jiren alvaro.

21 5 0
                                        

Brakk!

Jingga menendang pintu kamar Jiren dengan keras sambil mengencangkan simpul dasinya. Pagi itu, ia bersiap untuk masuk ke sekolah barunya, SMP Flores.

Di dalam kamar, Jiren, yang masih terlelap nyaman di balik selimut, mendengar suara gaduh itu dan langsung terbangun. Ia menyipitkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya pagi, lalu melirik jam dinding. 06.30. Hanya 15 menit tersisa sebelum gerbang sekolah SMP Molten ditutup.

"Sialan," umpat Jiren kesal.

Tanpa pikir panjang, ia menyambar handuk dan bergegas menuju kamar mandi. Sementara itu, Jingga berdiri di ambang pintu dengan tangan bersedekap, memutar bola matanya malas melihat kembarannya yang selalu saja telat bangun.

Beberapa menit kemudian, keduanya sudah siap dan berdiri di samping mobil sedan tua mereka. Mobil itu dinyalakan, mesinnya terdengar berderik seolah mengeluh karena usianya yang tua. Jingga dan Jiren masuk ke dalam, duduk diam tanpa banyak bicara. Udara pagi yang dingin menyelimuti perjalanan mereka menuju dua sekolah berbeda dan kehidupan baru yang menanti.

Di dalam mobil, Jingga memandang keluar jendela, mengamati jalanan yang mulai sibuk. Ia melihat pedagang-pedagang di pinggir trotoar menata barang dagangan mereka, membuka kios, dan bersiap menyambut hari.

"Baru saja kita lewat Jalan Rodas Saez," ujar ayah mereka sambil memutar setir, menekuk tajam di tikungan sempit.

Mobil itu berguncang saat melewati polisi tidur yang tingginya tak bersahabat. Sedikit lagi mereka tiba di tujuan pertama—SMP Molten.

Saat mobil berhenti, Jingga menoleh sekilas ke arah Jiren. "Ini hari pertama lo. Jangan bikin masalah," katanya datar, tanpa sedikit pun nada peduli dalam suaranya.

Jiren membuka pintu mobil dengan cepat dan, sebelum keluar, menatap Jingga dengan tatapan tajam, penuh ketidaksukaan. Dengan emosi, ia membanting pintu mobil keras-keras, membuat suara dentuman yang menggema.

Jingga hanya diam, matanya mengikuti punggung Jiren yang tergesa-gesa berjalan menuju gerbang sekolah. Tepat saat Jiren melangkah masuk, gerbang mulai ditutup oleh petugas. Hampir saja terlambat.

Mobil sedan tua itu melanjutkan perjalanannya, melaju perlahan meninggalkan SMP Molten dan menuju sekolah Jingga, SMP Flores.

Jingga kembali memandang keluar jendela. Jalanan masih ramai, dan roda-roda mobil mereka terus berputar menuju babak baru kehidupan. Dengan pandangan kosong, ia bergumam pelan, "Molten gak bakal sesenang yang lo kira, Jiren Alvaro."

                               ***












Jiren masuk ke dalam kelas. Kelas 8A. Dengan langkah berat, ia menarik pintunya dan melangkah masuk. Tangan kanannya erat memegang tali tas selempangnya, seolah keberadaan tas itu jadi satu-satunya pegangan di tengah rasa tak nyaman.

Ibu Rita, wali kelas 8A, langsung mengarahkan pandangannya ke Jiren. Dengan senyum lembut yang tak memudar, ia memberi isyarat agar Jiren maju ke depan.

"Baik, anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru," ucap Bu Rita. "Silakan perkenalkan dirimu, Nak."

Jiren mendesah pelan, matanya berputar malas sebelum akhirnya berkata singkat, "Jiren Alvaro. Pindahan dari SMP Flores." Nada suaranya datar, tanpa kesan.

Kedatangan Jiren langsung jadi bisikan di antara para siswa. Beberapa dari mereka saling menatap penuh penasaran.

"Eh, dia mirip Jingga, gak sih?" bisik seorang anak dari barisan tengah.

SMP Floor 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang