Pagi itu terasa begitu sunyi. Bahkan kicauan burung pun seakan menahan diri, seolah ikut merasakan duka yang berat. Matahari sudah terbit, tapi sinarnya terasa redup. Jade berdiri di depan cermin kamarnya, mengenakan kaos lengan panjang hitam dan celana hitam sederhana. Semuanya terasa serba kelam—seperti perasaannya pagi ini.
Ia memandangi wajahnya di cermin. Kantung matanya menghitam karena tak ada tidur semalam. Pikirannya terus dipenuhi sosok Oes. Setiap kali ia memejamkan mata, kenangan malam itu menghantui: darah, wajah Oes yang lemah, dan pelukan terakhir yang masih terasa di kulitnya. Sekarang, yang tersisa hanya bayangan dan... cincin hitam ini.
Jade menatap cincin di jarinya. Cincin milik Oes. Ia memutarnya pelan dengan ibu jari, merasakan dinginnya logam itu. “Kenapa lo nggak bilang apa-apa, Oes?” pikirnya, rasa sesal menghantui. Ia ingin waktu bisa diputar kembali—ingin sekadar memeluk Oes sekali lagi, lebih lama dari malam itu. Tapi kini, semua sudah terlambat.
Tiba-tiba, pintu kamar Jade terbuka perlahan. Maminya muncul dengan wajah penuh keprihatinan. "Jade," panggil Mami dengan lembut, masuk ke kamar dan menutup pintu di belakangnya. Jade hanya menunduk tanpa suara.
Mami mendekat, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi Jade dengan tatapan yang lembut, memahami betapa berat yang Jade rasakan. “Mami tau ini berat, Jadie...” suara Mami terdengar pelan, hampir seperti bisikan.
Jade menggeleng pelan, menahan isakan yang tertahan di tenggorokan. “Aku nggak tau, Mi... Aku nggak tau gimana caranya ngadepin ini semua.” Suaranya terdengar lemah, seperti sudah terlalu lelah untuk menangis.
Mami mengulurkan tangan, menarik Jade ke dalam pelukan. Jade menyenderkan kepalanya di bahu Mami, mencoba mencari sedikit rasa aman di tengah badai perasaannya. Pelukan Mami terasa hangat, tapi tidak mengusir dinginnya kehilangan yang menancap di hati Jade.
“Kadang kita nggak bisa ngubah apa yang udah terjadi, Jade,” kata Mami sambil mengusap lembut rambut Jade. “Tapi kita bisa belajar jalanin hidup, sedikit demi sedikit. Kamu nggak sendiri. Mami ada di sini buat kamu.”
Jade memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu, meski hanya sebentar. Tangannya tetap memegang erat cincin hitam di jarinya, seperti mencari kekuatan dari kenangan Oes.
Setelah beberapa saat, Mami melepas pelukan itu, lalu menatap Jade dengan senyum tipis yang penuh kasih. “Udah siap, Jadie?” tanyanya lembut.
Jade mengangguk kecil, meski di dalam hati ia merasa belum benar-benar siap. Tapi ia tahu, ia harus pergi. Hari ini adalah saat terakhirnya untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Oes.
Mami membantu merapikan rambut Jade sedikit, lalu mengusap pipinya dengan penuh sayang. “Kita hadapin ini bareng-bareng, ya?” katanya. Jade mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit lebih yakin.
Jade bangkit dari tempat duduknya, menarik napas panjang sebelum melangkah ke arah pintu. Saat berjalan melewati cermin, matanya kembali jatuh pada cincin hitam di jarinya. Cincin itu terlihat kontras dengan kulitnya, namun terasa seolah sudah menjadi bagian dari dirinya.
Dengan jemari yang masih sedikit gemetar, ia memutar cincin itu sekali lagi. “Lo bakal selalu ada sama gue, kan, Oes?” bisiknya dalam hati. Meskipun jawabannya tidak akan pernah datang, Jade ingin percaya bahwa bagian dari Oes akan selalu bersamanya—di dalam hatinya dan di cincin yang kini ia kenakan.
Mami membuka pintu kamar, memberi jalan bagi Jade untuk keluar. “Ayo, berangkat.”
Jade menghela napas panjang, lalu melangkah dengan berat. Setiap langkah terasa seperti membawa beban yang tak terlihat, namun ia terus berjalan. Karena hari ini, ia harus ada di sana—untuk mengantar Oes ke peristirahatan terakhirnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
Teen FictionSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...