Dhanu.
Satu bulan kemudian...
Dua hari lagi gue akan berada di pesawat, mengucapkan selamat tinggal pada Jakarta dan segala kenangannya. Dan di sinilah gue hari ini, duduk di pinggir lapangan futsal, memandangi gedung yang telah menjadi rumah kedua gue, selama tiga tahun lamanya.
Gue memandang koridor-koridor kelas, dalam bayangan gue, ada Thalia dan Najla yang tertawa dengan rok abu-abu mereka di sana, mengobrol tentang apa saja, sekali waktu, Thalia berhenti, ia memandang ke arah lapangan lalu tersenyum senang.
Sudah tidak sakit lagi, mungkin tepatnya sudah tidak sesakit seperti diawal. Pelan-pelan, gue mulai menerima, bahwa gue memang bukan bahagia yang Thalia ingin.
Omong-omong soal perpindahan, bokap dan nyokap gue sudah terbang sejak dua hari yang lalu, sedangkan gue dan Diandra masih di sini untuk mengurus beberapa berkas kepindahan.
Sampai saat ini, belum banyak orang yang tau kecuali guru-guru dan staff tata usaha yang gue mintai surat rekomendasi beasiswa. Thalia dan Najla pun belum tau, gue memang tidak berniat memberi tahu mereka.
Hanya dua orang yang berniat gue beri tahu, Fadli dan Nada. Ada alasan-alasan tertentu kenapa mereka berhak untuk tau.
Thalia dan Najla masih mengira gue akan kuliah di UGM karena gue mengikuti ujian SBMPTN bareng mereka beberapa waktu yang lalu, walaupun sebenarnya, ujian itu sama sekali tidak berguna, tidak ada satu butir soalpun yang gue kerjakan.
Pandangan gue tertumbuk pada Fadli yang sedang berjalan ke arah gue, kebetulan banget, gue memang berniat bertemu dengan Fadli sepulang dari sini.
"Itu muka kusut banget," ujar Fadli sambil mengangkat telapak tangannya, yang langsung gue sambut dengan tepukan.
"Thalia mana?" tanya gue ketika ia menghempaskan bokongnya di samping gue.
"Pulang bareng Najla, lo nggak balik?" gue menggeleng sebagai jawaban.
"Kebetulan banget, main yuk!" seru gue seraya bangkit, Fadli menaikan sebelah alisnya bingung.
"Kayak waktu itu, waktu gue bilang Thalia suka sama lo," jelas gue membuat mulut Fadli membentuk huruf O.
"Ayo deh!" Fadli melepaskan tasnya kemudian menjawab tantangan gue.
Kami tidak bermain lama, hanya lima belas menit sampai Fadli meminta berhenti. Kali ini, Fadli menyerah sebelum gue kebobolan untuk yang ketiga kali, jadi gue pemenangnya.
"Makin bagus aja lo, Nu!" pujinya sambil menerima botol air mineral yang gue lemparkan.
"Thanks," jawab gue singkat. Setelah menegak air mineral gue sendiri, gue melemparkan tiket penerbangan gue besok ke hadapan Fadli, membuat cowok itu mengernyit bingung.
"Lusa gue berangkat," ujar gue, sebenarnya gue tidak perlu menjelaskan hal itu, jadwal keberangkatan telah tertera jelas di sana.
"Liburan?" tanyanya sembari mengembalikan tiket itu ke tangan gue.
Gue menatap tiket itu nanar, sebelum menggeleng pelan, "gue stay di sana."
Fadli yang tadi sedang menyiramkan air ke wajahnya, menghentikan pergerakannya, lalu menatap gue bingung.
"Bukannya lo mau kuliah di UGM?" Fadli mengernyitkan dahinya, dan lagi-lagi gue hanya menggeleng. Gue memasukan kembali tiket tadi ke dalam tas, sebelum fokus kepada Fadli. Sudah cukup basa-basinya, gue langsung berbicara ke point utama.
"Gue punya beberapa permintaan di sini," ujar gue.
"Thalia sama Najla udah tau?" tanya Fadli tanpa mengindahkan kalimat gue sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
Roman pour Adolescents#26 in teenfiction (19 April 2017) Jika ada tempat, dimana memiliki terasa begitu mustahil, dan meninggalkan rasanya terlalu sulit, maka Dhanu dan Thalia berdiri di sana. Begitulah keduanya, yang satu berlari, yang satu hanya diam, yang satu mengeja...