Samuel dan Orlando segera meninggalkan rumah sakit setelah mendapat kesaksian dari Mackenzie. Matahari mulai turun ke ufuk barat, menyisakan sinar keemasan yang memudar perlahan di langit. Udara sore terasa hangat, tapi kepala mereka penuh dengan pikiran dingin dan berat. Di tengah perjalanan, Samuel merogoh ponselnya dan menghubungi Marcell.
“Lo harus denger ini, Marcell,” ucap Samuel, nadanya rendah dan serius. “Jiren dan enam orang lainnya nyerang Oes dan Mackenzie di pesta Jade. Oes... tewas karena berusaha nolong Mackenzie.”
Dari ujung telepon, terdengar suara Marcell tertahan. “Jadi mereka emang udah rencanain semuanya dari awal,” gumamnya, ada nada tak percaya dalam suaranya.
Orlando yang memegang kemudi menimpali tanpa menoleh, “Freya sempat telepon polisi, tapi begitu mereka datang, Jiren dan gengnya udah kabur.”
“Berarti mereka tahu cara kabur. Ini gak mungkin kebetulan,” jawab Marcell. “Kita harus mulai gali informasi lebih dalam dari Jade.”
Samuel mengakhiri panggilan dengan desahan berat dan menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil. Tatapannya kosong, tapi pikirannya bergemuruh.
Di mobil lain, Marcell menurunkan ponselnya perlahan dan melirik Gavriel yang duduk di sebelahnya. Gavriel menatap jalan di depan, rahangnya mengeras, matanya tajam namun diliputi kekhawatiran.
“Ini jauh lebih ruwet daripada yang kita kira,” gumam Gavriel pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Marcell mengangguk setuju. “Dan kita gak punya banyak waktu buat beresin ini.”
Matahari sudah hampir tenggelam ketika mereka tiba di rumah Jade, sebuah rumah besar bergaya modern dengan halaman kecil di depannya. Freya sudah berdiri di teras, menunggu bersama Jade. Keduanya tampak gelisah, seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Freya memeluk tubuhnya sendiri, sementara Jade duduk di sofa ruang tamu, wajahnya tampak lelah dan bingung.
Tanpa membuang waktu, Marcell langsung duduk di hadapan mereka. “Gue gak bakal muter-muter. Kita udah dapet info dari Mackenzie, tapi kita butuh detail lebih banyak soal kejadian di pesta.”
Jade menunduk dalam, kedua tangannya bergetar. “Gue takut... Mereka... Kalau gue cerita, mereka mungkin bakal balik nyari gue.”
Samuel bersandar ke depan, tatapannya tajam. “Kalau lo diem, mereka bakal terus bebas, dan Oes mati sia-sia. Lo mau itu terjadi?”
Freya menggenggam tangan Jade, memberi dorongan. “Kita gak bisa sembunyi lagi, Jade. Mereka harus dihentikan.”
Jade menghela napas dalam-dalam, lalu mulai berbicara dengan suara bergetar. “Jiren muncul tiba-tiba di pesta, gak diundang. Dia bawa satu cewek dan empat cowok yang gue gak kenal sama sekali. Mereka semua kayak pake topi sama hoodie, kayak sengaja nyamar.”
Marcell memajukan tubuhnya sedikit, menangkap detail itu dengan cepat. “Mereka sengaja buat kerusuhan?”
Jade mengangguk pelan. “Gue gak yakin awalnya niat mereka apa. Tapi di tengah pesta, gue lihat mereka mulai nyerang Mackenzie di halaman belakang. Oes langsung lompat buat nolong, tapi... dia malah jadi korban.”
Samuel mengepalkan tangannya di pangkuan. Rasa marah bercampur dengan rasa bersalah memenuhi dadanya.
“Dan lo gak bisa liat wajah mereka jelas?” tanya Gavriel dengan nada frustrasi.
Jade menggeleng lemah. “Enggak. Mereka semua kayak sengaja nutupin identitas.”
Freya menambahkan, “Pas gue telepon polisi, mereka udah kayak tahu waktu yang tepat buat kabur. Mereka keluar lewat sisi rumah yang jarang dilewati orang, kayak udah nyiapin jalur.”
Samuel mengetuk meja dengan ujung jarinya, matanya fokus menatap lantai, berusaha menghubungkan setiap potongan informasi. “Berarti, Oes sama Mackenzie emang udah jadi target mereka dari awal.”
Marcell berdiri dengan napas berat, tangannya menyilang di dada. “Kita harus buru-buru cari tahu siapa cewek dan empat cowok itu.”
Gavriel menatap Samuel dan Marcell bergantian. “Dan kita butuh lebih dari sekadar dugaan. Jiren ini kunci dari semuanya.”
Samuel mengangguk tegas. “Kali ini, kita gak bakal biarin mereka lolos.”
Mereka bertukar pandang penuh tekad. Setiap detik berlalu adalah ancaman, tapi mereka tahu tak ada pilihan lain selain bergerak cepat. Matahari sudah hampir tenggelam sepenuhnya, dan bayang-bayang malam mulai merayap. Tapi di dalam hati mereka, satu cahaya tak akan padam: keadilan untuk Oes.
Mereka akan terus maju, tanpa ragu dan tanpa takut.
***
Mobil melaju menembus malam yang hening, menyisakan kegelisahan di benak para detektif. Sesampainya di kantor, Gavriel membuka pintu dengan langkah lelah, diikuti Samuel, Marcell, Orlando, dan Marvell yang tampak setengah mati kehausan. Lampu neon kantor menyala dingin, seolah turut menyambut mereka dengan keletihan yang sama.
"Gue butuh air," gumam Marvell, buru-buru meraih botol air mineral dari kulkas di pojok ruangan. Ia memutar tutupnya dengan cepat dan meneguk air hingga setengah botol habis dalam satu tarikan napas. "Akhirnya..." katanya lega, menyandarkan tubuh ke meja dengan napas panjang.
Marcell melempar jaketnya ke sandaran kursi dan menghempaskan tubuhnya ke sofa. “Gila, gue gak pernah se-cape ini. Kayak napas aja gak cukup.”
Samuel duduk di sebelahnya, melepaskan sepatu dengan asal dan meluruskan kaki di atas meja. “Bukan cuma lo. Ini malam terpanjang dalam hidup gue.”
“Dan kayaknya masih jauh dari selesai,” timpal Orlando sambil membuka laptop di meja mereka. “Gue cek dokumen-dokumen yang udah kita kumpulin tadi.”
Gavriel membuka lembaran catatan dan laporan dari pertemuan di rumah Jade. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, jari-jarinya memijit pelipis. “Sial, makin rumit. Cewek pirang, empat cowok, Jiren… Semua ini gak klop. Ada sesuatu yang gak keliatan jelas.”
“Makanya, kita harus gali lebih dalam,” Marcell menambahkan, meski matanya sudah setengah tertutup karena lelah.
Marvell duduk di kursinya, menatap botol air kosong di tangannya. “Gue udah haus dari tadi di rumah Jade. Lo gak tau rasanya gimana.”
Samuel tertawa kecil. “Halah, drama lo gak ada abisnya.”
Gavriel menghela napas. “Tapi serius, apa kita yakin Jiren punya rencana sejak awal buat nyerang Oes dan Mackenzie?”
Orlando mengangguk sambil mengetik di laptopnya. “Semua petunjuk sejauh ini mengarah ke sana. Tapi kita masih butuh lebih banyak bukti. Tanpa saksi tambahan, polisi gak bakal bisa menjerat mereka.”
Samuel memutar kursinya ke arah yang lain. “Besok kita harus balik lagi ke kantor polisi. Pak Januar mau kita bawa saksi biar penyelidikan bisa lanjut.”
Marvell mengusap wajahnya dengan kedua tangan, terlihat frustrasi. “Lo bener. Tapi bisa gak kita semua istirahat sebentar dulu? Gue udah gak sanggup mikir lagi.”
Marcell berdiri dan menepuk pundak Marvell. “Setuju. Kita lanjut paginya. Kepala gue juga udah penuh.”
Gavriel menutup map di hadapannya dan menguap. “Bener juga. Kita gak bakal maksimal kalau kayak gini terus.”
Satu per satu mereka mulai bersiap untuk beristirahat, meski pikiran mereka masih dipenuhi dengan misteri yang belum terpecahkan. Marvell merebahkan diri di sofa, botol air masih digenggam erat di tangannya. Gavriel mematikan lampu utama, menyisakan hanya satu lampu kecil di sudut ruangan.
“Besok,” gumam Marcell sebelum matanya terpejam. “Besok kita tuntasin ini.”
Dan dalam keheningan kantor malam itu, para detektif akhirnya bisa menarik napas—meski hanya sejenak.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
Roman pour AdolescentsSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...