Thalia.
Dokter Dina membawa kami ke ruangannya, psikiater Najla masih cukup muda, tapi garis wajahnya serta jas putih yang ia kenakan, memberi kesan profesional yang melekat.
Pada awalnya, dokter Dina menawarkan kami untuk di wawancarai di ruangan yang berbeda, namun kami semua menolak. Kami sepakat, bahwa baik dari pihak orang tua Najla maupun dari pihak aku dan Dhanu, harus mendengarkan penuturan satu sama lain, tanpa ada yang ditutupi.
Aku tidak dapat menahan tenghorokan ku yang tercekat ketika Dokter Dina mewawancarai kedua orang tua Najla. Miris, pertanyaan itu hanyalah pertanyaan umum, sehari-hari, tapi hanya sedikit yang mampu orang tua Najla jawab.
Bercanda mungkin mereka, bagaimana bisa mereka bahkan tidak tau cita-cita Najla? Mereka tidak ingat makanan kesukaan Najla? Bagaimana bisa, orang tua lupa hari ulang tahun anaknya sendiri?!
Ketika pertanyaan menjurus ke zona yang lebih pribadi, aku tidak bisa tidak merasa tercekik kala mendengar cerita dari mama Najla.
Penyebab Najla nekat seperti ini adalah pengumuman perceraian dari kedua orang tuanya. Seperti biasa, Najla hanya diam, tidak marah atau pun berontak, jadi tidak ada yang menyangka, kalau keadaan bisa berakhir seperti ini.
Aku menggigot bibir bawahku, seolah bisa merasakan bagaimana remuknya Najla. Selama ini Najla percaya, bahwa keluarganya telah kembali utuh, dia percaya bahwa penantiannya selama ini pada akhirnya berbuah manis. Namun lagi-lagi, terkadang kepercayaan memang bersifat menghancurkan.
Selesai mengajukan pertanyaan pada kedua orang tua Najla, Dokter Dina pun beralih pada ku dan Dhanu. Sekilas, aku menatap wajah lelah kedua orang tua Najla. Beribu maaf aku layangkan lewat tatapan mata, karena aku tau, aku mungkin akan menyakiti keduanya lebih dalam.
Seperti mengerti arti tatapanku, papa Najla mengangguk kecil.
"Ceritakan saja, kami nggak cukup baik untuk tau bagaimana keadaan putri kami."
Aku pun menghela napas berat, menatap Dhanu, sebelum akhirnya mulai bercerita, tanpa di tanya terlebih dahulu.
"Najla nggak punya teman dekat waktu SMP, sedangkan kami baru mengenal ketika ospek SMA.
"Najla pernah cerita, kalau saya dan Dhanu adalah teman pertama yang ia ajak main ke rumah, katanya karena dia nggak suka kalau ada teman yang bertanya tentang keberadaan orang tuanya di rumah itu." Aku tau, ini bukan pembukaan cerita yang baik, karena keruh makin tampak di wajah kedua orang tua Najla.
"Tapi, meskipun begitu, di SMA Najla cukup terkenal. Dia nggak hanya cantik, tapi juga baik dam cerdas, Najla mandiri dan dewasa, pintar menempatkan diri, dia berkharisma." Aku tidak dapat menyembunyikan nada kagum dalam suaraku, harus aku akui, sahabatku itu mempesona dalam banyak hal. Tapi, tenggorokan ku kembali tercekat ketika melanjutkan cerita.
"Dia gadis paling tegar, dan teman paling tulus yang pernah saya temui." Aku merapatkan bibirku, mengapa sulit sekali mengenang Najla, kenapa mengingatnya membuatku berpikir bahwa mungkin aku tidak bisa melihatnya lagi besok. Kenapa mengingat Najla sama memilukannya seperti mengenang Papa?
"Pertama kali saya kenal Najla, pada ospek hari pertama, saat itu dia membagi bekalnya kepada saya, agar saya tidak kena hukum senior karena lupa bawa. Padahal, kalau sampai dia ketahuan membagi bekalnya, ia juga bisa mendapat hukuman.
"Setelah itu, entah bagaimana saya bisa langsung nyaman berteman dengan Najla. Walaupun tidak ketara, Najla adalah anak yang tulus, ia melakukan banyak hal tanpa pamrih, sekalipun kalimat sakarstik sering keluar dari bibirnya, tapi saya tau Najla tidak pernah bermaksud menyinggung perasaan orang lain.
![](https://img.wattpad.com/cover/46387886-288-k260765.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
Teen Fiction#26 in teenfiction (19 April 2017) Jika ada tempat, dimana memiliki terasa begitu mustahil, dan meninggalkan rasanya terlalu sulit, maka Dhanu dan Thalia berdiri di sana. Begitulah keduanya, yang satu berlari, yang satu hanya diam, yang satu mengeja...