Thalia.
Sudah hampir seminggu Najla diopname, seharusnya dia sudah bisa pulang sejak beberapa hari yang lalu, namun karena Najla belum bisa makan, akhirnya mau nggak mau dia harus tetap menerima asupan makanan dari selang infus.
Sejujurnya, aku justru bersyukur, melihat keadan Najla dia memang masih membutuhkan dokter Dina. Kalau kalian lupa, dokter Dina adalah psikiater yang bertanggung jawab dalam pengobatan Najla.
Najla tidak gila, dia hanya depresi.
Aku terus mengatakan hal itu pada diriku sendiri. Kami masih bisa bercanda, ngobrol, menyindir Dhanu, bahkan Najla masih bisa tertawa seperti biasanya.
Tapi, meski begitu, aku dan Dhanu sadar, meskipun dia terlihat sangat baik-baik saja, Najla belum sepenuhnya pulih.
Ingat hari dimana Dhanu bawa album foto?
Najla tidak memberikan reaksi apapun ketika melihat foto kedua orang tuanya, tapi tanpa kami sangka, malamnya Najla menangis dalam tidurnya.
Pelan… pelan… sebelum tangis itu pecah menjadi histeria.
Aku mengingat jelas, bagaimana mengerikannya tangis Najla malam itu, seumur hidupku, belum pernah aku melihat Najla menangis sekejar itu, dokter sampai harus memberinya suntikan penenang. Dan tidak sampai di sana, hal tersebut berlangsung selama tiga malam berturut-turut.
Keadaan Najla jauh lebih baik ketika mamanya Dhanu menjenguk. Tidak seperti aku dan Dhanu yang tumbang saat pertama kali melihat keadaan Najla, tante Anya—Mamanya Dhanu—berhasil mengendalikan emosinya, mereka bisa tertawa seolah lupa atas kejadian yang telah menimpa Najla. Hampir setiap hari tante Anya menjenguk Najla, begitu pula Fadli. Bahkan kadang, aku dibikin cemburu sama mereka.
Contohnya hari ini.
Jika biasanya Fadli datang di jam besuk malam, hari ini Fadli sudah berada di sini sejak pukul sembilan pagi, lengkap dengan dua boneka di pelukannya, yang satu boneka yang ukurannya bisa menghabiskan seluruh area di sofa, yang satu hanya seukuran teddy bear biasa, yang bisa dipangku bahkan bisa masuk ke ransel.
Dan, ya benar saja saudara-saudara. Boneka super besar itu resmi menjadi milik Najla hari itu juga, disertai bucket bunga dalam pelukan bonekanya. Sedangkan aku, Thalia, yang katanya dia jatuhi cinta sejak bertahun-tahun lalu ini, harus bersyukur dengan boneka kecil tersebut.
“Fadli! Kok aku cuma segede gini bonekanya? Nggak ada bunganya lagi,” protesku, ketika melihat Najla yang kesulitan memeluk boneka miliknya.
“Fadli jatuh cintanya sama gue ternyata Tha, bukan sama lo,” celetukan itu berasal dari bibir Najla, sedangkan Fadli tersenyum lalu mengangguk kalem, membuatku kontan melotot.
“Kok ngangguk?”
“Kan yang lagi sakit Najla, jadi aku sayangnya sama Najla dulu,” walaupun tampangnya tetap poker face, tapi mendengar kalimat sejenis itu keluar dari mulut seorang Fadli aku dan Najla tidak bisa untuk tidak melongo.
“Kok lo nggak cool sih?” tanya Najla sedikit polos, Fadli menggaruk tengkuknya tampak salah tingkah.
“Hehe, salah ya? Abis kalau yang gue lihat cara kalian bergaul ya kayak begitu, kan gue harus bisa dekat sama lo juga kalau mau dekat sama Thalia.” Fadli tampak polos ketika mengatakannya, membuat pipiku mau tak mau memerah. Melihat aku yang blushing, Najla mencibir.
“Tuh, lo liat, gara-gara lo ngomong kayak tadi, si Thalia jadi kayak abg najis yang digodain abang-abang batagor,” Fadli mengalihkan pandangannya ke arahku lalu tersenyum, membuatku semakin meleleh.
Aku serius, aku tidak akan protes sekalipun Najla mengataiku abg najis, karena berada di dekat Fadli memang membuatku jadi persis spesies yang satu itu.
“Lagian Dli, percuma lo centil kalo tampang lo masih kalem begitu,” Najla menggeleng-gelengkan kepala, dan lagi-lagi Fadli hanya tersenyum kalem. Aku rasa, dia sudah menyerah untuk jadi cowok centil.
Ngomong-ngomong, saat ini Dhanu sedang menjemput mamanya. Dhanu sempat protes karena mamanya yang setiap hari ke rumah sakit, tapi kalau aku justru bersyukur. Tante Anya sering membawakan ku dvd atau majalah, lagi pula ngobrolin cowok ganteng kan memang lebih asik sama tante Anya dari pada sama Dhanu.
Fadli menghempaskan tubuhnya di sampingku, duduk sambil menautkan tangannya. Matanya menatapku lurus, sebelum tersenyum.
“Kamu mandi dulu aja sana, Najla biar aku yang jagain,” katanya membuatku mengerjapkan mata, lalu menutup muka ku dengan bantal.
“Loh kenapa tutup muka, Tha?” tanyanya bingung.
“Malu, memang kelihatan banget ya aku belum mandi? Muka bantal?” suaraku sedikit teredam oleh bantal yang masih menempel di wajah. Aku dengar tawa Fadli bederai.
“Nggak kok, aku tau dari Najla, tadi dia bisikin aku.” Mendengar kalimat Fadli, aku menurunkan bantal dari wajahku, lalu menatap Najla dengan tatapan membunuh.
“Tuh, Dli, Thalia tuh aslinya mukanya begitu, kayak medusa, depan lo aja dia jadi sok imut, pipinya merah-merah kayak babi.” Kalimat Najla membuat Fadli kembali tertawa.
Sialan memang si Najla.
“Iya, gue mandi! Lo diam ya, awas!” Aku mengacungkan kepalan tangan di udara yang dibalas Najla dengan cengiran.
Aku baru saja mau masuk kamar mandi, ketika pintu dibuka dan menunjukan mama Dhanu lengkap dengan Diandra di baliknya.
Setelah menyapaku dan pamer semua bawaannya—majalah abg dengan cover si hot Adam Levine dan flashdisk berisi episode terbaru serial drama korea— Tante Anya tersadar, bahwa ruangan ini tidak hanya berisi aku dan Najla.
“Hallo tante, saya Fadli.” Sudah bisa ditebak, seheboh apa reaksi tante Anya ketika Fadli mengenalkan diri. Karena walaupun ke rumah sakit setiap hari, mereka tidak pernah bertemu, mengingat Fadli yang selalu datang malam hari, dan Tante Anya yang nggak pernah absen di siang harinya.
Aku langsung menutup mata Diandra yang menatap Faldi dengan tatapan memuja. “Di, yang ini punya gue ya, jangan coba-coba.”
“Iya, tau!” Diandra memajukan bibirnya, sedangkan aku terkekeh.
Aku baru kan bertanya tentang keberadaan Dhanu ketika pintu kamar kembali terbuka, Dhanu masuk bersamaan dengan Nada di baliknya.
“Hallo semua,” sapa Nada ramah, aku hanya membalasnya dengan senyuman kecil sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
Novela Juvenil#26 in teenfiction (19 April 2017) Jika ada tempat, dimana memiliki terasa begitu mustahil, dan meninggalkan rasanya terlalu sulit, maka Dhanu dan Thalia berdiri di sana. Begitulah keduanya, yang satu berlari, yang satu hanya diam, yang satu mengeja...