Thalia.
Aku sudah mendengar pertanyaan, "Tha, lo lagi kesambet ya?" atau pertanyaan sejenisnya lebih dari dua belas kali pagi ini.
Aku cuma menjawab mereka dengan cengiran kecil. Karena aku hari ini, mungkin memang sedikit berbeda.
Mendengarkan guru berbicara, menjawab pertanyaan-pertanyaan, mentraktir Wahyu batagor, di mata teman-temanku semua hal itu nggak mungkin seorang 'Thalia' lakukan.
Cuma Najla yang terlihat sama sekali tidak berniat mengomentariku hari ini, dia bahkan tidak memberikan respon yang berarti setelah membaca chat dari Fadli.
"Lo nggak mau bilang selamat atau apa gitu?" tanyaku setengah merajuk pada Najla.
"Lo udah mau married sama Fadli?" jawab Najla cuek, matanya masih tidak lepas dari rumus trigonometri di hadapannya.
"Lo mah nggak bisa ngeliat temen seneng."
Najla akhirnya menutup bukunya, lalu menghembuskan napas keras.
"Gue juga nggak bisa ngeliat temen sedih," tukas Najla sambil melirik Dhanu yang duduk di pojok kelas.
Semenjak pernyataan Dhanu waktu itu, aku belum melakukan interaksi apapun lagi. Kami berada di kelas yang sama, tapi seperti berbeda dimensi.
Hate to admit it, but I missing him as hell.
Sepulang dari rumah Najla kemarin, aku bertemu Dhanu di teras rumah Najla, menyender di motor hitamnya.
Aku hampir saja berlari ke arahnya lalu merengek minta diantar pulang. Tapi yang kami lakukan hanya saling tatap, dalam beberapa waktu, aku merasa tersedot ke dalam mata cokelat pekat milik Dhanu, dari sorot itu, aku tau banyak hal yang ia ingin ungkapkan, tapi tidak dapat diutarakan dengan kata-kata tapi pada akhirnya akal sehatku kembali, dan aku memutuskan untuk pergi tanpa mengatakan apapun.
"Thalia?" suara Najla menarikku dari lamunan.
"Eh? Kenapa?" Najla menunjuk pintu dengan dagunya, sedangkan tangannya sibuk merapihkan buku dan alat tulis lainnya.
"Udah bel, gue balik duluan ya."
"Lah, katanya kita mau nonton?" protesku, membuat Najla memutar bola mata.
"Kan gue udah bilang, next time aja, gue hari ini mau belajar."
"Kok nggak ngajak gue?"
"Sama Dhanu, mau?" Najla bertanya sambil memakai ranselnya, matanya melirik ke arah Dhanu.
Aku menggigit bawah bibirku, lalu menggeleng pelan.
"Yaudah, lo balik sama siapa?"
Aku menimang-nimang, aku memang malas pulang sendirian, tapi bertemu Dhanu adalah hal terakhir yang aku inginkan hari ini. Radith? Sejak Fadli menginvite ku semalam, aku mengabaikan Radith.
"Gue ke kantornya kak Tio aja deh ntar," ujarku akhirnya, Najla hanya mengangkat bahunya, lalu berpamitan.
Sepeninggal Najla aku merapihkan buku ku, lalu beranjak keluar kelas, namun baru saja aku melewati batas pintu, sebuah suara menghentikan langkahku.
"Thalia?" aku membeku di tempat ketika menyadari Fadli sudah berdiri di sampingku, senyumnya merekah, sedangkan tangannya sibuk menyampirkan ransel di sebelah bahunya.
"Tha?" Fadli mengulangi sapaannya, membuatku tersadar.
Aduh, Fadli, ini mimpi bukan, sih?
"Eh? Iya?" Fadli tersenyum, membuat lubang di kedua pipinya terbentuk.
"Pulang sendiri? Najlanya mana?" tanyanya sambil melirik ke dalam kelas.

KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
Teen Fiction#26 in teenfiction (19 April 2017) Jika ada tempat, dimana memiliki terasa begitu mustahil, dan meninggalkan rasanya terlalu sulit, maka Dhanu dan Thalia berdiri di sana. Begitulah keduanya, yang satu berlari, yang satu hanya diam, yang satu mengeja...