Invitation
Nathan kembali dari rumah orang tua Juna saat jam makan siang. Talitha yang tak bisa menepikan khawatirnya karena kepergian pria itu ke rumah orang tua Juna, menyambut kepulangan Nathan di ruang tamu. Jia yang tadinya bermain dengan Evita pun berteriak-teriak memanggil Nathan ketika melihat pria itu.
"Bagaimana reaksi mereka? Apa mereka marah?" buru Talitha ketika Nathan menghampiri Jia yang berjalan merambat di meja ruang tamu dan menggendong anak itu.
"Tak ada yang bisa mereka lakukan selain bekerja sama jika mereka masih ingin bertemu Jia," jawab Nathan. "Kau tak perlu khawatir tentang mereka, Ta."
Talitha mengembuskan napas lega. "Tapi, apa mereka mengucapkan kata-kata kejam padamu? Mereka pasti marah ..."
"Setidaknya, hanya itu yang bisa mereka lakukan," tukas Nathan.
"Meski begitu, aku minta maaf karena kau harus menghadapi mereka karenaku," ucap Talitha penuh penyesalan.
"Kau tak perlu meminta maaf, Ta. Aku melakukan ini untuk keluargaku. Dan itu adalah hal yang sudah seharusnya kulakukan." Pria itu tersenyum, memberikan ketenangan pada Talitha.
"Tapi, apa kau benar-benar tidak perlu pergi ke kantor hari ini?" Talitha memastikan. "Jika hanya bertemu dan mengundang anggota timku, aku bisa menghadapi mereka sendiri. Kau sudah sangat membantuku dengan menemui orang tua Kak Juna."
"Tapi, bukankah ini pertama kalinya kau akan bertemu mereka secara langsung?" sebut Nathan.
Talitha mengangguk.
"Karena itu, aku tak mungkin membiarkanmu pergi sendiri menemui mereka," tandas Nathan. "Dan aku sudah berkata, jika aku akan menemanimu jika kau ingin bertemu mereka."
"Mereka bukan orang jahat," Talitha meyakinkan Nathan. "Bahkan ketika manajer kami menipu kami, mereka tadinya menolak aku mengganti rugi uang mereka."
Nathan mengerjap. "Kau ... apa?"
"Uh-oh," Evita menyeletuk. "Sori, Ta, aku tak bisa membantumu kali ini. Dan Kak Nathan berhak tahu tentang masalah itu."
Nathan menoleh pada Evita. "Apa maksudmu?"
"Well, itu ..." Talitha ragu untuk mengatakannya, tapi ia tahu, Nathan berhak tahu. "Setahun yang lalu, manajer timku membawa kabur uang hadiah beberapa kompetisi yang aku dan timku kumpulkan untuk menyewa ruang berlatih. Dan akhirnya, aku menggunakan uang tabunganku untuk mengganti uang itu. Meski mereka menolak, tapi aku memaksa akan membubarkan tim jika mereka tidak mau menerima uang ganti rugi dariku."
Nathan mendengus tak percaya.
Apa pria itu kecewa pada Talitha?
***
"Apa saja yang kau lakukan hingga hal seperti itu terjadi?" Nathan tak bisa menahan amarahnya.
"Nathan, maaf jika aku mengecewakanmu. Aku ..."
"Bukan kau, Talitha," Nathan melembutkan suaranya. Ah, gadis ini pasti menyalahkan dirinya sendiri. "Aku tidak marah padamu. Dan aku tak menyalahkanmu." Nathan mengusap lembut rambut Talitha. "Aku tahu, kau pasti sudah berusaha melakukan yang terbaik. Tentu saja itu bukan salahmu jika sampai ada orang yang menipumu. Yang salah adalah orang yang menipumu dan menyalahgunakan kepercayaan dan kebaikanmu."
Nathan lantas menatap Miko tajam. "Tapi, aku tak tahu apa yang Miko lakukan ketika hal seperti itu terjadi," singgung Nathan. "Seharusnya, dia bisa melakukan sesuatu tentang itu."
Miko menghela napas.
"Jangan bilang, kau masih belum menangkap orang itu hingga sekarang?" sinis Nathan.
"Talitha menyembunyikan masalah itu dari Nania. Baru beberapa bulan setelahnya dia memberitahu Nania ketika datanya disalahgunakan orang itu," urai Miko. "Ketika aku mengejarnya, dia sudah menghilang ke luar negeri. Dan melacaknya di luar negeri tidak mudah. Sampai saat ini pun, orang yang kukirim masih berusaha mencarinya, tapi hasilnya nihil."
Ah, sungguh ... kenapa Nathan tak pernah mendengar tentang ini?
Nathan menoleh pada Evita. "Kenapa kau tak pernah mengatakan padaku tentang masalah ini?"
