dr. aldi's orion.

8 5 0
                                    

"Lantai lima?" tanyanya dengan suara datar, seolah-olah dia udah tahu tujuan mereka.

Mereka bertiga membeku di tempat, merasakan aura aneh yang gak bisa dijelaskan.

Rudi berdeham kecil, berusaha memecah ketegangan. "I-iya, lantai lima, Dok."

Pria itu gak bereaksi, hanya menatap mereka dengan ekspresi dingin. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia berbalik dan menaiki sisa anak tangga dengan langkah tenang.

"Udah yuk, buru, sebelum ada yang lebih aneh lagi," bisik Rawenda sambil menarik lengan Mercy.

Mereka bertiga mengikuti dari belakang, langkahnya sedikit ragu. Di setiap pijakan, suara langkah mereka terasa menggema lebih keras dari biasanya, bikin bulu kuduk Mercy berdiri.

"Kalian liat gak, dia tadi muncul dari mana?" bisik Mercy, nyaris tanpa suara.

Rudi menggeleng cepat. "Gak ada suara sama sekali sebelum dia muncul..."

"Lagian siapa tuh? Gue gak pernah liat ada dokter kayak gitu," tambah Rawenda.

"Mungkin dokter baru? Tapi... ada yang aneh." Mercy menggigit bibir bawahnya, masih berusaha menenangkan firasat buruk di dadanya.

Sampai di lantai lima, pria itu berhenti tepat di depan pintu besi besar. Ia menoleh sebentar, seakan memastikan mereka benar-benar mengikutinya, lalu membuka pintu dengan satu dorongan pelan.

Pintu itu mengeluarkan bunyi berderit keras-aneh, padahal gedung ini belum terlalu tua. Di balik pintu, tampak ruangan yang hanya diterangi cahaya lampu kuning temaram, dengan beberapa tempat duduk yang terlihat seperti ruang tunggu. Namun, tidak ada orang lain di dalamnya.

"Masuk," kata pria itu singkat, suaranya tanpa emosi.

Mereka bertiga saling lirik. Rudi berusaha bersikap santai dan melangkah lebih dulu, tapi jelas dari cara dia menarik napas kalau dia juga mulai merasa gak nyaman. Mercy dan Rawenda mengikuti dari belakang, langkah mereka perlahan.

Begitu mereka semua masuk, pintu itu tertutup dengan suara keras, nyaris seperti dikunci otomatis dari luar.

"Eh, kok ditutup?" bisik Mercy, mulai panik.

Ruangan itu hening. Pria tadi udah gak ada-hilang entah ke mana.

"Rudi, lo liat dia ke mana?" tanya Mercy sambil menoleh ke kiri dan kanan, berharap sosok pria tadi muncul lagi.

Rudi cuman menggeleng, mukanya mulai tegang. "Gua gak ngerti. Baru tadi dia di sini..."

Tiba-tiba, ada suara langkah lain dari arah dalam-lebih berat dan berirama, seolah ada seseorang atau sesuatu yang berjalan mendekat.

"Denger gak?" Rawenda berbisik, suaranya nyaris tak terdengar.

Mereka bertiga berdiri terpaku, napas tertahan. Suara langkah itu semakin dekat, menggema di ruangan yang terasa semakin menyempit.

"Kayaknya kita gak sendirian di sini," gumam Mercy, matanya membulat.














Mereka bertiga terus berlari di dalam koridor yang terasa semakin panjang dan pengap. Nafas Rudi mulai tersengal-sengal. "Ini... kapan ujungnya sih?!"

Mercy melirik ke belakang dan langsung mempercepat langkahnya. "Gue gak mau tau apa yang barusan di belakang!"

Tiba-tiba, di ujung koridor yang redup, mereka melihat sebuah pintu kecil. Tanpa pikir panjang, Rudi menendang pintu itu terbuka. Mereka bertiga langsung terhuyung masuk dan terperangah melihat... sebuah ruangan biasa dengan sofa, dispenser, dan beberapa poster jadul di dinding-kayak lounge kantor biasa.

Di tengah ruangan, dengan santai, duduk seorang pria paruh baya dengan jas dokter yang gak asing. Dia sedang ngopi sambil main catur sendirian.

"Eh, Dokter Aldi?!" seru Mercy dengan mata melotot. "Lo ngapain di sini?!"

Dokter Aldi menoleh santai, wajahnya polos. "Lho, kalian ke mana aja? Dari tadi gue nunggu di sini buat briefing."

Mereka bertiga saling pandang, bingung campur marah.

"Anjirr, jadi yang tadi siapa dong?!" ujar Rudi, masih ngos-ngosan.

Mercy gak bisa lagi nahan emosinya. "Eh, goblok! Lo tau gak, barusan kita lari-larian dari... entah apa! Kenapa gak lo panggil aja dari awal?!"

Dokter Aldi malah ketawa kecil, seolah gak ada yang aneh sama situasi barusan. "Lari-larian dari apa? Kalian ngigau kali. Dari tadi gue di sini aja."

Rawenda masih terengah, tatapan curiganya tajam. "Serius, Dok? Tadi ada orang nyuruh kita ke lantai lima. Mukanya pucet banget. Lo pasti tau kan siapa?"

Aldi mengangkat alis. "Lantai lima? Ruangan ini kan di lantai dua. Emang siapa yang suruh kalian ke sana?"

Mercy dan Rudi langsung membeku. "Lantai dua?"

"Astaga...," Mercy merasa jantungnya mau copot. "Jadi kita tadi...?"

Dokter Aldi menyeruput kopinya sambil tersenyum. "Santai aja, namanya juga pengalaman pertama. Selamat datang di shift malam."

Rawenda memijat pelipisnya, wajahnya campuran antara capek dan frustasi. "Gua yakin. Ini lebih serem daripada ujian anatomi."











Mercy mendelik tajam ke arah Dokter Aldi, masih berusaha mencerna apa yang baru aja mereka alami. "Shift malam apaan, Dok? Lo gak bisa asal-asalan kayak gini. Gua hampir kena serangan jantung, tau gak?"

Aldi cuma nyengir tipis, seolah-olah semua ini cuma lelucon. "Biasa, adaptasi awal. Gak semua orang kuat sama atmosfer di sini."

Rudi memijit lututnya, napasnya mulai teratur. "Atmosfer apaan? Maksud lo, kita tadi ngalamin kejadian beneran atau cuma ilusi?"

Aldi mendekat sambil naruh cangkir kopinya di meja. "Yang kalian liat tadi... yah, bisa dibilang semacam 'efek samping' dari gedung ini. Ada beberapa bagian gedung yang 'berbeda.'"

Mercy mengernyit. "Maksud lo berbeda gimana?"

Aldi melipat tangan di dada, senyumnya memudar. "Gedung ini gak cuma tempat kerja. Dari dulu, udah ada kejadian-kejadian aneh. Beberapa dokter dan staf senior tahu soal ini, tapi kita jarang bahas karena... ya, biar gak bikin panik."

Rawenda menyandarkan punggung ke tembok, mukanya udah capek banget. "Jadi tadi itu... siapa? Yang nyuruh kita ke lantai lima."

Aldi mengangkat bahu, ekspresinya tetap tenang. "Kalau kalian lihat orang yang mukanya pucet dan gerakannya aneh, berarti kalian ketemu sama 'Dia'."

"Siapa Dia?" Mercy makin penasaran sekaligus cemas.

Aldi menatap mereka satu per satu dengan tatapan serius. "Ada cerita lama tentang dokter di gedung ini yang gak pernah pulang setelah shift malam. Katanya, dia masih keliling sampai sekarang... buat nyari pengganti."

Rudi langsung mundur selangkah. "Gila, Dok, lo ngasih tau beginian sekarang?!"

Aldi tertawa kecil, seolah semuanya cuma hal sepele. "Udah biasa kok. Lagian, selamat ya. Kalau kalian berhasil keluar dari 'lorong itu,' artinya kalian udah diterima jadi bagian tim malam."

Mercy melotot. "Diterima apaan? Gua gak daftar buat horror-horroran, Dok!"

Tapi sebelum ada yang sempat protes lebih jauh, suara derit pintu terdengar dari arah belakang mereka. Mercy, Rudi, dan Rawenda refleks menoleh-dan melihat sosok pria pucat yang tadi muncul di koridor.

Dia berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan mata kosong dan... senyum tipis.

"Selamat bekerja," katanya datar, sebelum pintu menutup perlahan dengan bunyi berderit yang bikin bulu kuduk berdiri.

Rudi mencengkram bahunya sendiri. "Gue bersumpah... besok gue minta shift siang aja."

Mercy cuma bisa ngelus dada sambil nyengir lemas. "Sama, Rud. Sama."

                               ***

SMP Floor 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang