Di sudut taman belakang yang gelap, suara musik pesta terdengar samar. Mackenzie menunduk, napasnya memburu. Kedua tangan dan kakinya dipegang erat oleh George dan Buzz, sementara Sebastian menahan bahunya. "Jangan banyak gerak!" desisnya, wajahnya dingin
Mackenzie menggeliat, mencoba melawan, tapi tubuhnya kecil dan tak berdaya. Sebuah pukulan keras mendarat di pipinya-Arman yang melayangkannya dengan senyum puas. "Santai, ini cuma pemanasan."
Di sisi lain rumah, Oes yang tengah berbincang dengan beberapa tamu tiba-tiba merasa ada yang aneh.
"Mackenzie?" gumamnya, menoleh ke sekeliling. Ia tidak bisa melihat kembarannya. Naluri tajamnya segera aktif-- ada yang tidak beres.
Dengan langkah cepat, Oes menyelinap keluar melangkah di antara kerumunan hingga mencapai sudut halaman yang sepi. Di sana, ia melihat Mackenzie berlutut di tanah, wajahnya lebam, dikelilingi oleh Arman, Rina, dan tiga anak lainnya. Jantung Oes mencelos.
"Lo semua..." Oes berhenti di tempat, tidak percaya dengan aps yang dilihatnya. Ia tampak mengenali mereka. "Rina? Arman? tanyanya, suaranya penuh kekecewaan.
Rina menyeringai dingin. "Salah sendiri lo terlalu percaya, Oes. Udah waktunya lo bayar harganya."
Sebelum Oes sempat bereaksi, Buzz dan George bergerak cepat. Sebuah pukulan keras menghantam perutnya, membuatnya terhuyung. Arman menendang lututnya hingga ia jatuh tersungkur ke tanah. "Sakit, ya? Sama kayak kita dulu," bisik Arman dengan nada licik, memancing dendam lama.
Oes terbatuk, darah mulai mengalir dari sudut bibirnya. Tapi ia tidak berhenti. "Mackenzie..." bisiknya , berusaha merangkak mendekati kembarannya.
Rina mendekat menendang rusuk Oes dengan keras. "Pahlawan kesiangan,"
Hujan pukulan dan tendangan terus menghujani tubuh Oes tanpa ampun. Tubuh yang semula tegap, kini tergeletak lemah, tak mampu lagi bergerak. Darah mengalir dari luka di wajah dan kepalanya, bercampur dengan tanah basah. Mackenzie yang masih tertahan hanya berteriak dengan suara parau, "HENTIKAN! Jangan lagi!"
Namun, tak ada belas kasihan. Arman dan Buzz hanya tertawa puas, menikmati penderitaan Oes. Hingga tiba-tiba BAM-suara pintu toilet dibanting terbuka. Freya muncul dengan wajah panik dan mata yang membara. Tangannya bergetar hebat, tapi ia segera mengeluarkan ponsel dan menelepon polisi.
"POLISI! Lo semua tamat!" teriak Freya dengan suara tinggi.
Arman dan yang lain makin panik. "Sial! Kita harus kabur!" seru Rina. Mereka buru-buru meninggalkan Mackenzie dan Oes yang terkapar di tanah.
Mackenzie bergegas merangkak mendekati Oes, mengguncang tubuh kakak kembarnya dengan panik. "Oes, bangun plis! Jangan tinggalin gue, gua gamau jadi kembar sendiri," Suaranya pecah oleh tangis.
Oes membuka matanya perlahan, pandangan matanya buram. Bayangan Mackenzie dan Freya bercampur jadi satu. Namun, di sela-sela kabut itu, matanya menangkap tulisan kecil di jaket salah satu penyerang: "Aldrich."
Sebelum Oes bisa mencerna lebih jauh, Jade muncul, wajahnya pucat pasi. Ketika melihat kondisi Oes, air matanya langsung mengalir.
"Oes..." bisik Jade lirih, menahan isakan.
Dengan sisa tenaga terakhirnya, Oes tersenyum lemah. Tangannya terangkat perlahan, dan menarik Jade ke dalam pelukan. Pelukan itu kaku dan lemah, tapi Jade bisa merasakan ketulusan di dalamnya- pelukan pertama dan terakhir dari Oes untuknya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
Novela JuvenilSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...