Keesokan paginya, langit masih sedikit berawan ketika Marvell dan Samuel menuruni tangga kantor Detektif Reomit. Mereka berdiri di depan pintu, masing-masing menatap pagi yang dingin dengan jaket hitam mereka. Dengan gerakan sinkron, keduanya menarik resleting jaket hingga rapat, seolah mempersiapkan diri untuk menghadapi hari penting.
“Kita serahin semuanya hari ini,” kata Marvell, membenahi kerah jaketnya.
Samuel mendengus kecil, lalu mengencangkan resletingnya. “Gue gak peduli siapa yang nelfon polisi tadi malam, gue ogah kalah suit lagi buat urusan saksi nanti.”
Marcell dan Gavriel datang dari belakang, membawa map tebal berisi bukti yang mereka kumpulkan semalam. Orlando sudah menunggu di mobil dengan mesin menyala. "Ayo, gak usah lama-lama, mereka pasti udah nunggu di kantor polisi," ujar Marcell sambil menepuk pundak Marvell.
“Let’s go,” kata Samuel, lalu mereka semua masuk ke mobil dan meluncur menuju kantor polisi.
Sesampainya di sana, mereka bergegas masuk ke gedung, melewati lorong yang dipenuhi polisi dan staf administrasi. Di meja resepsionis, seorang petugas memandang mereka dengan mata mengantuk. “Ada perlu apa?” tanyanya dengan nada malas.
“Kami mau ketemu Pak Januar Halalim Kaeys,” jawab Marcell tegas.
Petugas itu mengetik sesuatu di komputer, lalu mengangguk. “Tunggu sebentar.”
Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh tegap dengan rambut beruban muncul dari ruangannya. Pak Januar Halalim Kaeys, kepala investigasi, menatap mereka dengan ekspresi tajam. “Kalian yang bawa laporan soal Oes?” tanyanya tanpa basa-basi.
Marcell mengangguk. “Iya, Pak. Kami punya bukti dan kesaksian awal.”
Januar memberi isyarat agar mereka masuk ke ruangannya. Di dalam, beberapa polisi sudah duduk di meja rapat, menunggu. Gavriel segera mengeluarkan map, mengeluarkan foto dan hasil analisis darah yang mereka kumpulkan di halaman belakang rumah Jade.
“Ini bukti yang kami temukan, Pak. Darah korban di halaman belakang,” kata Gavriel sambil menyodorkan foto.
“Korban terakhir kali terlihat di pesta ulang tahun Jade,” tambah Samuel. “Ada satu tamu tak diundang, namanya Jiren. Dia datang tanpa undangan dan pergi begitu polisi tiba. Dia gak sempat berbicara dengan Oes.”
Pak Januar menyimak sambil melirik bukti dan catatan. “Jiren ini mencurigakan,” gumamnya pelan. “Tapi tanpa kesaksian yang kuat, bukti ini belum cukup. Kalian perlu bawa saksi.”
Marvell maju sedikit. “Saksi siapa, Pak?”
“Seseorang yang bisa memperjelas peran Jiren atau punya informasi tambahan soal malam itu,” jawab Januar. “Bawa saksi itu besok, atau kita akan kesulitan buat terusin kasus ini.”
Samuel menatap Marcell sekilas, lalu menghela napas. “Berarti kita harus buru-buru cari saksi, nih.”
Januar mengangguk tegas. “Benar. Semakin lama kita nunda, semakin kecil peluang dapat jawaban.”
Saat mereka beranjak keluar ruangan, Marvell menepuk bahu Samuel sambil terkekeh. “Udah siap kalah suit lagi, Sam?”
Samuel memutar bola matanya. “Gue gak bakal kalah dua kali buat urusan beginian.”
Mereka semua tertawa kecil sambil keluar dari kantor polisi. Tapi di balik canda itu, mereka tahu tugas besar menanti. Waktu mereka terbatas, dan saksi itu harus ditemukan sebelum besok.
***
Mobil meluncur berhenti di depan RS Flores, rumah sakit tempat Mackenzie dirawat sejak kejadian malam pesta Jade. Samuel dan Orlando membuka pintu mobil dengan cepat. Mereka berdiri di trotoar sejenak, saling bertukar pandang, seolah memastikan bahwa mereka tahu apa yang harus dilakukan.

KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
Teen FictionSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...