使命.

1 0 0
                                    

Pagi tiba dengan cahaya matahari yang lembut menyinari gedung-gedung di sekitar kantor Detektif Reomit. Suara burung berkicau di luar jendela menandai hari baru, sementara kabut tipis perlahan menghilang. Meski suasana di luar terlihat tenang, ketegangan dan kegelisahan masih menggelayuti suasana di dalam kantor.

Marcell adalah yang pertama bangun, matanya masih berat saat dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 07:00. Ia mengusap wajahnya, berusaha mengusir sisa-sisa kantuk yang tersisa. Dengan pelan, ia bangkit dari sofa, menyadari bahwa ruangan itu masih sunyi.

“Gue harus bangunin yang lain,” gumamnya pada diri sendiri.

Ia melangkah ke ruang tengah, di mana Gavriel terbangun dari tidurnya di kursi. Gavriel mengerjapkan matanya, melihat Marcell yang sudah bersiap. “Pagi,” katanya sambil meregangkan tubuh. “Ada apa?”

“Pagi, Gav. Kita harus cepet siap. Kita ada janji di kantor polisi, kan?” jawab Marcell, sambil menyalakan lampu.

Gavriel mengangguk, lalu mengusap wajahnya. “Iya, iya. Lo udah makan?”

“Belum. Mungkin kita bisa pesan kopi dan sarapan?” saran Marcell, berharap semangatnya bisa menular.

Tak lama setelah itu, suara pintu dibuka, dan Marvell muncul, terlihat lebih segar meskipun rambutnya acak-acakan. “Eh, pagi semua. Maaf, tadi kebablasan tidur.”

“Lo bukan sendiri. Gue juga,” kata Samuel, mengikuti Marvell dengan mata masih setengah terpejam. “Coba cepet mandi, nanti kita pesen sarapan.”

“Dari mana kita mau pesan?” tanya Orlando yang muncul di belakang Samuel, terlihat lebih teratur. “Gue tahu tempat yang enak dekat sini.”

“Yang penting kopi,” jawab Marcell, mulai merasa energinya pulih sedikit. “Kita butuh tenaga untuk hari ini.”

Gavriel meraih telepon dan mulai mencatat menu sambil memperhatikan yang lainnya bersiap-siap. “Biar gue yang pesan. Kalian siap-siap aja.”

Setelah beberapa menit, suasana mulai hidup di dalam kantor. Suara tawa dan obrolan santai menggantikan keheningan malam sebelumnya. Marcell menatap jendela, melihat cahaya matahari semakin terang. “Hari ini kita harus bisa nemuin bukti lebih banyak. Kita harus ngejar orang-orang itu.”

“Dan kita harus yakin Mackenzie bisa jadi saksi yang kuat,” tambah Orlando. “Dia perlu berani cerita lebih banyak.”

Marvell mengambil sandwich yang dipesan Gavriel. “Gue harap semua ini bisa cepet kelar. Gak sabar mau tahu siapa di balik semua ini.”

Sambil mengunyah, mereka semua mulai merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Ketegangan di antara mereka perlahan menguap, tergantikan oleh semangat untuk mengejar keadilan bagi Oes dan Mackenzie.

Setelah sarapan selesai, mereka bersiap-siap, mengecek dokumen dan barang-barang penting untuk dibawa ke kantor polisi. Dengan tekad yang bulat dan harapan baru, mereka melangkah keluar dari kantor, siap menghadapi tantangan yang ada di depan. Suasana pagi itu tidak hanya menyegarkan, tetapi juga memberi mereka kekuatan untuk melanjutkan misi mereka.

                               ***






Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, Marcell dan tim beranjak dari kantor Detektif Reomit. Jalanan pagi itu masih sepi, dengan beberapa mobil melintas sambil diiringi suara klakson sesekali. Mereka memasuki mobil dengan semangat baru, siap menghadapi hari yang penuh tantangan di depan.

Di dalam mobil, suasana terlihat sedikit lebih santai. Samuel duduk di samping Marcell, sementara Orlando dan Gavriel duduk di belakang, bercakap-cakap dengan Marvell yang tengah mengemudikan mobil.

“Gue masih penasaran sama cewek pirang yang Mackenzie bilang,” kata Samuel sambil memeriksa catatannya. “Lo pikir dia ada hubungannya sama Jiren?”

“Bisa jadi. Pasti ada alasan mereka semua datang bareng,” jawab Marcell, matanya menatap jalan. “Kita harus pastikan untuk menelusuri jejaknya.”

“Gue udah cari di internet, tapi gak ada info tentang kelompok itu,” tambah Orlando. “Mungkin mereka penyuka kekerasan yang baru muncul. Kita harus lebih hati-hati.”

Gavriel mengangguk setuju. “Dan kita juga perlu menggali lebih dalam tentang Jiren. Dia mungkin bukan cuma sekadar tamu tak diundang.”

“Yang jelas, dia harus dimintai pertanggungjawaban,” Samuel menambahkan, menunjukkan ketidakpuasannya.

Mobil meluncur lebih cepat ketika mereka semakin dekat dengan kantor polisi. Di luar jendela, gedung-gedung tinggi terlihat membelah langit biru yang cerah. Marvell mengemudikan mobil dengan fokus, namun pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan yang akan mereka hadapi di dalam.







Sesampainya di kantor polisi, suasana berubah menjadi lebih serius. Marcell dan tim turun dari mobil dengan dokumen dan catatan di tangan. Mereka memasuki gedung dengan langkah tegas, merasakan atmosfer penuh ketegangan yang mengelilingi mereka.

“Semoga hari ini berjalan lancar,” bisik Marcell pada timnya. Mereka semua saling memberikan anggukan penuh semangat, menyadari bahwa misi mereka kali ini sangat penting.

Setelah menuju ruang tunggu, mereka segera diizinkan untuk bertemu dengan Pak Januar Halalim Kaeys. Kapolsek itu duduk di meja kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan berkas dan catatan. “Selamat pagi, anak-anak. Kalian datang tepat waktu,” sapa Pak Januar dengan nada serius. “Bagaimana perkembangan penyelidikan?”

Marcell mengambil alih pembicaraan. “Kami sudah mengumpulkan bukti dari rumah Jade dan mendengar kesaksian dari Mackenzie. Dia menyebutkan Jiren dan kelompoknya sebagai pelaku utama.”

Pak Januar mengangguk, lalu melirik dokumen yang ada di depan Marcell. “Baik. Kalian sudah melakukan pekerjaan yang bagus. Tapi ingat, kita perlu buktikan semua ini di hadapan hukum.”

“Betul, Pak. Jadi kami butuh izin untuk membawa Mackenzie sebagai saksi hari ini,” jawab Gavriel.

“Berita baiknya, kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya. Dia akan hadir di sini dalam waktu dekat,” jelas Pak Januar. “Kita perlu membuatnya merasa aman dan nyaman saat memberi kesaksian.”

Samuel menyela, “Dan kami juga ingin menanyakan beberapa hal tentang Jiren dan kelompoknya. Siapa yang mereka cari sebenarnya?”

Pak Januar mengangkat alisnya. “Itu yang perlu kita gali. Dia dan kelompoknya tampaknya berbahaya. Mungkin mereka sudah terlibat dalam lebih banyak kasus.”

Setelah mendiskusikan beberapa hal, tim akhirnya duduk di ruang tunggu, mempersiapkan diri untuk mendengarkan kesaksian Mackenzie. Marcell melihat ke arah rekan-rekannya, “Semoga dia bisa memberikan informasi yang lebih banyak dan jelas.”

“Dia pasti merasa tertekan,” balas Orlando, berusaha menghibur suasana. “Kita harus mendukungnya agar berani berbicara.”

“Dan jika ada yang datang, kita siap untuk mencatat semua informasi,” tambah Marvell sambil mengecek ulang alat tulis dan rekaman suara di tasnya.

Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Mackenzie masuk, didampingi seorang petugas polisi. Wajahnya terlihat lebih tenang daripada sebelumnya, namun ketegangan masih tampak di matanya.

“Pagi, Mackenzie,” sapa Marcell, berdiri untuk menyambutnya. “Terima kasih sudah datang.”

“Gua siap. Gue pengen bantu,” jawab Mackenzie dengan tegas, meskipun suaranya masih bergetar.

“Kalau begitu, kita bisa mulai,” ujar Pak Januar, mengisyaratkan agar mereka semua bersiap.

Dengan semangat baru dan tujuan yang jelas, mereka semua bersiap mendengarkan kebenaran yang akan terungkap. Suasana tegang memenuhi ruangan saat Mackenzie bersiap memberikan kesaksiannya. Di luar, angin bertiup lembut, seolah mengiringi perjalanan mereka menuju keadilan untuk Oes.

                               ***

SMP Floor 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang