Dhanu.
Thalia dan Najla terus menangis hampir satu jam lamanya. Bukan hanya Thalia yang tidak cukup kuat, gue pun ternyata ikut jatuh bersama Najla.
Saat ini, Najla sudah jauh lebih baik, Thalia juga sudah berhasil membujuk Najla untuk makan.
Mengingat kami harus berusaha membangkitkan kenangan indah Najla, maka selama Najla tidur, gue datang ke rumahnya, untuk mengambil beberapa barang yang bisa berguna. Sementara gue memilih kenangan untuk Najla, Thalia tetap menemani Najla di rumah sakit.
Saat gue sampai di rumah Najla, papanya sedang berada di ruang kerja, sedangkan mamanya duduk di ruang keluarga. Raut mama Najla tampak keruh, beliau seperti menua dalam kurun waktu satu malam.
"Kamu di sini, Nu?" tanya mamanya ketika menemukan wajah gue.
"Iya tante, mau izin ambil barang Najla untuk di bawa ke rumah sakit." Mama Najla mengangguk lemah, meluluskan permintaan gue.
"Ambil apapun yang Najla butuhkan," ujarnya tetap sambil menunduk, gue pun mengangguk sopan sebelum menaiki tangga.
Ketika gue membuka pintu kamar Najla, tenggorokan gue tercekat, bayangan mengerikan itu tervisualisasi dalam benak gue. Thalia yang berteriak histeris, mama Najla yang menangis, papanya yang menggendong Najla dalam keadaan basah dan tidak berdaya. Bahkan, di kamar yang sudah bersih ini, gue dapat mencium bau anyir.
Gue menghela napas berat.
Kenapa kejadian mengerikan selalu dapat di bayangkan dengan sempurna?
Gue bahkan tidak yakin dapat menatap wajah Najla tanpa rasa bersalah setelah kejadian ini.
Gue menoleh dan menemukan anggrek ungu di atas meja samping pintu. Ini mungkin yang Thalia bilang, anggrek dari Bagas. Di sebelah anggrek itu terletak bunga mawar yang gue kenali sebagai pemberian dari Bara.
Gue mengambil pot anggrek dari Bagas, tapi tidak mengikut sertakan mawar merah tersebut. Di banding kenangan menyenangkan, Bara mungkin lebih banyak menjadi tokoh dalam kenangan buruk Najla.
Tiba-tiba mata gue tertumbuk pada benda pipih di atas kasur Najla. Handphone milik Thalia.
Pantas saja semalam dia menelfon gue dengan nomor tidak di kenal, untungnya gue tidak sempat berpikir kalau dia sudah mengubah nomor hape.
Ada 26 missed call, dan lebih dari 999 chat.
Gue meringis ketika mendapati wallpaper handphone kesayangan gue itu--iya, terakhir kali gue panggil kesayangan, habis ini nggak lagi-- masih foto Thalia bersama Fadli.
Ketika gue hendak memasukan ponsel tersebut ke dalan kantong celana, benda tipis itu menjerit, membuat gue mau tak mau melihat ke layarnya. Nama Fadli dengan emoticon toples madu yang berjejer dengan namanya membuat gue mengernyit.
Fadli transformasi jadi beruang madu maksudnya?
Gue menggeser tombol merah untuk mereject panggilan, sebelum tersenyum puas.
Rasain lo, siapa suruh nelfon Thalia pas hapenya ada di gue?!
Tapi belum sempat handphone itu mendarat di kantong gue, benda itu kembali berbunyi, membuat gue mendenguskan napas kesal.
Dengan sekali gerakan gue geser tombol hijau, untuk menyambungkan hubungan. Belum sempat gue mendamprat Fadli, bocah satu itu sudah berujar duluan.
"Hallo Tha, kemana aja kamu?" panggilan yang Fadli gunakan otomatis membuat gue membeku.
Kamu? Sejak kapan kata kamu sudah menggantikan kata elo? Sepele sebenarnya, tapi untuk ukuran Thalia dan Fadli yang terkesan cuek, aku-kamu bisa berarti banyak hal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
Teen Fiction#26 in teenfiction (19 April 2017) Jika ada tempat, dimana memiliki terasa begitu mustahil, dan meninggalkan rasanya terlalu sulit, maka Dhanu dan Thalia berdiri di sana. Begitulah keduanya, yang satu berlari, yang satu hanya diam, yang satu mengeja...