16. Thalia, Dhanu dan Telfon Nada

28.4K 2.6K 47
                                    

Dhanu.

Yaz, bung! Malam ini Thalia hanya milik gue. Terima kasih untuk orang tua Najla yang memutuskan untuk rujuk, sampai-sampai cewek itu nangis sambil teriak-teriak di telfon. Moment langka ini tentu saja membuat Najla tidak rela meninggalkan rumahnya walau hanya ke teras.

"Tha, lo berani nggak tidur sendiri? Kamar lo kan deket kolam renang, nggak takut disamperin setan kolam renang?" siapa yang perduli dengan ledekan gue yang crispy? Orang lagi senang mah bebas.

Plak!

"Aw, mama sakit!" gue meringis ketika gulungan majalah mama mengenai punggung gue. Ternyata, selama ada nyokap gue, orang senang nggak sebebas itu.

"Sana, nyetir aja yang bener, jangan gangguin Thalia!" gue melirik nyokap yang masih siap tempur.

"Dhanu kenapa nanyain? Mau nemenin Thalia?" duh, bokap mancing gue, nih. Tanggepin nggak ya?

"Boleh nih, Pa?"

"Boleh dong, tapi kamu jagainnya di depan kamarnya aja ya? Jadi satpam." Kambing, kambing, gue pikir setidaknya bokap gue bisa sedikit mendukung gitu, taunya sama aja.

"Jangan om, kasian kalo di depan kamar aku, ntar Dhanu digigitin nyamuk, mending dia suruh di kolam renangnya aja, siapa tau jodoh sama setannya." Gue hanya tertawa miris dengar ide Thalia. Setelah masuk best friend zone, supir zone, katering zone. Sekarang dia mau jadikan gue apa? Satpam dan pemburu hantu?

Tenang aja Tha, i'm available for every-your-shit-zone.

***

"Ya ini kesempatan lo Dhanu bodoh, tinggal bilang aja gitu, kalo selama ini lo suka sama dia. Apa susahnya, sih?" di sela-sela kebahagiaannya, Najla menyempatkan diri untuk memotivasi--atau memaki-maki(?)-- gue, untuk menyatakan perasaan gue ke Thalia.

Perlu dirajam mungkin teman gue yang satu ini, tadi dia bilang apa? Apa susahnya?

Seriously, nyet! Lebih baik gue ditolak oleh jutaan wanita yang setara dengan Megan Fox di luar sana, daripada ditolak oleh si Thalia ini. Gue akan lebih berani nembak Emma Watson atau whoever perempuan yang kalian tawarkan dari pada menyatakan perasaan pada sahabat gue sendiri.

"Enak banget ya itu mulut, seakan-akan lo sendiri gampang ya nerima cowok? Lupa itu si Bagas sampe lumutan di jemuran?"

"Ye, nggak nyambung deh lo, kambing! Udah sana nyatain, bentar lagi kan kita ujian dodol." Kalimat Najla membuat gue terpekur sesaat. Ujian, demi memikirkan Thalia gue melupakan satu masalah penting itu. Bukan ujiannya, tapi soal masa SMA gue yang hanya tinggal menghitung bulan. Kalau soal nilai ujiannya sih, gue adalah paket lengkap pintar dan ganteng.

"Gimana caranya?" gue tau, di tempatnya sana, Najla sedang menghela napas kesal, kalau gue ada di sana, bisa dipastikan badan gue sudah biru-biru karena cubitan itu anak.

"Lewat Facebook! Udah ah, capek, percuma ngomong sama kambing! Gue mau jalan dulu sama bokap nyokap." Najla menyahut asal, membuat gue berdecak. Facebook? Gila kali. Lebih gila lagi karena barusan gue berpikir Najla serius menyuruh gue nembak lewat Facebook.

"Berasa ngedate ya, Jla? Yaudah sana gih, bye!" Najla nggak repot-repot membalas bye gue, karena dia sudah menutup telfonnya duluan. Gue ikut tersenyum, membayangkan betapa bahagianya si ratu ular saat ini, mungkin selama tiga tahun mengenal Najla, baru kali ini gue bisa dengar dia selepas ini.

Gue baru mau meletakan handphone, ketika nama Nada tertera di layar, dia ngechat waktu gue lagi telfonan sama Najla tadi, rupanya.

Denada Khairrunisa sent picture

Denada Khairunnisa: Yang gini, gimana caranya ya?

Dhanu Ishal Y: Itu pake rumus yang gue ajarin kemarin, yang soal nomor 25 kalo ga salah

Denada Khairunnisa: Telatan, tapi thanks ya!

Kalau gue balas chat itu dengan kata 'sama-sama', maka selesailah obrolan kami hari ini. Mungkin, ini juga salah satu alasan kenapa gue betah lama-lama 'bermain-main' dengan Nada. Dia beda sama cewek lainnya, kalau biasanya cewek itu suka memperpanjang topik obrolan, ngalor-ngidul-garing-jayus, Nada selalu punya topik yang berkualitas dan nggak membosankan, wawasan dia luas, nggak hanya berkisar pada make up, merk, atau cowok.

Pada saat-saat tertentu seperti saat ini, dia nggak akan berusaha agar terus kontakan dengan teror chat atau telfon yang bikin merinding. Nada sangat mengerti bagaimana caranya membuat seseorang nyaman ngobrol panjang lebar sama dia, Nada tau bagaimana bersikap layaknya perempuan terhormat yang menyukai laki-laki seperlunya.

Beda banget memang sama gue, si cowok murahan yang mencintai cewek sejadi-jadinya. Tolol memang.

Yah, intinya, she's smart, cute, and adorable.

Jadi, siapapun tolong jelaskan, kenapa nggak gue jadikan pacar aja, si Nada ini dan malah memilih untuk ngesot-ngesot ngejar Thalia? Sinting memang gue, atau mungkin Thalia yang sinting karena mental sama pesona gue.

Karena gue merasa butuh sedikit oksigen untuk harga diri gue, akhirnya gue memutuskan untuk menelfon Nada. Setidaknya, ditengh-tengah berserakannya harga diri gue, masih ada Nada yang mau ngebantuin mungutin.

"Hallo Nad!"

"Hallo kak, kenapa deh lo nelfon? Ngerasa bersalah?" di ujung telfon sana, gue dengar Nada tertawa renyah, membuat senyum gue merekah. Duh, Nada, ketawa lo memang kayak asupan gizi buat cowok busung lapar kayak gue ya.

"Iya nih, merasa bersalah banget, bikin lo kangen sama gue seharian." Berawal dari PR matematika, yang berlanjut pada line receh gue, obrolan kami berlanjut hingga satu jam lamanya, mungkin akan terus berlanjut kalau saja tidak ada suara cempreng yang berteriak.

"Dhanu! Keluar cepetan! Temenin gue ke puncak pas!" Ya, saudara-saudara, tidak perlu ada pop quiz tentang siapa yang berteriak, 'kan?

And guess what, ditengah keseruan percakapan kami, apa yang akhirnya gue katakan ke Nada?

"Udah dulu ya, Nad, gue tiba-tiba ada urusan mendadak, nih."

Yap, saat ini, evil in my head, mungkin sedang mengadakan pesta pora, sambil berteriak "Terus aja lo, Nu, jadi babu perasaan."

Shit!

------

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang