Hello, KKN! | [20. Halo, Axel?]

45.5K 6.2K 6.3K
                                    

Haiii

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Haiii.🌼


Udah siap menghadapi Gege-Axel eraaa??? XD


Atau tetap mendukung—dan menghujat—Kama untuk jadi pemenangnya? WKWK


Untuk 4600 kata ini mau spam emot apaaaa?????


Selamat membacaaa. Jangan lupa  dibakar vote dan komennya yaaa🔥🔥🔥

***





Masih duduk di ruangan bercat putih dengan tirai hijau yang disingkap di sekeliling ranjang pasien, Gege dan Kama baru saja selesai menemani Mak Wasih melewati pemeriksaan EKG. Salah satu kerabat Mak Wasih, Bu Nurma namanya, datang menyusul ke klinik saat kabar tentang Mak Wasih terdengar malam itu. Diperlukan persetujuan dari kerabat pasien karena Mak Wasih harus segera dibawa ke rumah sakit daerah untuk tindakan lebih lanjut.

Bu Nurma datang diantar oleh seorang anak laki-lakinya dengan menaiki motor, mengucapkan kata 'terima kasih' berkali-kali pada Kama dan Gege karena sudah mengantar Mak Wasih ke klinik dengan sigap. "Saya keponakan Mak Wasih, anak dari adiknya Mak Wasih," jelas Bu Nurma. "Terima kasih sudah menjaga Mak Wasih ya, Mak Wasih sering cerita tentang aa-aa dan teteh-teteh KKN," ujarnya. "Dia bilang, semenjak aa dan teteh tinggal di samping rumahnya, Mak Wasih kembali merasakan kehangatan, keramaian."

Kama dan Gege sesaat saling pandang. Lalu, Kama yang bicara pertama kali. "Mohon maaf karena sebelumnya kami tidak meminta persetujuan dari Bu Nurma selaku keluarga dan langsung membawa  Mak Wasih ke klinik, karena kami terlalu panik tadi." Dan juga, mereka tidak menyangka bahwa selama ini Mak Wasih masih memiliki kerabat dekat di Welasasih.

"Justru saya sangat berterima kasih." Bu Nurma menatap wajah Mak Wasih yang kini masih memainkan phone case milik Gege. "Selama ini, kami sudah membujuk Mak Wasih untuk pindah ke rumah kami. Sempat rumahnya ditawar dengan harga tinggi untuk pembangunan vila yang sekarang dijadikan posko KKN, tapi Mak Wasih menolak. Katanya, beliau ingin tetap tinggal di sana, hidup sendirian—Ah, maksudnya, hidup dengan kenangan bersama suami dan anaknya." Kembali Bu Nurma menatap Mak Wasih. "Dan kami menghormati keputusan itu."

"Mak Wasih ... mempunyai anak?" tanya Gege.

Bu Nurma mengangguk. "Punya. Namanya Agung. Tapi sudah tiada sejak usianya dua puluh tahun. Meninggal dunia akibat kecelakaan motor saat sedang membonceng Bah Tata, ayahnya. Agung meninggal di tempat kejadian, sedangkan Bah Tata sempat bertahan dua hari sebelum akhirnya ... menyusul Agung."

"Kejadiannya sudah lama?" Kama ikut bertanya, setelah menatap iba wanita lanjut usia yang kini masih membolak-balik posisi phone case merah marun di tangannya.

"Sudah lama sekali .... Empat puluh tahun yang lalu. Di usianya yang sekarang mau menginjak delapan puluh tahun, berarti Mak Wasih sudah melewati waktu sendiri hampir separuh usianya." Bu Nurma menjelaskannya dengan mata berkaca-kaca. Dia melepaskan tawa saat sadar air matanya mulai meleleh. "Maka dari itu .... Setiap kali bertemu saya di ladang, beliau selalu menceritakan betapa bahagianya ada aa dan teteh di dekat rumah, beliau bisa membuatkan makanan setiap hari seperti saat suami dan anaknya masih ada."

Hello, KKN!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang