"Pertunangan kita ini harus dirahasiakan!"
Begitu kesepakatan Kama dan Gege sebelum keduanya melakukan kegiatan KKN 111 Desa Welasasih. Hubungan pertunangan yang hanya diinginkan oleh dua pasang orangtua sementara Kama dan Gege menyatakan tidak sal...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Haiii.🌼
Kangen siapaaa di siniii???
4600 kata lagi 🥲 mau spam emot apa?
Udah siap baca ADITIONAL PART DI KARYAKARSA SETELAH INIII???🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
Aku suka banget bacain komentar karena jujur itu menghibuuur bangettt. Jadi jangan lupa bakar vote dan komennya yaaa. Kalau bisa mah komennya tiap paragraffffff wkwkwkwkwk. Jangan lupa juga kasih api duluuuu yang banyaaak 🔥🔥🔥
***
Ke depannya, sepertinya Gege harus kembali melakukan sosialisasi ulang terkait layanan konseling yang dia terima di Welasasih. Warga Welasasih setidaknya harus tahu bahwa Gege hanya akan membantu masalah seseorang dalam kerahasiaan mengenai hal yang tengah dihadapi kliennya.
Karena kini, di ruangan kecil yang biasa dia gunakan untuk menerima satu klien itu, berkumpul begitu banyak orang hingga ruangan itu terasa sesak. Mungkin ada sepuluh orang? Atau dua belas? Atau mungkin lebih karena orang-orang di dalamnya datang silih berganti dan membuat keadaan menjadi sangat chaos.
Ada Teh Yani, yang pertama datang, mengaku sebagai menantu yang setiap hari selalu merasa disudutkan. Seorang wanita dengan rambut dicepol asal dan daster bunga-bunga hijau yang setengah basah itu datang sambil menangis. Mungkin dia sedang mencuci, atau beres mencuci sebelum datang ke ruangan itu?
Tidak lama kemudian, datang Bu Tati, yang merupakan mertua Teh Yani untuk melakukan klarifikasi. Wanita berjilbab cokelat yang senada dengan gamis yang dikenakannya, tampak sudah siap untuk pergi pengajian dengan tas tangan yang dijinjingnya.
Dan beberapa saat kemudian, hampir seluruh kerabat dekatnya datang ke ruangan itu untuk memberikan pembelaan pada masing-masing pihak.
Teh Yani menunjuk dadanya. "Coba Teh Gege bayangkan, kurang apa saya sebagai menantu? Saya rela setiap bulan gaji suami saya dibagi dua dengan ibu mertua—"
"Yani, tong rasa maneh pang benerna jadi jelema, lalaki mah milik indungna tepi ka iraha wae oge. Najan boga pamajikan, Rahmat tetep anak kami." [Yani, jangan merasa paling benar jadi orang, laki-laki itu tetap milik ibunya sampai kapan pun. Walaupun ada istri, tapi Rahmat tetap anak saya.]
"Bu, tenang ya, Bu." Gege berdiri dari kursinya, mencoba menengahi keadaan ricuh itu, karena setelahnya semua orang di ruangan ikut bicara.
"Kami ge apal, didinya sok ngulah-ngulah Rahmat datang ka Imah indungna. Ulah kitu jadi pamajikan teh, Yani." [Saya juga tahu, kamu suka melarang Rahmat untuk datang ke rumah ibunya. Jangan begitu jadi istri tuh, Yani.] Itu merupakan salah satu suara yang membela Bu Tati, saling tunjuk dua kubu itu dengan kata-kata yang kadang tidak Gege mengerti.