i am.

30 5 0
                                    

Di basement sekolah, suara berisik dari alat-alat dan percakapan hangat memadati ruangan. Cheri, Denzel, Raffael, Oes, Jade, dan Gavriel tengah berkumpul, merencanakan proyek seni interaktif mereka. Cheri memulai rapat.

"Oke, kita sepakat untuk bikin instalasi seni interaktif dengan sensor gerak dan LED. Gue udah mulai desain grafisnya, tapi kita butuh ide tambahan dari kalian."

"Gue baru mau nyari kalian," kata Oes. "Kami lagi ngerancang instalasi ini dengan ide tambahin elemen musik yang berubah sesuai gerakan pengunjung. Bisa jadi sangat menarik!"

Gavriel, yang dikenal dengan ide-idenya yang out-of-the-box, langsung bersemangat. "Wah, itu ide keren banget! Gue bisa bantu dengan musik. Gimana kalo kita tambahin fitur yang memungkinkan musik berubah tempo sesuai intensitas gerakan?"

Jade, yang senang dengan ide tersebut, tersenyum lebar. "Itu ide yang fantastis! Musik interaktif pasti bakal bikin pengalaman pengunjung jadi lebih hidup."

Sementara itu, Raffael membuka kotak alatnya dengan penuh semangat. "Kalau begitu, gue bisa urus semua hal yang berhubungan dengan elektronik dan wiring. Gue juga bisa bantu nyari komponen yang dibutuhkan. Gue udah punya beberapa ide untuk sensor yang bakal kita pakai."

"Bagus banget!" kata Oes. "Cheri, lo bakal ngurus desain visualnya kan?"

Cheri mengangguk dengan antusias. "Iyalah! Gue bakal bikin desain grafis yang eye-catching. Ini bakal jadi instalasi yang bikin orang-orang terkesan."

***





















Jiren duduk santai di meja makan, menyantap mie instan dengan rakus. Suara sendok beradu dengan mangkuk menambah kesan santai suasana makan siangnya. Azzam, seorang remaja yang menjadi kepercayaan Jiren, berdiri di sampingnya, menunggu instruksi.

"Sejak kapan Freya mulai curiga tentang rencana kita?" tanya Jiren sambil menyesap kuah mie instannya.

Azzam menggelengkan kepala, "Gak tahu pasti, tapi sepertinya Freya sudah mulai menduga ada sesuatu."

Jiren mengangguk, menaruh sendok dan garpunya. Ia mengambil kunci mobil yang tampak usang dari meja dan melemparkannya kepada Azzam. "Ini, beliin gue bir dari gudang yang ada di Smart Condition TYCLN. Kita butuh itu untuk rencana kita malam ini. Pastikan kamu ambil yang sesuai."

Azzam memandang kunci tersebut dengan keraguan. "Tapi, kita masih SMP. Gimana bisa beli bir? Lagipula, bukannya itu ilegal?"

Jiren tersenyum licik dan berdiri mendekati Azzam. "Gudang itu adalah tempat yang hanya aku dan beberapa orang tertentu yang tahu. Gunakan kunci ini untuk membuka pintu belakang gudang. Sebutkan 'birka' ketika kamu sampai di sana. Bir di tempat itu sudah disiapkan untuk keperluan khusus, dan tidak akan ada yang bertanya."

Azzam masih terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. Dia melangkah keluar menuju garasi tua di belakang rumah Jiren. Sebuah sedan tua yang berdebu dan tampaknya sudah lama tidak digunakan terparkir di sana. Setelah menyalakan mesin, Azzam mengemudikannya menuju lokasi yang dimaksud.

Di dalam rumah, Jiren kembali ke meja makan. Setelah menyelesaikan mie instannya, dia menyalakan televisi dan mulai merancang strategi untuk malam hari. Di sudut ruangan, Arman dan Rina, yang terlibat dalam rencana tersebut, sibuk mengotak-atik alat-alat yang mereka butuhkan.

Tawa Jiren menggema di seluruh ruangan. "Azzam, ingat sebut 'birka' dan pastikan semua berjalan lancar di sana. Hahaha!"

Tawa Jiren cukup keras sehingga mengganggu konsentrasi Arman. Tanpa sengaja, Arman memasukkan komponen yang salah ke dalam alat yang sedang dipersiapkannya. Rina, yang berdiri di sampingnya, segera menyadari kesalahan tersebut dan berteriak, "Arman, komponen itu salah! Ini bisa merusak alat kita!"

Arman panik dan segera membenahi kesalahannya, namun kegembiraan Jiren yang terlalu keras menambah ketegangan di ruangan. Jiren masih tertawa puas, tidak menyadari bahwa kegembiraannya mengacaukan pekerjaan Arman dan Rina.













Pintu restoran kecil di pinggir pusat kota terbuka, membiarkan aroma masakan yang menggugah selera memenuhi udara sore itu. Jade melangkah masuk dengan tangan kanan menggenggam botol air, lalu memilih meja dekat jendela untuk menikmati pemandangan pusat kota yang sibuk.

Setelah duduk, Jade segera membuka buku menu dan memesan, "Satu mangkuk sup ikan dan semangkuk nasi, ya."

Tak lama kemudian, terdengar suara khas dari dapur. "Pesanan siap! Satu mangkuk sup ikan dan seporsi nasi putih," seru Ibu Hunny sambil meletakkan pesanan Jade di atas meja, diiringi senyum tipis.

"Makasih, Bu!" balas Jade dengan senyuman puas.

Ibu Hunny membalas senyuman Jade sebelum kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan pelanggan lainnya. Jade mulai menyantap makanannya dengan lahap. Saat ia memejamkan matanya menikmati rasa sup yang hangat, suara yang familiar mengejutkannya.

"Pesan sup ayam jagung satu!" seru Oes dengan ceria.

Jade memutar bola matanya malas, lalu menoleh ke arah Oes yang sedang mengotak-atik kamera tuanya. "Ngapain?" tanya Jade.

"Gak ngapa-ngapain, laper aja nih perut!" jawab Oes sambil menggosok-gosok perutnya.

Jade mengangguk pelan dan melanjutkan makan. Melihat Jade yang tampak tidak peduli, Oes berhenti mengutak-atik kameranya dan menatap Jade dengan penuh rasa ingin tahu.

"Lo gak penasaran gua bawa kamera buat apa?" tanya Oes.

Jade menelan makanan yang tersisa di mulutnya dan berhenti makan. "Enggak. Memangnya kenapa?"

"Ini kamera gua bawa buat fotoin lo," kata Oes dengan serius.

Jade mengerutkan dahinya. "Buat apa?"

"Buat kenang-kenangan, kalau nanti lo beneran pergi ke AS," jawab Oes.

Jade tersenyum tipis. "Asal lo di sini, gua gak bakal ke AS kok."

Belum selesai berbicara, pesanan Oes tiba. Semangkuk sup ayam jagung panas diletakkan di atas meja. Oes dengan tidak sabar langsung mencicipi kuahnya.

"ADUH PANAS!" teriak Oes, lidahnya sepertinya melepuh.

Jade tidak bisa menahan tawa melihat ekspresi Oes yang tak sabar itu.

***

SMP Floor 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang