33. Telfon Tengah Malam

24.5K 2.3K 47
                                    

Dhanu.

Jam dua lewat sepuluh menit, gue sudah tertidur pulas, ketika sebuah nomor yang tidak kenal membuat ponsel gue menjerit. Dengan tidak rela, gue pun mengangkatnya, suara Thalia terdengar di ujung sana, bergetar ketakutan.

Dan kata-kata yang gue dengar berikutnya, membuat gue merasa langit tiba-tiba runtuh, tepat di atas kepala gue.

"Dhanu, Najla bunuh diri."

Gue berharap telfon tengah malam itu hanya mimpi buruk, tapi kenyataannya gue di sini sekarang, mengendarai mobil dengan kaos dan celana pendek, menabrak mobil manapun yang menghalangi jalan gue.

"Sial! Goblok! Bangsat!" gue mengeluarkan semua umpatan yang melintas di otak gue. Entah siapa yang gue maki-maki selain diri gue sendiri.

Sebegitu tololnya gue sampai nggak tau kalau sahabat gue sendiri mau bunuh diri?!

Goblok!

Suara klakson dan umpatan dari pengemudi lain tidak gue perdulikan, bahkan beberapa mobil sempat berhenti karena beradu dengan Range Rover yang tengah gue kendarai. Tidak peduli jika besok gue dirajam bokap karena mobilnya beset sana sini, yang gue tau, gue harus cepat sampai rumah sakit!

Ketika sampai di rumah sakit, hal pertama yang menjadi fokus gue adalah tubuh Thalia yang terduduk di lantai lorong, bersandar pada dinding rumah sakit. Kepala gadis itu terbenam di antara kedua lututnya, begetar karena isakan.

"Tha?" panggil gue lirih, Thalia mengangkat kepalanya, lalu langsung berhambur memeluk gue.

"Dhanu..." entah sudah berapa kali gue melihat Thalia menangis, tapi baru kali ini tangisan itu bisa menelan bulat-bulat semua suaranya. Thalia menangis sejadi-jadinya, nyaris seperti histeris.

Gue berharap gue bisa sedikit menenangkan, tapi tidak, yang gue lakukan adalah ikut menangis, ikut hancur, ikut luruh berantakan. Kami terlalu kaget, terlalu shock, terlalu takut kehilangan.

Setelah beberapa waktu terlewati, gue dan Thalia sudah lebih tenang, gue menuntunnya untuk duduk di kursi pinggir lorong.

"Tha, gue ambil minum ya?" Thalia tidak menyahut, gue pun melangkah ke meja suster, meminta segelas air hangat.

Dari meja suster gue melihat bahu Thalia yang bergetar, dia pasti shock berat. Penampilannya benar-benar berantakan saat ini, ia masih menggunakan gaun yang tadi, tapi diujung gaun tersebut terdapat bercak darah, rambutnya berantakan, wajahnya penuh keringat dan air mata. Singkatnya, Thalia kacau.

Gue mengusap wajah gue frustrasi, bisa-bisanya ada kejadian seperti ini.

Saat ini, orang tua Najla berada di dalam UGD, sedangkan Thalia tetap di luar karena terlalu ketakutan, kalau-kalau kemungkinan terburuk itu benar terjadi.

Setelah mendapatkan segelas air hangat, gue berterima kasih dan langsung kembali ke samping Thalia.

"Tha, minum dulu," gue mengangsurkan gelas tadi ke tangan Thalia, namun dia hanya menggeleng lemah.

"Tha...," panggil gue berusaha membujuk, lagi-lagi, ia menggeleng.

"We have to be courage, please." Gue mengatakannya dengan nada nyaris putus asa, karena gue pun sama kacaunya. Gue merasa bodoh, tolol dan tidak berdaya.

Dan gue benci keadaan ini, keadaan dimana gue tidak bisa melakukan apapun selain menunggu.

Thalia akhirnya menerima gelas itu, menyesap sedikit airnya, tangannya bergerak-gerak mengusap gelas, matanya tampak menerawang.

"Kalau aja, gue nggak keasyikan sama Fadli." Nyata, nada bersalah pekat dalam suara itu, membuat gue menggeleng lemah, tapi mulut Thalia terus bergerak, mengucapkan kalimat yang serupa.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang