Dhanu.
Sekali lagi, gue menjadi seorang pengecut. Sekali lagi dan entah akan berapa kali lagi. Mungkin selama gue jatuh cinta sama Thalia, selama itu pula gue akan menjadi Dhanu si pecundang.
Demi langit dan bumi, beserta seluruh benda yang ada di dalamnya. Gue nggak tau, kenapa semalam gue bisa jadi sepengecut itu. Menyatakan perasaan pakai headphone? Cowok cupu mana yang ngelakuin itu?
Cowok ini, cowok yang namanya Dhanu Ishal. Iya, Dhanu Ishal yang SMPnya udah pacaran lebih dari tujuh belas kali. Iya, dia secupu itu.
Kalian nanya gimana respon Thalia? Clueless.
Sampai saat ini, dia belum ngasih respon apapun, kami masih melakukan segalanya seperti biasa, seperti nggak terjadi apa-apa. Ada kemungkinan dia nggak mendengar apapun yang gue katakan.
Iyalah tolol, lo kan pasang lagu dengan volume yang bisa bikin orang tuna rungu langsung normal seketika.
By the way, lupakan soal kalimat gue kemarin, yang bilang kalau Thalia akan jadi milik gue seorang, selama dua hari ini. Nyatanya, setelah tiap hari berbagi Thalia dengan Najla, sekarang Nyokap dan Diandralah yang memonopoli Thalia.
"Nu, ayo siap-siap pulang!" gue baru saja keluar dari kamar mandi, ketika Thalia sudah sibuk di dalam kamar gue. Setau gue, sampai gue naik dari kolam renang tadi, cewek ini masih dalam sanderaan nyokap, belanja di bazzar kecil yang ada di Kota Bunga.
"Loh? Baru jam setengah satu loh, Tha? Nyokap gue udah nyuruh siap-siap?" tanya gue sambil melihat ke arah jam dinding.
"Udah, siap di depan malah, ayo dong, Nu, kita kan harus siap-siap dulu ntar," seloroh Thalia sambil memasukan beberapa barang gue ke dalam tas, tanpa izin.
Gue akhirnya hanya menurut dan ikut memasukan barang ke dalam tas.
"Gue nggak sabar ketemu bonyoknya Najla deh, Nu." Mata Thalia berbinar-binar ketika mengatakannya. Malam ini, gue dan Thalia dapat undangan dinner di rumah Najla, itulah kenapa jam segini nyokap sudah rela meninggalkan villa, padahal biasanya beliau lebih rela memaksa gue bolos di hari besoknya. Bagi kalian, mungkin bertemu dengan orang tua sahabat sendiri adalah hal yang biasa banget, tapi bagi gue dan Thalia? Silahkan disimpulkan ya, saudara-saudara.
"Gue deg-degan deh, orang tuanya open nggak ya, Nu? Sama Najla aja kayaknya dingin banget."
"Tha, lebay deh, kayak mau ketemu mertua aja." Thalia hanya mencibir sambil menarik resleting tas gue.
Sebagai penutupan, Thalia menarik bahu gue agar duduk di atas kasur. Dia berdiri di hadapan gue, kedua tangannya sibuk menggerakan handuk yang ada di atas kepala gue, membantu gue untuk mengeringkan rambut. Damn man, udah biasa banget sebenarnya seperti ini. Diandra dan Najla pun sering melakukannya, karena sering geregetan ngeliat air yang menetes dari rambut gue, tapi ini Thalia! Rasanya beda, seperti... ah jangan bikin gue ngayal deh.
Setelah yakin air tidak akan menetes lagi, Thalia melipat dan memasukan handuk itu ke keranjang pakaian kotor.
"Ayo, Dhanu! Ntar keburu macet." Thalia keluar dari kamar gue, sedangkan gue masih memasang tampang bodoh di atas kasur.
Salah nggak sih, kalau gue membayangkan suatu hari nanti dia akan melakukan semua ini, bukan sebagai sahabat, tapi sebagai... istri gue?
Banci, sialan kebanyakan nonton sinetron Indonesia mungkin gue sekarang, sampai-sampai berpikir tentang istri di umur delapan belas.
Ngimpi aja terus lu, Nu!
***
Setelah mengantar nyokap, bokap dan Diandra ke rumah, ditambah nungguin Thalia dandan--selama hampir... ng... satu jam?-- gue dan Thalia meluncur ke rumah Najla.
Jangan tanya ya, bagaimana hasil boringnya gue nungguin Thalia dandan satu jam. Bangun tidur aja dia cantiknya nggak pake ampun, gimana kalau udah dandan?
Agak lebay sih, ini anak sebenarnya, dia sampai pakai baju baru coba, padahal kami cuma dinner biasa di rumah Najla, tanpa dresscode atau acara resmi apapun.
Begitu sampai di rumah Najla, gue mulai merasakan aura yang berbeda, rumah ini terasa sedikit lebih hidup. Pak Samad--satpam rumah Najla-- menyambut kami dengan senyum yang lebih cerah dari biasanya, tukang kebun yang gue nggak tau namanya, sekarang sibuk menyirami taman kecil yang ada di sudut lain pekarangan, kalau gue nggak salah ingat, bahkan koleksi pot bunga yang di taruh dekat pilar juga sudah berubah.
Gue dan Thalia jadi ragu mau masuk ke dalam, padahal biasanya ngucap salam aja nggak. Iya, tau, nggak sopan memang kami.
"Gue jadi takut masa, Nu." Thalia menatap gue khawatir. Benar kata Thalia, ketemu orang tua Najla, rasanya kurang lebih seperti ketemu calon mertua. Kalau Thalia aja yang udah segini rapinya nggak pede, apa kabar gue yang hanya mengenakan kemeja lusuh dan jeans belel?
Kalau dibandingin sama Thalia yang pakai dress merah muda selutut, gue mungkin lebih seperti bajunya, dibanding partnernya--iya, partner, lebih baik dari pada teman. Eh, iya, gue kan emang babunya, babu perasaan.
Setelah lima belas menit, ngotot-ngototan sama Najla demi memaksa cewek itu menjemput kami, akhirnya Najla kalah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, gue memenangkan perdebatan dengan Najla, haha.
"Manja banget sih lo berdua, masuk tinggal masuk juga!" itu repetan Najla waktu menggedor jendela mobil gue, sedangkan gue dan Thalia cuma cengengesan.
Ada lagi yang berubah dari rumah ini, begitu besar dan mencolok. Di ruang tamu, sekarang ada sebuah foto keluarga yang di pajang besar-besar. Foto itu mungkin baru diambil kemarin atau pagi ini.
Siapapun dapat melihat kecanggungan dalam foto itu, tapi siapapun juga, bisa melihat betapa bahagia dan bersinarnya Najla saat ini.
Orang tua Najla masih ada di dalam kamar, jadi seperti biasa gue dan Thalia mengikuti Najla naik ke atas, duduk di atas sofa empuk yang entah sudah berapa kali tercemar iler gue dan Thalia.
"Rapih amat lo, Tha, kasian tuh si Dhanu, kebanting." Yas, terima kasih pada teman paling setia kawan, Najla. Sudah gue bilang kan, mulut dia nggak ada remnya?
"Udah biasa gue, sih, Jla, dibanting-banting sama lo sama Thalia."
"Makanya, Nu, jangan suka nyediain diri buat dibanting," cetus Thalia, tanpa dosa.
Tha, Tha, nggak sadar lo ya, nggak cuma dibanting, gue bahkan sudah membenci diri gue sendiri, karena terlalu murah, terlalu tersedia, untuk di injak-injak. Pedih.
"Udah, ah, gue mau mandi dulu, biar nggak ikut kebanting, lo berdua tunggu sini aja nggak apa-apa kan?" gue hanya mengacungkan jempol sebagai tanda setuju.
Tidak lama setelah Najla hilang dibalik pintu, Thalia menyandarkan kepalanya di bahu gue.
"Nu, gue ngantuk, jangan bergerak ya!"
Dan... dengan pengecutnya, jantung gue melompat dari tempatnya.
Ini mungkin salah satu efek dari pernyataan konyol gue semalam, untungnya sih, Najla belum tau, kalau dia tau, dia pasti sudah memaki-maki gue dari detik pertama pertemuan kami tadi.
Untuk menetralkan jantung gue, gue berniat untuk menyalakan tv, tapi tangan Thalia justru menahan gue.
"Gue mau tidur, bodoh."
Akhirnya gue memutuskan untuk memasang headphone ke telinga. Iya, headphone sialan yang menjadi saksi betapa pengecutnya Dhanu Ishal tadi malam. Gue butuh suaranya untuk membunuh suara setan di kepala gue. Tapi, setelah menyalakan musik, gue merasa ada sesuatu yang janggal, gue memutar-mutar kabelnya, mengeraskan volumenya, tapi tidak ada yang berubah.
Saat itulah, gue dapat merasakan, ruh gue lari entah kemana.
Headphone gue rusak.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
Fiksi Remaja#26 in teenfiction (19 April 2017) Jika ada tempat, dimana memiliki terasa begitu mustahil, dan meninggalkan rasanya terlalu sulit, maka Dhanu dan Thalia berdiri di sana. Begitulah keduanya, yang satu berlari, yang satu hanya diam, yang satu mengeja...