"j'ai besoin de repos."

4 5 0
                                    

Setelah upacara di pemakaman usai, Jade tetap tinggal di sana. Mami dan Freya sudah lebih dulu pergi ke mobil, memberi Jade waktu untuk sendiri. Ia duduk di atas tanah basah, menatap kosong nisan Oes, pikirannya tenggelam dalam rasa bersalah dan kehilangan.

Hai.”

Jade mendongak ketika suara itu menyapanya. Sosok Marcell berdiri tak jauh darinya, membawa payung yang baru saja ditutup. Ia mengenakan jaket hitam dan celana jeans, wajahnya lelah tapi sorot matanya ramah.

“Lu nggak mau gabung sama yang lain?” tanya Marcell pelan.

Jade menggeleng. “Gue cuma... pengen sendiri bentar.”

Marcell tidak berkata apa-apa, tapi ia tidak pergi. Ia melangkah mendekat dan duduk di samping Jade, di atas rerumputan basah.

Gue sepupunya Freya,” kata Marcell, memulai percakapan. “Baru dateng dari luar kota buat bantu-bantu soal... ya, semuanya.”

Jade hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. Namun, keberadaan Marcell—orang asing yang tiba-tiba hadir di tengah duka—entah bagaimana, terasa menenangkan.

“Gue ngerti ini berat,” lanjut Marcell. “Gue juga pernah kehilangan sahabat gue dulu. Nggak gampang buat nerima.”

Perkataan itu membuat Jade menoleh sedikit, untuk pertama kalinya memperhatikan Marcell lebih dekat. Usianya memang jauh lebih dewasa, tapi caranya bicara terasa hangat dan nggak memaksa.

“Gimana lo bisa lanjut?” Jade bertanya lirih, suara masih bergetar.

Marcell mengangkat bahu. “Kadang lo nggak bisa lanjut. Lo cuma belajar buat hidup bareng rasa sakit itu. Tapi seiring waktu....”

Jade menghela napas berat, matanya kembali tertuju pada nisan Oes. “Gue nggak tahu bisa sampai sana...”

Marcell menyandarkan tubuhnya ke belakang, menatap langit yang masih mendung. “Lo nggak perlu buru-buru. Yang penting, lo nggak harus ngelewatin ini sendirian.”

Hening beberapa saat. Jade memegang cincin hitam Oes yang ada di jarinya, merasakan dinginnya logam itu menenangkan hatinya.

Thanks sekali lagi,” gumam Jade akhirnya.

Marcell menatapnya dan tersenyum tipis. “Kapan aja.”

Di bawah langit kelabu itu, dua jiwa yang baru bertemu menemukan kenyamanan dalam kesunyian bersama. Entah bagaimana, Jade merasa sedikit lebih ringan. Marcell bukan hanya sosok asing lagi, tapi seseorang yang, mungkin, bisa mengerti rasa sakitnya.

Dan itu cukup untuk hari ini.

                                ***












Mercy menyalakan mesin mobil, dan suara mesin terdengar lembut di pagi yang dingin. Mackenzie, masih menahan nyeri di sekujur tubuhnya, masuk ke kursi penumpang dengan gerakan hati-hati. Ia memasang sabuk pengaman sambil sesekali mengusap memarnya.

“Rumah sakit mana, Ken?” tanya Mercy, menyeka sudut matanya yang sembap.

“Rumah sakit Flores,” jawab Mackenzie singkat. Matanya memandang keluar jendela, menghindari tatapan Mercy.

Mercy mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu menekan pedal gas. Mobil melaju melewati jalan-jalan yang sepi. Di dalam mobil, suasana terasa sunyi, hanya suara roda yang berputar dan deru mesin yang samar. Namun, di balik keheningan itu, ada beban emosi yang menggantung—kenangan yang tak lagi bisa disentuh, dan janji-janji yang tak sempat ditepati.

Setelah beberapa menit terdiam, Mercy akhirnya bicara, mencoba mengisi kekosongan. “Ken, lo inget nggak waktu Oes ngerengek minta dibeliin Barbie?”

Mackenzie, yang tadinya menatap kosong, tersenyum samar meski hatinya masih perih. “Iya... Dia nggak mau berhenti sampai akhirnya mam beliin juga.”

SMP Floor 1997Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang