the real eyes.

14 1 0
                                    

"Oes! Oes, sini deh," panggil Ibu Moe dengan suara penuh urgensi.

Oes yang baru keluar dari kamar tidurnya, masih setengah mengantuk, menghampiri ibunya. Ia menggosok-gosok matanya, berusaha memahami situasi pagi yang terasa berat.

"Kenapa, mam?" tanya Oes, duduk di samping Ibu Moe dan merasakan kehangatan tubuhnya.

"Putri Diana dari Wales meninggal di Prancis! Liat deh," ujar Ibu Moe sambil menunjukkan koran yang terbuka lebar, halaman depannya dipenuhi foto dan judul besar.

"Hah?" Oes terkejut, suaranya hampir serak. Ia menatap berita itu, matanya melebar saat menyimak informasi yang menghebohkan. Rasa tidak percaya menyelimuti pikirannya.

"Bener, dong!" katanya, suaranya bergetar. Kenangan tentang sosok Putri Diana, dengan gaya anggunnya dan perhatian terhadap isu sosial, berputar dalam benaknya.

Ibu Moe menatap Oes, berusaha memahami perasaannya. "Banyak orang mencintainya. Ini pasti bakal
ngubah banyak hal."

Oes mengangguk, merasakan kedalaman kehilangan meski tidak pernah bertemu Putri Diana. Berita ini mengguncang keyakinan banyak orang tentang keberanian dan kasih sayangnya.

"Mari kita lihat berita lain," ujar Ibu Moe, mencoba mengalihkan perhatian. Namun Oes masih terbenam dalam pikirannya saat melangkah ke kamar mandi dan menyalakan lampu.

Sementara itu, Ibu Moe beralih membangunkan Mackenzie. Meskipun butuh sedikit usaha, itu bukan masalah—hidup mereka selalu penuh momen tak terduga.

Oes mencuci wajahnya, berusaha mengusir rasa lelah yang masih membayangi. Di luar, suara burung berkicau menandakan bahwa dunia terus berputar, meskipun kabar duka itu menggantung di pikirannya.

"Kak Mercy udah berangkat?" tanya Mackenzie saat duduk di meja makan, memperhatikan lauk sarapannya.

Ibu Moe mengangguk, "Tentu aja, Ken," jawabnya dengan nada lembut.

Mackenzie mengangguk pelan, lalu mulai menyantap sarapan dengan semangat. "Enak buangettt.... Mam! Kayaknya aku bisa kecanduan deh makan kari ayamnya mami!" puji Mackenzie, matanya berbinar penuh kegembiraan.

Ibu Moe tersenyum, memegang bahu Mackenzie. "Bisa saja kamu nih," katanya, tertawa ringan.

Oes memerhatikan interaksi hangat keluarganya. "Iya loh, mam! Uenaak banget!" Senyuman terukir di wajahnya, merasakan kebahagiaan sederhana di tengah kabar sedih yang baru saja mereka terima.

Ibu Moe mengelus kepala Oes, memberikan rasa kasih sayang yang menenangkan. Setelah itu, ia membuka pintu garasi, menyadari Oes dan Mackenzie sedang sibuk mencuci piring dengan sedikit keributan. 

Beberapa saat kemudian, Mackenzie mengeluarkan sepeda dari garasi. Hari ini adalah jadwalnya untuk mengendarai sepeda. Ia mengaitkan botol minum di stang sepeda dengan rapi, sementara tasnya dikenakan dengan tertata.

Ia melihat Oes berpamitan dengan Ibu Moe. Hampir saja ia lupa untuk berpamitan. "Dah, mam!" serunya saat ingat bahwa ia belum pamit.

Ibu Moe melambaikan tangannya, merasa lega melihat kedua anaknya siap berangkat. Ia pun kembali masuk ke dalam rumah untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga lainnya. ~~

Setelah Ibu Moe masuk, Oes menepuk dahinya. "Gua lupa ngerjain tugas dari Bu Dewi!" serunya dengan frustrasi.

Mackenzie tertawa mengejek, "Rasain!" ujarnya sambil melipat tangan.

Tiba-tiba, ide iseng mampir di kepalanya. "Boleh pinjem PR lu gak, Ken?" tanyanya dengan nada merayu.

Dengan cepat, Mackenzie menggelengkan kepalanya. "Of course, no!" jawabnya tegas, lalu menaiki sepeda.

SMP Floor 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang