Bab 3 : Les

723 79 0
                                    

Minggu pagi sudah menjadi rutinitas keluarga Cillision untuk berolahraga dan berkumpul bersama, pemandangan taman keluarga yang kerap menjadi sorotan publik tentang harmonis nya keluarga di tengah ke sibukan masing-masing tetap meluangkan waktu untuk saling menanyakan rutinitas di hari sebelumnya.

Jika Ayah, Ibu, dan saudaranya yang lain tengah menikmati waktu di luar rumah maka berbeda dengan si anak tengah. Setelah 30 menit sedikit berolahraga Alderan akan sibuk menyusuri sepanjang jalan menuju sekolah, bukan untuk mencari ilmu di minggu pagi ini tapi mencari uang.

"Permisi bi, saya mau ambil uang yang kemarin. " Pinta Alderan di sebuah warung sederhana berjarak 300 meter dari sekolahnya.

"Ini, kebetulan gak banyak yang kejual. Anak anak pada ngumpulin uang kaya ya buat studi tour itu. " Si bibi penjual menyerahkan beberapa uang pecahan lima ribu dengan tampang sedikit sedih ia tahu jika anak di depannya ini pasti juga tengah mengumpulkan uang untuk studi tour.

"Gakpapa bi, segini juga cukup. " Sedikit tersenyum.

"Tapi kamu tumben loh hari minggu gini kesini biasanya kan les. "

Njeder!!

Bak di sambar petir di tengah hari Alderan teringat ia harusnya sudah duduk manis di sebuah ruangan dengan aroma buku menyengat bersama sekumpulan anak ambis lainnya. Melihat arloji yang terpasang apik, "Mati aku kalau pulang dulu gak bakal cukup waktunya. "

Dengan tergesa setelah mengucapkan terimakasih Alderan langsung berlari menuju jalan besar berharap segera mendapat angkutan umum ia harus cepat tidak banyak waktu tersisa sebelum kegiatan les ya di mulai.

Bibi penjual menggeleng pelan ia tahu anak itu anak yang pintar dan selalu meluangkan waktu bermainnya untuk mencari tambahan uang jajan.

Berlari menyusuri jalanan yang sudah tidak asing di benaknya dengan nafas tergopoh gopoh Alderan sampai di kelasnya tepat tiga menit sebelum gurunya datang.

"Hah... hah... hampir aja kena marah lagi sama Ayah. " Duduk di kursinya dengan perasaan lega. "Kenapa lu? Kaya di kejar anjing aja. " Seorang pemuda dengan surai coklat menengok kebelakang tepat meja Alderan berada.

"Lebih serem dari di kejar anjing. " Anak itu mengeryitkan dahi setau dirinya tidak ada yang lebih seram dari di kejar anjing.

"Gue gak bawa buku atau apapun boleh minjem gak? Selesai kelas gue jelasin ke lu. " Melihat guru yang mengajar sudah di depan pintu pemuda itu menggaguk mengerti.

Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang amat sangat di hindari oleh Alderan bukan hanya karena membuat ngantuk dengan deretan kalimat panjang yang harus ia tulis dan hafalkan tapi juga itu terasa terus berputar putar di kepalanya tidak seperti matematika yang memiliki jawaban yang jelas dan singkat pelajaran yang satu ini kerap kali menyulitkan dengan permainan kata dan jawaban yang tidak kalah panjang.

Itulah mengapa angka 8 kerap menghiasi nilai ujian untuk mata pelajaran ini tapi itu bukanlah alasan yang bisa di terima Edward ia tidak peduli dan tidak ingin tahu nilai 9 harus menghiasi raport.

Dengan segenggam roti di tangannya Alderan menceritakan alasan ia tidak membawa alat tulis bahkan hampir telat dengan hembusan nafas pelan sang teman mendengarkan dengan seksama,

"Ya lu kan bisa minjem ke gue butuh berapa sih buat studi tour itu paling gak seberapa kan? Nih sekarang aja bisa gue kasih. "

"Sama aja kan nanti gue harus balikin duit lu, mending usaha dulu. "

Yunus menggeleng pelan teman satu les ya ini memang tidak pernah berubah dari dulu selalu menyembunyikan masalah apapun padanya.

"Gue sebenernya pengen nanya ini ke lu dari dulu tapi  karena gue rasa lu gak pengen ceritain ini dan kita gak sedekat itu gue diem aja tapi sekarang gak lagi. " Alderan memalingkan wajahnya ia sudah tahu Yunus pasti ingin tahu tentang dirinya.

"Gue bingung tau lu tuh gak keliatan kaya orang miskin yang pusing mikirin duit dimulai lu sekolah di sekolah fav dengan biaya mahal okey kalau lu bilang dapet beasiswa karena lu emang pinter tapi gue pernah liatnya lu di jemput pake mobil pajero. Itu apaan coba?" Yunus menggebu sudah tak tahan dengan rasa penasaran.

Selama dua tahun ini ia selalu memperhatikan Alderan yang diam diam selalu kebingungan perihal uang, tidak pernah mau di ajak main sepulang les atau sekedar nongkrong bahkan sekarang pun anak ini hanya jajan roti dua ribuan dari warung seberang oh satu lagi biaya les di sini juga bukan selembar dua lembar uang berwarna merah.

"Kalau gue bilang gue tinggal di kompleks Flower Gold lu percaya gak?"

Flower Gold...??

"Ya emang kenapa lu tinggal di kompleks Flower Go__? OMG MAKSUD LU TUH KOMPLEK YANG DI ISI SENDOK EMAS SEMUA HAH??" Yunus berteriak terkejut tidak memperdulikan beberapa lirikan penasaran.

"Syuut,...syuuut,....lu kenapa teriak. " Alderan membekap mulut besar Yunus yang tak tahu tempat ngeri juga jika orang tahu siapa dirinya.

"Ya siapa yang bikin gue teriak anjir. Lu serius tinggal di sana? Ngapain anjir itu komplek isinya sendok emas semua dari lahir Old Money cuy. OLD MONEY. " Menekan kalimat terakhir dengan ketidak percayaan dari mana sahabat nolep ya ini tahu tentang kompleks elit.

"Gue emang tinggal di sana percaya gak percaya tapi situasinya beda. " Okey Yunus lebih percaya paus bertelur daripada fakta ini.

AlderanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang