dynamic duo.

8 5 0
                                        

Keesokan pagi, suasana kamar Mackenzie dan Oes kembali kacau balau, seperti biasa. Kamar itu dipenuhi pakaian yang berserakan, buku-buku yang menumpuk di sudut, dan sisa makanan ringan dari malam sebelumnya. Di satu sisi, ada poster-poster band favorit Oes yang terpasang sembarangan di dinding, sementara di sisi lain, ada meja belajar Mackenzie yang tertutup catatan dan alat tulis.

Keduanya berdiri di depan cermin, saling memeriksa penampilan masing-masing dengan penuh perhatian. Mackenzie mengenakan kemeja biru milik Oes yang kebesaran, sehingga bagian lengan kemeja itu menggantung longgar, seolah-olah dia mengenakan jubah. Dia mengacak-acak rambutnya yang sedikit kusut, berusaha tampil sepertinya, meskipun dia merasa tidak nyaman. Di sisi lain, Oes terlihat funky dalam sweater abu-abu milik Mackenzie yang lebih ketat, membuatnya keliatan kayak orang goblok tapi pede.

“Yakin ini ide bagus?” tanya Mackenzie dengan nada ragu, mengulangi pertanyaan yang sudah dia ajukan berkali-kali. Dia tidak bisa menahan rasa cemas yang mulai merayap masuk ke dalam pikirannya. Bagaimana jika semua ini menjadi bencana?

“Ken, bakal seru banget, gue jamin!” Oes menyeringai lebar, sambil sibuk mengacak rambutnya yang acak-acakan. “Lo tinggal jadi gua. Santai aja, gak usah mikir! Yang penting enjoy.”

“Lo pikir gampang apa jadi lo?” Mackenzie memutar mata, tapi dalam hatinya, dia udah pasrah menerima tantangan ini. Dia berusaha membayangkan bagaimana caranya menghidupkan karakter Oes yang penuh percaya diri dan kadang nyeleneh. Dia ingat bagaimana Oes selalu mampu mengubah situasi tegang menjadi lucu dengan leluconnya yang konyol sekaligus tolol.

Saat mereka berangkat, perasaan cemas mulai menghantui Mackenzie. Dia berusaha tampil tenang, tetapi tatapan Oes yang santai dan penuh percaya diri justru membuatnya semakin khawatir. Ini gak bakal berakhir baik, pikirnya. Bagaimana jika dia benar-benar terjebak dalam dunia Oes?

                               ***












Di sekolah, suasana ramai dan penuh dengan teman-teman yang saling bercanda. Begitu mereka sampai di kelas, Oes langsung mengarah ke bangkunya dengan langkah lebar dan penuh percaya diri. Mackenzie mengikutinya, mencoba meniru cara Oes berjalan, tapi dia merasa lebih seperti penari yang tidak memiliki irama.

Dia duduk di kursi Oes, mencoba mengadopsi postur santai yang biasa dipamerkan Oes. Dia meletakkan kakinya di atas sandaran kursi depan dan memainkan pensil dengan malas, berusaha menyatu dengan suasana. Namun, segala sesuatunya tiba-tiba berubah ketika pintu kelas terbuka.

Pak Jaka, guru kimia yang terkenal galak namun kadang bisa memberi kejutan, masuk dengan senyum licik di wajahnya. “Hari ini, kita mulai dengan... kuis!”

Mackenzie langsung tegang. Kuis? Beneran nih? Dia mengedarkan pandangan penuh ketakutan ke sekeliling kelas, berusaha mencari harapan di antara teman-teman sekelasnya. Wajah-wajah mereka menunjukkan berbagai ekspresi, dari ceria hingga cemas.

Jade menyenggol lengannya. “Lu aman kan, Oes? Biasanya lu mah bodo amat sama kuis kayak gini.”

Mackenzie memaksakan senyum yang lebih mirip grimace. “Y-ya, gitu deh...” Dalam hati, dia merutuki keputusan bodohnya untuk menyamar jadi Oes. Rasanya seperti berusaha mengemudikan mobil tanpa mengetahui cara mengemudikannya.

Saat kertas soal dibagikan, Mackenzie menatapnya dengan putus asa. Semua soal terlihat sulit, dan dia hanya bisa nebak-nebak, menulis jawaban asal tanpa punya kejelasan. “Semoga Pak Jaka gak peduli sama hasilnya,” batinnya, mengingat semua pengalaman Oes yang selalu santai menghadapi ujian. Dia ingat bagaimana Oes biasanya melontarkan lelucon untuk mengurangi ketegangan di kelas.

SMP Floor 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang