Bab 9 : Cillision Party'

558 73 1
                                    

Ini aneh sungguh aneh bagaimana mungkin di rumah semewah dan sebesar ini Alderan tidak bertemu dengan manusia manapun bahkan keluarga yang seharusnya tiba bersamanya pun ikut lenyap entah kemana.

Dengan keberanian setipis tisu Alderan duduk sendirian di ruangan besar dengan beberapa lukisan dinding anggota keluarga Cillision, ia hafal siapa dan apa jabatan yang mereka emban mereka semua bukanlah sembarangan keluarga dengan bisnis yang sukses tapi lebih dari itu Alderan tidak dapat menjangkaunya.

Rahasia yang terlalu besar memiliki resiko untuk di ketahui.

Setengah jam sudah berlalu dan masih tidak terlihat tanda tanda kehidupan namun Alderan masih betah di posisinya bukannya mencari seseorang atau menelusuri rumah besar ini Alderan hanya duduk tegak tidak bergeser sama sekali ia tidak memiliki cukup keberanian untuk bergerak dari posisinya.

"Jika itu adalah cucuku yang lain mereka akan mulai berteriak mencari seseorang. " Suara berat dengan akses khas bule mengalun menambah ketegangan yang mati matian Alderan tahan.

Berdiri perlahan menatap penuh rasa hormat pada orang tua di depannya ini, "Selamat sore kakek. " Menunduk memberi penghormatan. Meski ia sudah cukup lama tidak bertemu dengan Eald Cillision aura dan wajah tegas itu tidak mungkin ia lupakan dengan cepat.

"Bersiaplah sebentar lagi pestanya akan di mulai. " Masih di posisi yang sama tidak beranjak sedikitpun. "Yang lainnya kemana nya kek?" Alderan memberanikan diri menatap wajah tegas di penuhi keriput menutupi wajah tegas, ia cukup penasaran.

"Kenapa? Kau takut karena di tinggalkan sendiri? Perlu bibi pengasuh menemani mu?" Ucapan menusuk dengan kekehan di akhir masuk melalui indra pendengaran Alderan ia tak menyangka balasan dari kakeknya begitu mengesalkan, ia kan hanya bertanya.

"Tidak aku bisa sendiri. " Mata itu mata yang hampir sama dengan milik Tetua Cillision saling bertatap dengan pandangan berbeda satu sama lain.

Melihat sekeliling dan menyadari tidak ada yang berbeda dengan tiga tahun yang lalu, kamar yang ia tempati ketika berkunjung selalu sama tidak pernah berubah meski anggota keluarga yang lainnya akan tidur di kamar yang berbeda beda Alderan hanya akan tidur di satu kamar yang sama mungkin karena kamar ini paling kecil jadilah ia yang selalu tidur di sini.

"Perlu banget ya pake setelan. " Kemeja, Jas, celana panjang, dan pentofel sudah tersedia di kasur single bed lengkap berwarna hitam semua. Mengambil kotak kecil di dekat setelan yang menarik perhatiannya,

"Loh, jam tangan?" Rolex Daytona Paul Newman Ref. 6239 jam tangan klasik dengan model elegan berwarna hitam sangat cocok dengan setelan yang sudah di siapkan.

"Wah, ini sih hadiah paling mahal yang pernah Kakek kasih. " Siapa lagi coba yang menghadiahi jam tangan puluhan juta dollar pada anak yang bahkan belum legal? "Tapi ngeri juga takut lecet. " Dengan hati hati Alderan memasukan kembali Rolex ke dalam tepatnya kembali, "Tapi kalau gak di pake lebih ngeri liat wajah Kakek. " Alderan bimbang sendiri.

Menatap pantulan dirinya di depan cermin besar, setelan yang di siapkan kakeknya sangat pas di tubuh, "Kakek gue cenayang kaya nya sampe tau ukuran cucu yang udah 3 tahun gak ketemu. " Alderan berdecak kagum.

Acara pesta tahunan yang selalu di nantikan pihak luar yang penasaran, bagaimana Cillision menghabiskan waktu bersama dengan berkumpul di rumah tetua yang paling di hormati. Para wartawan sudah bersiap dengan kamera di tangan tidak berniat melewatkan momen apapun meski pagar pembatasan cukup tinggi mereka tetap gigih. Setidaknya satu atau dua poto saat mereka keluar dari rumah mewah itu harus mereka dapatkan.

Karena publik menyukai sesuatu yang berbau mahal.

Semua anggota keluarga sudah berkumpul dengan pakaian yang hampir sama setelan dan dress sederhana berwarna hitam tidak di izinkan berpakaian berlebihan ataupun warna lain.

Alderan juga ikut berdiri di sana di salah satu sudut ruangan dekat dengan pintu masuk ia tidak berniat untuk masuk lebih jauh dan menghampiri keluarganya yang ia tahu ada di depan sana.

"Setelan makan malam dan ngobrol sama kakek segera masuk dan jangan menarik perhatian. "

Setiap tahun dan orang dengan orang yang sama terus mengingatkan Alderan untuk tidak melangkah lebih jauh dan kini ia sudah hafal dimana tempatnya, berada jauh dari para mata yang menatap penuh rasa penasaran, menghindari lensa kamera yang ikut menyorot seakan seperti aib yang harus di sembunyikan.

Tapi anehnya tahun ini Anita tidak mengatakan apapun bahkan memandangnyapun tidak.

"Alderan tumben kamu ikut tahun ini. " Seseorang datang menepuk penuh akrab punggung Alderan. "Iya, kebetulan udah libur sekolah. " Menjawab dengan penuh sopan laki laki lebih tua di depannya ini, Alan Cillision Putra tertua paman Delion Cillision ia menempati posisi ke tiga dalam pilar Cillision.

"Oh ya, kelas berapa sekarang?"

"Sebentar lagi masuk sma. "

"SMA mana?"

"Peringkat berapa sekarang?"

Alan terus berbasa basi tidak jelas seakan mereka memang terbiasa saling menanyakan kabar satu sama lain, Alderan enggan menjawab lebih banyak tapi mana mungkin juga Alderan bersikap tidak sopan.

"Alan apa yang kamu lakukan di sini? Segera temui kakekmu. " Intruksi wanita sebaya dengan Anita menghentikan obrolan kedua laki laki berbeda usia.

"Oke, Mah. " Alderan ingin bernafas lega ketika Alan menghilang dari pandangan matanya tapi tidak jadi ketika sadar sorot mata wanita itu terus menghunus padanya.

"Malam, Bi. " Berusaha ramah. "Hmm, jangan kemana mana. " Wanita itu berbalik kembali pada posisi sebelumnya. 'Emangnya gue mau kemana coba?' Karena pada kenyataannya Alderan terjebak, terjebak dalam keluarganya sendiri.

Pesta terus berlanjut tidak ada tanda tanda akan segera berakhir, di depan sana para orang dewasa dengan segelas wine di tangan mengobrol tanpa jeda begitupun para bibi ikut menceritakan kehidupan sosialita mereka. Lalu dimana para anak anak? Mereka memiliki tempat sendiri berpesta dengan kembang api, air yang menyiram tubuh panas mereka.

Canda tawa terdengar tanpa beban memeriahkan suasana yang semakin panas seiring irama lagu yang kian meningkat hanya Alderan yang berdiri di sini seorang diri tanpa teman menulikan telinga dan pandangan.

"Alderan kemarilah sapa kakek. " Andres datang menyadarkan Alderan dengan lamunan. "Abang tadi kemana?" Ia masih penasaran kemana semua orang pergi saat baru tiba disini. "Rumah sebelah. " Jawab Andres.

Rumah sebelah yang hanya terhalang taman golf milik Eald sudah seperti rumah khusus untuk tamu dan lagi lagi hanya Alderan yang tidak di ajak.

"Malam kakek. " Laki laki tua itu duduk sendiri di kursi miliknya sendiri tanpa berniat bangun dan menghampiri anak dan cucu yang jarang ia temui cukup mereka yang datang dan memberi salam penghormatan.

"Dimana kemeja yang kakek siapkan?" Shit, Alderan memang tidak memakai kemeja yang sudah di siapkan dan lebih memilih kaos hitam berlengan pendek. "Kemejanya kebesaran kek. " Ngeles, Alderan hanya tidak ingin memakai kemeja berlengan panjang yang di lihat saja sudah nampak panas.

"Hmm, bukan karena panas. " Shit, bagaimana kakeknya ini bisa tahu?

"Alderan kan gak biasa pake setelan kek jadi wajar kalau panas. " Terimakasih pada Andres yang sudah mewakilkan Alderan, tapi kenapa kakaknya ini di sini dengan para manusia kolot bukannya ikut berpesta dengan yang lainnya.

"Setelah pesta ini selesai datang ke ruangan kakek. " Andres mengangguk sedangkan Alderan bingung yang di pinta Kakeknya itu dirinya atau Andres tapi karena Andres yang mengaguk berarti bukan dirinya.

"Kamu juga ikut. "
.
.
.
.
.
.
.
.
Satanic?

AlderanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang