~Kendall Jenner's POV~
Aku masih memandang layar televisi. Entah, aku merasakan sesuatu yang mengganjal semenjak melihat kejadian tadi siang direstoran. Aku mengakui ada yang remuk didalam sana. Tapi aku mencoba mengabaikannya. Tidak yakin dengan apa yang ada di pikiranku. Aku menonton televisi dengan tidak nyaman. Entah karena barang-barang dari ruang kerja Cam yang sebagian menggunung di ruang tengah, atau karena sesuatu yang lain.
Sesekali aku mengamati kunci kamarku yang masih tergeletak mej amakan semenjak pagi. Aku merasa tidak yakin akan membuka kamar itu. Dan juga, entah kenapa merasa enggan menempatinya. Merasa menyesal dengan ide yang aku cetuskan sendiri. Aku mendengus. Aku lihat jam di dinding. Jam setengah satu malam.
Aku menghembuskan napasku. Menyenderkan kepalaku disenderan sofa. Aku tidak yakin, tapi sepertinya aku agak kehilangan akal. Semenjak pulang tadi sore, aku duduk disini dan tidak begerak selain kedapur untuk mengambil minum. Aku menutup mataku. Ada apa denganku?
Tiba-tiba, aku mendengar pintu yang terbuka. Menampilkan sesosok lelaki yang tadi pagi belum aku sapa. Dengan wajah kusut dan rambut berantakannya, dia memasuki apartemen ini. Aku hendak menyapanya, namun urung. Aku mendengar dia sedang berbicara dengan seseorang dari ponselnya.
"Tenang, aku sampai dengan selamat. Haha, aku tahu. Ya, selamat malam. Mimpi indah."
Nada bicaranya, tidak kalah lembut dari saat dia meneleponku tadi pagi. Dia berbicara dengan siapa? Aku mengamatinya. Lampu ruang tengah, memang aku matikan sejak tadi sore. Hanya menyisakan lampu pantry yang menyala. Beberapa tumpuk kardus dari ruang kerja Cam dulu, menghalangi pandangan ke sofa dari pintu. Sehingga mungkin dia tidak melihatku.
Tiba-tiba dia tersenyum begitu lebar setelah mengamati ponselnya. Senyum yang belum pernah aku lihat. Selama bersamaku, dia tidak pernah senyum selebar itu. Dia kemudian bergerak, menaruh tasnya di meja makan. Dia sempat terpaku dengan kunci yang masih tergeletak disana. Kulihat, dia mengamati pintu kamarnya. Dia mendekat dan membukana. Camoron, apa kau tidak melihat televisi menyala huh? Bodoh!!
"Camoron!! Apa aku sebegitu tidak kelihatan, huh?"
Entah, dia yang berlebihan atau aku yang memang mengagetkannya, dia terlonjak kaget. "Kendall!! Jangan mengagetkanku seperti itu!!!" Ketika mendengar omelannya, bukan tersenyum geli, tapi aku merasa sedikit sedih. Kendall, bukan Kenny.
Tiba-tiba saja, emosiku menjadi tidak terkendali. Mungkin aku akan kedatangan tamu sebentar lagi. Tapi, itu membuatku beranjak, dan mengambil kunci di meja makan, dan membukanya. Dan telak, aku termangu. Dekorasi kamar karya Cameron Dallas, menyambutku. Dengan warna dominan putih gading, dan lantai kayu berwarna coklat tua, membuat suasana seperti diapartemenku dulu. Bagaimana bisa dia membuat yang sama persis? Kecuali model tempat tidurnya dan lemari.
"Bagus kan?" Cam sudah ada disampingku. Dia merangkulku. "Bagaimana pendapatmu?"
Perasaan sebal yang sempat melanda nuraniku, kini menguap secara tiba-tiba. Digantikan senyuman manis. Aku menoleh dengan masih mempertahankan senyuman itu, lalu mengangguk. Cam tersenyum lebar. Malah, lebih lebar dari senyuman beberapa menit lalu sambil menatapi ponselnya. Ada perasaan lega, aku bisa membuat senyumannya lebih lebar dan tulus.
"Keren." gumamku sambil menoleh melihat sekeliling.
Cam menggiringku masuk, dengan tangannya yang masih merangkulku. Aku merasa senang, tangannya masih di pundakku. Padahal dulu, aku begitu membencinya. "Kau suka kan?" Cam menatapku menggoda. Aku terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dallas Twins [CAMERON DALLAS]
Hayran KurguKetika dua anak kembar menyukai dua saudara kandung yang membuat ini semua menjadi rumit. Cameron 》 Kendall 》 Felix 》 Kylie 》 Cameron Lalu bagaimana semuanya akan berlalu? Bagaimana mereka melewatinya?