Evita meringis. "Sejujurnya, aku juga baru tahu jika masalahnya belum selesai. Saat Talitha menceritakan padaku, dia bilang masalahnya sudah selesai." Evita ikut menghela napas. "Jika aku tahu masalahnya belum selesai, tidak mungkin aku tinggal diam. Kau juga tahu itu, Kak."
"A-aku tidak berbohong padamu," Talitha berbicara cepat. "Masalahnya sudah selesai dengan aku mengganti uang anggota timku."
Evita tertawa kering. "Baiklah, kita anggap saja seperti itu, Ta. Jangan terlalu dipikirkan."
Nathan menarik napas dalam. "Evita benar. Kau tak perlu memikirkan masalah itu lagi." Akan lebih baik jika Nathan yang membereskan itu tanpa sepengetahuan Talitha. "Apa kau sudah membuat janji temu dengan anggota timmu?"
Talitha mengangguk. "Aku memesan tempat di kafe tempat mereka biasa berkumpul," terang Talitha.
"Baiklah. Kita bisa berangkat kapan pun kau siap," ucap Nathan.
"Bagaimana jika kita pergi setelah Jia tidur?" tanya Talitha. "Sejak pagi tadi, jika tidak melihatku, Jia terus mencariku meski ada Evita dan Miko. Tadi pagi juga dia bangun dengan menangis. Mungkin dia bermimpi buruk."
Nathan mengangguk. Namun, ia berpikir sejenak, "Jika kau mau, kita bisa mengajak Jia juga."
Talitha menggeleng. "Aku khawatir anggota timku akan merasa terganggu." Talitha meringis.
"Tapi, jika nanti Jia menangis karena tak melihatmu ..."
"Aku bisa mengikuti kalian dari jauh bersama Jia," Evita menawari. "Karena Jia tidur, aku akan memesan tempat pribadi. Ah, tidak. Aku akan memesan seluruh kafe saja." Evita tampak puas dengan keputusannya. "Ta, apa di kafe itu ada playground-nya?"
"Aku tidak tahu tentang itu. Aku akan menanyakannya ..."
"Tidak perlu. Aku akan bertanya sendiri sambil memesan kafenya," tukas Evita.
Bahkan jika kafe itu tak memiliki playground, Evita mungkin akan memindahkan playground di sana.
"Aku akan bersenang-senang dengan Jia di sana, jadi kau tak perlu khawatir dengan Jia dan bisa fokus mengobrol dengan timmu, Ta," ucap Evita. "Ini pertemuan pertama kalian, kan?" Evita tersenyum.
Talitha tampak terharu. "Terima kasih. Aku merasa aku terlalu bergantung padamu untuk banyak hal."
Evita mengibaskan tangan. "It's nothing, Ta. Kuharap, kau bisa bersenang-senang dengan teman-temanmu. Dan aku akan bersenang-senang dengan Jia."
"Teman-teman ..." gumam Talitha pelan.
Untuk Talitha, mereka mungkin adalah teman yang ia miliki selain Evita dan Miko. Bahkan seorang Nathan pun setidaknya masih punya beberapa orang yang bisa disebutnya teman. Namun, sepertinya tidak dengan Talitha.
Evita benar-benar tak kurang satu apa pun dalam hal mendukung Talitha. Apa pun keputusan Talitha, Evita melakukan yang terbaik untuk mendukungnya sambil berusaha melindungi dan memastikan keselamatan Talitha dari belakang. Dia memundurkan kekhawatirannya pada Talitha demi mendukung keputusan Talitha.
Ah. Seandainya Nathan juga bisa seperti itu. Karena sepertinya, orang-orang yang ada di samping Talitha, seperti kakak dan kakak iparnya, juga Evita dan Miko, mereka melakukannya seperti itu.
Namun, jika itu menyangkut Talitha, Nathan tak bisa menepikan kekhawatirannya. Memikirkan hal buruk sekecil apa pun terjadi pada Talitha, Nathan sudah tidak bisa tenang.
Di satu titik, Nathan menyadari. Cepat atau lambat, perasaannya pada Talitha akan menjadi obsesi. Dan jika itu terjadi, Talitha pasti akan membenci Nathan. Namun, bagaimana Nathan bisa mengendalikan perasaannya?
Lagipula, orang normal mana yang bisa tenang ketika wanita yang dicintainya berada dalam bahaya? Bahkan hanya membayangkannya sudah cukup mengerikan untuk Nathan. Bagaimana Nathan bisa mengendalikan perasaannya yang bagaikan ombak pasang bagi Talitha ini?
***

KAMU SEDANG MEMBACA
The Baby's Project
AcakDunia Talitha seolah runtuh ketika ia harus kehilangan kakak dan kakak iparnya, meninggalkannya dengan Jia, bayi mereka yang masih berumur satu tahun. Talitha bahkan tak bisa mengurus dirinya sendiri, bagaimana bisa dia mengurus keponakannya? Natha...