Najla.
Setelah sepuluh hari tidur di atas ranjang rumah sakit, akhirnya izin pulang itu turun. Jangan tanya bagaimana reaksi Thalia dan Dhanu.
Thanks God, i have two best-crazy-friend, who always stand by me.
Sepuluh hari ini, dengan sabar dan setianya mereka menemaniku di rumah sakit tanpa mengeluh sedikitpun, walaupun aku tau, tidur di sofa milik rumah sakit bukanlah sesuatu yang nyaman.
Saat ini Thalia sedang mengemas barang-barangku, sedangkan Dhanu membantu orang tua ku mengurus administrasi di bawah.
Soal orang tua ku, aku tau mereka sering mengunjungi rumah sakit, kadang hanya berdiri di luar pintu, kadang datang jika aku sudah terlelap. Tapi aku belum cukup siap untuk bertemu keduanya.
Pintu terbuka, aku menahan napas, tapi langsung menghembuskannya lega ketika menemukan Dhanu di baliknya.
"Sudah siap pulang tuan putri?" tanya Dhanu sambil melipat selimut, membantu Thalia mengemas barangku.
"Ini kenapa gede banget sih bonekanya? Nyusahin aja kayak yang ngasih," gerutu Dhanu membuat Thalia mencebikan bibirnya. Itu boneka yang diberikan Fadli padaku omong-omong.
"Yaudah sini, biar gue yang beresin, cerewet amat, ngasih nggak, ngomel iya!" Thalia mengambil alih boneka yang Dhanu pegang, sedangkan tanpa Thalia ketahui di belakangnya Dhanu mengerutkan hidungnya sebal.
Melihat keduanya, ingatanku berlari pada tiga malam lalu, ketika tanpa sengaja aku mendengar percakapan Dhanu dengan Thalia soal Bagas dan Mama.
Yang Thalia dan Dhanu tidak tau adalah, semenjak malam mengerikan itu aku tidak pernah bernar-benar tertidur, sekalipun aku memejamkan mata, tapi telinga ku tidak lantas menuli.
Aku tidak akan berbohong, cerita Dhanu mengguncangku, tenggorokan ku tercekat, dan aku hampir saja menangis lagi.
Tapi aku tidak boleh melakukannya. Keinginan Dhanu untuk menunda kuliahnya dan ketakutan Thalia menyadarkan ku, bahwa aku terlalu egois, terlalu manja dan terlalu lemah.
Aku membuat orang tua ku terpaksa pura-pura saling mencintai, aku membuat Dhanu dan Thalia khawatir dan ketakutan, bahkan aku tau, aku membuat Tante Anya menangis.
Aku harus bangkit, setidaknya, untuk orang di sekitarku.
"Nah, semua sudah selesai tinggal nunggu suster." Suara Thalia membuyarkan lamunanku, aku memperhatikan sekeliling dan benar saja seluruh barang-barangku sudah tersimpan dalam tumpukan tas yang terletak di pojok kamar.
Thalia duduk di sampingku, sedangkan Dhanu berdiri di hadapanku dengan tangan terlipat di depan dada.
"Beneran Jla? Lo nggak mau nginep di rumah gue aja? Kalau di rumah Thalia nanti dikacangin loh, dia asik sama Fadli." Thalia langsung melotot mendengar kata-kata Dhanu.
"Enak aja, memangnya gue elo?!"
Dhanu memutar bola matanya, tapi tidak membalas kalimat Thalia.
"Atau kita jalan-jalan aja yuk? Puncak gitu, atau Lombok aja sekalian!" seru Dhanu dengan mata berbinar.
"Mana boleh bego, Nu, orang baru keluar rumah sakit udah di ajak jalan." Thalia menatap Dhanu seolah-olah Dhanu adalah manusia paling bodoh sedunia.
"Diem-diem aja, kayak waktu itu," Dhanu menaikan sebelah alisnya, matanya berkilat nakal. Sontak kami bertiga tertawa, mengingat kegilaan kami setahun yang lalu.
Waktu itu, sedang hari tenang menjelang ujian, tapi kami bertiga, khususnya aku dan Thalia sedang tidak mood belajar. Tiba-tiba saja, setannya Thalia mengambil alih, mengajak kami ke Bali malam itu juga, tanpa izin terlebih dahulu, karena tau, Thalia dan Dhanu tidak akan mendapatkan izin tersebut.
![](https://img.wattpad.com/cover/46387886-288-k260765.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
أدب المراهقين#26 in teenfiction (19 April 2017) Jika ada tempat, dimana memiliki terasa begitu mustahil, dan meninggalkan rasanya terlalu sulit, maka Dhanu dan Thalia berdiri di sana. Begitulah keduanya, yang satu berlari, yang satu hanya diam, yang satu mengeja...