Ayah Jingga menekan pedal gas lebih dalam, membuat mesin mobil meraung lembut saat melaju di jalan yang mulai ramai. Hembusan angin dari celah jendela sedikit menggoyangkan helaian rambut Jingga, tapi dia tidak peduli. Fokusnya tetap tertuju pada halaman demi halaman novel di tangannya. Teriakan anak-anak di pinggir jalan, deru motor, hingga suara klakson mobil lain sama sekali tak mampu mengusik ketenangannya. Dunia luar terasa seperti gema samar yang jauh dari pikirannya.
Ayahnya melirik sekilas melalui kaca spion, kemudian kembali fokus menyetir sambil menyesuaikan posisi kacamata kotaknya. "Memangnya ada apa dengan Molten, Jingga?" tanyanya, suaranya ringan namun menyiratkan rasa ingin tahu.
Jingga mengangkat kepalanya perlahan, seolah baru saja tersadar dari dunianya sendiri. Wajahnya tetap datar, seperti biasa. "Ada sekelompok pria yang nyebelin," jawabnya dingin, seakan kejadian itu bukan sesuatu yang layak diberi perhatian lebih.
Ayahnya hanya tersenyum kecil, lalu memutar setir dengan gerakan halus dan terlatih, menghindari mobil di depannya. "Tapi Papa yakin Jiren bisa ngadepin itu semua," ucapnya dengan nada yakin, mencoba mengangkat suasana. "Kamu liat kan gimana sikap dia ke keluarga? Apalagi ke temen-temennya."
Jingga menghela napas, lalu menutup novelnya dengan satu gerakan cepat. Sampul buku itu berdebum pelan, menciptakan jeda singkat di antara percakapan mereka. "Ya, aku tau," katanya, nada suaranya sedikit melunak. "Tapi aku lebih penasaran sama suasana sekolahnya Jiren dulu. Pasti beda sama yang dulu aku liat."
Ayahnya tertawa kecil, seakan menemukan humor tersembunyi dalam ucapan anak perempuannya itu. "Hmm... kamu tertarik pengen tau ya? Siapa tau nanti kamu dapet cewek yang lebih seru buat diceritain ke papa," godanya.
Jingga hanya menatap ayahnya sekilas dari balik rambut poni yang sedikit menutupi matanya, lalu kembali menatap keluar jendela. Mobil mereka terus melaju, meninggalkan riuh jalanan dan menuju entah ke mana—mungkin ke sebuah tempat dengan lebih banyak cerita dan kejutan di setiap tikungannya.
Ayah Jingga masih menikmati kendali penuh atas setir, mengarahkan mobil mereka dengan gesit di antara kendaraan lain di jalan yang semakin padat. Matahari pagi mulai memanas, memantulkan sinar ke kaca depan dan membuat kota tampak berpendar. Di sampingnya, Jingga tenggelam lagi dalam novelnya, namun ia masih memperhatikan keadaan sekitar dengan ujung matanya—sesuatu yang terbiasa ia lakukan tanpa sadar.
Saat mobil melaju di sebuah persimpangan, Jingga tiba-tiba menegakkan punggungnya. Dari sudut pandangnya, ia melihat sebuah bajaj meluncur cepat dari arah kanan, seperti lepas kendali. “Pa! Bajaj!” serunya spontan, nada suaranya waspada namun tetap tenang.
Refleks, ayahnya menginjak rem mendadak, menghasilkan decitan tajam di aspal. Jingga sedikit terdorong ke depan, tapi sabuk pengamannya menahannya dengan baik. Bajaj itu lewat begitu saja, supirnya tidak menoleh sedikit pun, seolah tidak sadar hampir menyebabkan kecelakaan. Ayah Jingga mendengus pelan, setengah jengkel, setengah lega.
“Liat kan, Jing? Bajaj emang suka begitu,” gumamnya sambil melonggarkan genggaman pada setir.
Jingga hanya mengangkat bahu, ekspresinya tak berubah banyak. “Untung aku liat duluan,” ujarnya singkat, lalu kembali membuka novelnya, seperti insiden itu bukan apa-apa.
Ayahnya tertawa kecil, meredakan ketegangan. “Ya, untung kamu ada di sini, mata elang Papa.” Ia memutar setir lagi, kali ini lebih hati-hati, dan melanjutkan perjalanan mereka dengan ritme lebih santai.
Beberapa menit kemudian, Mobil sedan tua milik ayah Jingga berhenti mulus di depan SMP Flores. Suasana pagi terasa segar, langit cerah tanpa awan, dan angin tipis menghembus lembut. Dari jendela mobil, Jingga mengamati sekolah barunya—gedungnya terlihat modern dan terawat dengan dinding putih bersih, jendela kaca besar yang berkilau terkena cahaya matahari, dan taman kecil di sekitarnya yang dipenuhi bunga berwarna-warni.
![](https://img.wattpad.com/cover/374153511-288-k238058.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
Novela JuvenilSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...