48. Worst Mistake

41.3K 2.6K 326
                                    

Thalia.

If you don't fight for what you love, don't cry for what you lost.

Aku telah berkali-kali merasa kehilangan. Kehilangan Papa ketika aku masih sangat muda, kehilangan sosok Mama karena keterpurukan, kehilangan kepercayaan pada orang lain karena merasa dikhianati, bahkan aku pernah merasa kehilangan diri sendiri ketika aku terlalu mencintai orang lain.

Tapi aku tidak pernah menyangka, kehilangan selanjutnya yang aku hadapi adalah kehilangan seorang Dhanu Ishal. Cowok tengil yang telah bertahun-tahun menjadi sandaran ku. Dhanu bukan yang aku mau, tapi dia adalah sesuatu yang aku butuhkan.

Menyedihkannya, aku baru menyadarinya setelah ia pergi.

Kemana saja aku selama ini?

Aku di sini, dia pun di sini, hal itu yang membuatku tidak pernah menyadari rasanya kehilangan.

Dhanu bukan sekedar sahabat, lebih dari itu ia adalah obat. Aku pernah terpuruk karena kehilangan Papa, lalu terlalu enggan untuk bergantung pada kak Tio, hingga akhirnya Dhanu lah yang selama ini aku jadi kan rumah; tempat ku selalu kembali.

Tidak perduli Radith atau siapapun laki-laki yang ada di hidupku, satu-satunya yang aku tuju setiap aku merasa jatuh dan tidak berdaya adalah Dhanu. Sayangnya, aku tidak pernah menyadarinya.

Ketika tau bahwa pesawat Dhanu telah lepas landas, satu-satunya yang aku rasakan adalah kekosongan. Kaki ku kebas, pikiran ku menerawang, sampai akhirnya aku merasa sesuatu yang pahit terjebak di tenggorokan ku, aku merasa seperti kehilangan oksigen di sekitarku. Aku tercekat.

Aku jatuh, duduk di lantai, bertopang pada tiang. Fadli hanya menatapku, begitu pun pengunjung bandara yang lain, tapi aku tidak perduli.

Sesuatu menghantam-hantam dadaku, memukulinya berkali-kali, hingga aku merasa sesak dan tidak mampu bernapas.

Setelahnya, di luar kesadaran aku berlari menuju terminal keberangkatan, pada pintu kaca yang tertutup aku berusaha menemukan Dhanu di sana. Napasku tersengal, dadaku tercekat, aku terisak memohon agar ada keajaiban yang membuat Dhanu masih bisa berada di sana. Namun nihil, pada akhirnya, aku dan Fadli harus di giring security keluar dari Bandara.

Aku tidak mampu berdiri, hanya membekap mulutku berusaha meredam isakan.

Tiga jam telah berlalu sejak aku meninggalkan Bandara, dan di sinilah aku sekarang, di kamar Najla, berusaha mengatur napas setelah menangis nyaris satu jam lamanya.

Jutaan kali aku mendengar, bahwa seseorang baru berarti setelah kita kehilangan. Begini kah rasanya? Sesak ini tidak terdefinisikan.

Dadaku berdenyut ngilu kala mengingat kalimatnya di La Bridge kemarin malam. Seperti ingatan hitam putih, mereka bergerak cepat, menghantarkan ku pada satu kesadaran; Dhanu telah melakukan banyak hal untuk menyadarkan ku, namun aku terlalu pengecut, hingga akhirnya penyesalanlah yang aku temui.

"Gue bodoh banget, Jla..." suara parau terdengar di sela isakan ku, namun Najla hanya mengelus bahuku lembut.

Di banding aku, keadaan Najla jauh lebih baik.

"Tha, selama ini, Dhanu udah banyak berjuang buat lo, dia selau ngalah sama kita, Dhanu selalu menjadikan kita prioritas di atas dirinya sendiri, mungkin ini saatnya buat kita ngelepas dia, asal dia baik-baik aja, kita juga baik-baik aja, right?"

Aku menggeleng pelan, aku tidak ingin lagi berbohong atau berpura-pura. Aku butuh Dhanu, dan aku tidak baik-baik saja tanpa dia di sisi ku.

***

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang