consilium.

1 0 0
                                    

Siang itu, matahari tetap bersinar terik ketika Jade dan Oes berjalan beriringan di tengah area perkemahan. Suasana di sekitar mereka terasa hangat dengan suara nyanyian serangga dan obrolan riuh teman-teman sepasukan. Sesekali, Jade menendang-nendang kerikil di jalan setapak sambil melirik Oes yang sibuk main-main dengan tongkat bendera di tangannya.

“Lo serius bakal bawa tongkat segede gini ke kegiatan api unggun?” Jade nyengir sambil melipat kedua tangan di dada.

“Kenapa nggak? Ini buat gaya.” Oes mengangkat bahu. “Percaya deh, tongkat kayak gini bikin cewek-cewek kagum.”

Jade menahan tawa. “Cewek mana yang kagum sama anak bawa tongkat, Oes? Paling mereka mikir lo lagi cosplay Gandalf.”

Oes mendengus kecil, tapi dia juga ikut cekikikan. Mereka terus berjalan menuju pos jaga, tempat peserta berkumpul untuk briefing kegiatan selanjutnya. Di pinggir lapangan, suara peluit menggema, memanggil anggota pramuka untuk baris berbaris. Raffael, sang panutan di regu mereka, terlihat di sana—tenang dan tertib seperti biasa.

“Eh, gua ke tempat kakak pembina dulu, ya. Titip posisi gua, Jade!” Oes setengah berlari meninggalkan Jade yang cuma bisa menggeleng.

Di sisi lapangan, Raffael sedang mengecek kelengkapan peralatan regunya ketika sesuatu menarik perhatiannya. Bukan tongkat bendera Oes, bukan pula arahan kakak pembina—tapi seorang cewek yang nyasar masuk area perkemahan.

Cewek itu mengenakan hoodie oversized, rambutnya dikepang rapi, dan wajahnya sedikit kebingungan. Dia membawa sebuah folder musik, dan dari cara dia memegangnya erat-erat, jelas dia bukan anak pramuka.

“Eh, ini... bukan area anak paduan suara, ya?” Cewek itu, Clairine, akhirnya membuka suara, nada suaranya sedikit canggung tapi tidak terkesan panik.

Raffael mengangkat alis sambil tersenyum tipis. “Iya. Kalo ini area pramuka. Lo nggak salah nyasar jauh banget?”

Clairine terkekeh kecil. “Gua nyari aula, tapi malah diajak shortcut sama temen, terus temennya malah kabur. Jadilah gua nyasar sendiri di hutan ini. Lucky me.”

Raffael menahan tawa, menatap folder musik di tangannya. “Lo anak paduan suara? Ngapain bawa folder kemana-mana?”

“Latihan buat pentas. Jangan ketawa, ya.” Clairine mengangkat folder itu dengan setengah bercanda, seolah menunjukkan trofi prestisius. “Lo tahu nggak, kalau suara sopran harus selalu siap siaga?”

“Siap siaga kayak pramuka, gitu?” Raffael menimpali dengan senyum lebih lebar.

Clairine terkekeh, merasakan obrolan mereka mengalir tanpa beban. “Kurang lebih gitu. Cuma bedanya, gua nggak harus bikin simpul tali segala.”

Mereka berdua tertawa, dan Raffael bisa merasakan sesuatu yang menarik dalam percakapan itu. Tidak seperti pertemuan biasa—nggak ada basa-basi berlebihan, dan semua mengalir begitu saja. Clairine terasa seperti angin segar di tengah rutinitas pramuka yang penuh baris-berbaris dan kode morse.

“Eh, mau gua tunjukin jalan ke aula?” tawar Raffael.
“Kalau nggak merepotkan.”
“Nggak, santai aja. Siapa tahu, suatu saat gua butuh tutorial nyanyi juga.”

Clairine tertawa, kali ini lebih lepas. “Deal. Kalau lo ngajarin gua bikin simpul, gua ajarin lo harmonisasi.”

Raffael menuntun Clairine keluar dari area pramuka, meninggalkan suara peluit dan riuh kegiatan pramuka di belakang. Jade dan Oes yang melihat momen itu dari kejauhan cuma bisa saling pandang dengan tatapan penasaran.

“Raffael, coy, sejak kapan jadi smooth gitu?” gumam Oes, setengah kagum setengah bingung.

Jade terkekeh. “Entahlah. Mungkin nyasar kesini emang caranya semesta bikin orang ketemu.”

SMP Floor 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang