Suasana kelas pada hari ini sangat riuh. Suara obrolan siswa bercampur dengan dentingan pensil yang jatuh dan deritan meja, membuat suasana semakin kacau. Di tengah keributan itu, Jaden dan Jade terlibat perselisihan hanya karena masalah sepele: penggaris.
“Lo apaan sih?! Gue pake bentar doang!” Jade ngedumel sambil narik penggarisnya dari tangan Jaden.
“Lo gak liat gue duluan yang pake?!” Jaden gak mau kalah, suaranya naik satu oktaf.
Anak-anak di sekitar mereka segera memperhatikan. Mereka sudah biasa melihat Jaden dan Jade berselisih, tetapi kali ini tampak lebih serius dari biasanya.
“Duh, udah kayak anak kecil aja!”
“Eh, tadi mereka pegangan tangan nggak, sih?” bisik salah satu teman dengan nada menggoda.
Benar saja, saat berebut penggaris, tangan Jaden dan Jade sempat bersentuhan. Serentak, anak-anak langsung menyoraki mereka.
“Wihhh! Pegangan tangan, ya?!”
“Bucin-bucin!”
Jade segera melepaskan genggamannya, wajahnya memerah. “Apaan sih, lo semua?!” Ia merasa sangat malu, apalagi karena sama sekali tidak bermaksud melakukan itu.
Di sudut kelas, Oes duduk diam sambil memperhatikan. Ia bersandar pada meja dengan dagu bertumpu di tangan, pandangannya tak lepas dari Jade. Ini bukan kali pertama Oes melihat Jade dan Jaden bertengkar, tetapi kali ini rasanya berbeda—ada perasaan sesak di dadanya.
Sudah lama ia memendam perasaan untuk Jade. Tapi sekarang, melihat mereka bersentuhan—meski hanya kebetulan—membuat pikirannya kacau.
Di tengah kekalutannya, Oes menyadari sesuatu: Jingga, si anak baru, duduk tepat di belakang Jade. Sama sekali tak terlibat dalam keributan itu, Jingga hanya memperhatikan dengan tenang. Tangannya bertumpu di meja, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan kayu dengan irama yang nyaris tak terdengar.
Saat Oes menoleh, mata mereka bertemu sejenak. Ada sesuatu dalam tatapan Jingga yang sulit diterjemahkan—sebuah ketenangan yang terasa ganjil, seperti seseorang yang tahu banyak tetapi memilih diam. Oes hanya menatapnya sekilas, tapi tatapan itu menancap di benaknya.
Apa Jingga tahu sesuatu? Apakah tatapan itu sekadar kebetulan, atau ada makna di baliknya?
Namun, Oes tak punya waktu untuk mencari tahu. Ia memalingkan pandangannya kembali ke Jade, rasa sesak di dadanya semakin kuat.
Ia tahu satu hal: perasaannya tak bisa dibiarkan seperti ini terus-menerus.
Tapi gimana caranya dia deketin Jade lebih jauh tanpa keliatan kayak orang tolol? Dan kenapa Jingga, si anak baru, seolah bisa membaca perasaannya hanya lewat tatapan singkat tadi?
*** 1.
Bel istirahat baru saja berbunyi, memecah keheningan kelas menjadi riuh tawa dan obrolan. Para siswa berbondong-bondong turun ke kantin, mencari camilan dan minuman sambil bercanda.
Di salah satu meja, Jade dan Jaden yang sempat berseteru pagi tadi akhirnya berdamai. Mereka duduk berdekatan, senyum sudah kembali menghiasi wajah mereka. Jingga, yang duduk tak jauh dari mereka, langsung memanfaatkan momen itu.
"Ciee, udah baikan nih yee!" godanya dengan tawa jahil.
Beberapa teman ikut menimpali, membuat Jade dan Jaden hanya bisa cengengesan sambil pura-pura cuek. Tapi jelas ada rasa malu yang mereka tahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
Teen FictionSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...