Najla.
Setelah seruan sah yang aku dengar pagi tadi di sebuah masjid yang kami gunakan untuk menggelar akad pernikahan kami, aku tidak benar-benar sadar apa yang terjadi.
Seperti film yang berputar cepat, tiba-tiba saja aku sudah berada di salah satu ruangan hotel ini, memakai sebuah gaun yang Rendi pilih seminggu yang lalu.
Kebaya yang aku gunakan untuk akad tadi pagi tergantung manis di salah satu sisi dinding ruangan dan di hadapanku telah terpantul sesosok Najla yang baru.
Najla sebagai istri dari Rendi Bramantya.
Tiba-tiba saja aku merasakan ada gemuruh dalam dadaku, namun tidak terasa menyakitkan. Debaran ini terasa sangat menyenangkan, terlalu menyenangkan sampai-sampai aku merasa sesak.
Aku meraih benda mungil yang selalu ada di dalam tas ku, setelah menempelkan earphonenya di kedua telinga, aku menyetel mode suffle.
Yeah, ini iPod dari Bagas. Benda ini sudah menjadi semacam morfin bagiku, sayup-sayup suara anak kecil membuat ku merasa relax, perlahan namun pasti, aku tenggelam dalam rasa nyaman.
Okey, calm down Najla. You are 26th!
Sudah sangat normal bagi lo untuk memulai sebuah kehidupan yang baru, dengan orang yang sangat worth it, tentunya.
Menerima Rendi masuk ke dalam hidupku bukaah suatu hal yang mudah. Even, saat aku menerima lamarannya setan di kepalaku terus berteriak, "yakin lo Jla? Yakin status suami istri bisa bikin kalian bahagia?"
As you know, bagiku pernikahan bukanlah sesuatu yang wajib, rasanya terlalu basi kalau aku berani menggantungkan hidupku pada seorang laki-laki hanya atas nama cinta.
Geez, percayalah, cinta bukan satu-satunya hal yang dibutuhkan ketika keputusan besar seperti itu di ambil. Bukan hanya kepercayaan ku pada cinta yang mengikis sejak orang tua ku bercerai, namun juga pola pikir ku yang semakin berubah seiring berjalannya waktu.
Tapi... ternyata, ada saatnya dimana kamu melihat mata seseorang dan tau dunia mu berada disana.
Dan ya, prinsip itu lenyap begitu saja hanya demi seorang Rendi Bramantya. Ralat, bukan hanya, Rendi kini seperti segalanya bagi ku.
Karena begitupun cara dia memperlakukan ku, menatapku, tersenyum kepadaku. Seolah-olah aku adalah semestanya.
Ada perasaan bahagia yang menyeruak kerap kali tatapan kami bertemu. Tatapannya, senyumnya, bahkan suaranya telah menjadi candu bagiku.
Perlahan namun pasti, tanpa aku sadari, ia telah menjadi bagian dalam skema kebahagiaan ku.
Mungkin terdengar gila jika aku yang mengatakannya, namun berada di dekatnya memang tidak pernah memerlukan logika, segala hal yang aku lakukan mengalir begitu saja, tanpa campur tangan otak sedikitpun.
Jadi, ketika dua bulan yang lalu ia melamarku tanpa pernah berpacaran, entah bagaimana aku bisa langsung memeluknya erat-erat.
Karena sepenuhnya aku sadari, diatas mencintainya, aku membutuhkannya. Perasaan ini tentu saja berbeda dengan cinta monyet di masa SMA dulu, atau suka-sukaan yang aku alami selama di bangku kuliah, bahkan perasaan ini jauh berbeda dengan perasaan yang aku rasakan saat bersama Bagas dulu.
Omong-omong Bagas, kami akhirnya resmi menjadi sebuah keluarga di atas nama hukum.
Dua tahun setelah perceraiannya dengan Papa, Mama menikah dengan Om Heru, Ayahnya Bagas.
Setelah perpisahan kami di mobil waktu itu--you know, malam dimana aku dengan bodoh dan labilnya ingin mengakhiri hidupku-- aku hanya bertemu dengan Bagas sekali, di akad pernikahan kedua orang tua kami, setelah itu? Wusss, dia menghilang seperti kabut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
Teen Fiction#26 in teenfiction (19 April 2017) Jika ada tempat, dimana memiliki terasa begitu mustahil, dan meninggalkan rasanya terlalu sulit, maka Dhanu dan Thalia berdiri di sana. Begitulah keduanya, yang satu berlari, yang satu hanya diam, yang satu mengeja...