan menyerap energi siapa saja, di meja makan Alderan duduk sendiri ayah dan kakaknya sudah pergi pagi pagi sekali seakan menghindari dirinya.

Lalu dimana Mikaya?

Anak itu terkurung di kamarnya, Alderan tidak tahu tapi sepertinya ayahnya menghukum Mikaya untuk diam di kamar. Merasa tidak tenang Alderan berdiri melangkah menuju kamar adiknya ia ingin memastikan Mikaya baik baik saja.

Semalam gadis itu tampak berantakan dan ia terlalu takut Edward akan main tangan pada Mikaya, Alderan menggeleng pelan ayahnya bukanlah orang yang ringan tangan bahkan ketika ia kabur dari rumah pun tidak sekalipun Edward memukul.

Tok,..tok..tok,..

Tidak ada jawaban, menambah ke khawatiran Alderan. "Mikaya,.. kamu di dalamkan? Bisa buka pintunya bentar?" Alderan bertanya tapi masih tidak ada jawaban benar benar sepi seakan kamar itu kosong tidak berpenghuni.

"Mikaya jawab kakak aja kalau memang kamu gak mau buka pintu. "

Masih sama, hening dan sepi. Alderan bersiap melangkah mencari kepala pelayan yang mungkin memiliki kunci cadangan.

"Bagaimana aku bisa membukanya jika Ayah yang mengurungku di sini?" Suara pelan Mikaya menghentikan Alderan, nadanya pelan dan lirih.

"Kenapa?" Pertanyaan bodoh, tentu saja Edward yang menghukum Mikaya. "Anak pungut. "

Deg,

Kembali kalimat yang terus mengaganggunya terdengar dari mulut yang sama.

Jantung Alderan terpompa semakin cepat, nafasnya memburu. Benar jika Edward atau Andres berusaha paling keras untuk menutup nutupi maka ia bisa bertanya pada Mikaya, urusan benar atau tidak kita pikirkan nanti.

"Kenapa kamu bilang kakak anak pungut?" Karena secara umur ia dan Mikaya hanya terpaut 2 tahun di umur yang masih kecil tidak mungkin Mikaya mengetahui ia anak pungut jika tidak mendengar dari seseorang.

"Kak, sepertinya aku salah, benar semalam aku terlalu mabuk. " Pelan, suara Mikaya mulai bergetar. Alderan merosot, lututnya melemas hatinya terasa kosong. Disaat ia sedang melamun suara Mikaya tiba tiba kembali terdengar.

"Ibu selalu membenci kakak dan menyuruhku menjauh. " Alderan bersandar memastikan pendengarannya, "Kenapa? Kamu bisa jujur sama kakak, kakak bukan lagi anak kecil lagi. " Bujuk Alderan ia ingin tau semuanya entah itu akan menyakitinya atau tidak biar dirinya yang menentukan bukan orang lain.

"Jika aku mengatakannya ayah pasti akan membunuhku yang dulu penuh di limpahkan kasih sayang. " Kekeh Mikaya di akhir. "Coba pikirkan bahkan kak Andres sebagai penenus pun tidak pernah di kekang seperti kamu Alderan. " Sepertinya kesadaran Mikaya kembali hilang.

"Jadi kenapa kamu yang hanya anak kedua selalu di sembunyikan bak aib yang membuat malu keluarga dan sebagai gantinya hanya prestasi mu yang bisa di banggakan. " Alderan meresapi setiap kalimat Mikaya yang terasa benar di pendengarannya.

"Tanya pada ibu, tidak seperti aku yang masih memiliki rasa takut ibu adalah orang yang paling membenci mu. " Setelah itu tidak ada lagi suara menyisakan Alderan.

"Terimakasih, Mikaya itu sudah cukup untuku. " Alderan tersenyum kecil menyentuh pintu kayu itu, bagaimanapun hatinya tetap bergetar.

Mikaya si bungsu kesayangan keluarga yang di perlakukan seperti Princess Disney sudah tidak ada lagi, entah siapa yang bertanggung jawab tapi kita semua salah di sini.

Sekolah terasa hambar sekarang, Alderan sudah tidak fokus mengikuti segala kegiatan Red card bahkan ia secara langsung mengacuhkan Eldo yang terus berusaha mendapatkan posisi yang lebih tinggi, itu tidak penting sekarang.

AlderanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang