24. Taruhan

24K 2.4K 40
                                    

Dhanu.

Gue melambaikan tangan pada beberapa teman seteam gue. Latihan futsal hari ini dibatalkan, selain karena pelatih kami yang mendadak harus pergi, langit juga sudah mulai mendung.

Beberapa dari kami memilih langsung pulang, tapi gue nggak berniat pulang sama sekali, masih menunggu Fadli yang ngobrol sama Egi beberapa meter dari tempat gue duduk.

Sekolah sudah mulai sepi, karena KBM memang sudah selesai dari satu jam yang lalu, memang masih ada beberapa murid yang lalu lalang, biasanya anak OSIS atau PMR yang mau lomba minggu depan.

Tadi, sekilas gue melihat Thalia ada di pinggir lapangan, tapi begitu tatapan kami bertemu Thalia melengos dan akhirnya memilih untuk cabut dari tempat pewenya buat stalking Fadli.

Nggak usah tanya kenapa gue udah tau, alasan dia cabut karena ada gue di sini.

"Nu, balik duluan," gue mendongak lalu menemukan tangan Egi.

"Iya, hati-hati Gi, namanya umur nggak ada yang tau," gue menepuk tangan Egi, sedangkan dia cuma terkekeh mendengar kata-kata gue.

Setelah Egi berlalu, gue akhirnya memutuskan untuk menghampiri Fadli, sebelum dia juga pamit seperti Egi dan gue doain yang aneh-aneh beneran.

"Dli, buru-buru nggak?" tanya gue tepat ketika dia sedang memasukan handuknya ke dalam tas.

"Nggak sih, kenapa memang Nu?"

"Main yuk!"

"Main? Futsal? Berdua?" kening Fadli berkerut, dia mungkin merasa heran, karena memang nggak ada anak futsal lain yang tersisa, dan futsal juga nggak ada yang main cuma berdua.

"Iya, latihan pinalty aja, gimana?" Fadli tampak berpikir sebentar, sebelum akhirnya mengangguk, mengiyakan.

Seperti biasa karena posisi Fadli sebagai striker dia akan menendang bola, dan gue sebagai kiper harus siap ke gebok.

Sebenarnya ada alasan sendiri kenapa gue ngajak Fadli latihan kayak gini, hari ini.

Dalam hati, gue bertaruh.

Kalau sampai nanti--sampai gue sama dia sama-sama tepar, dia bisa nyetak lebih dari tiga goal, gue akan benar-benar menyerah dari Thalia. Mungkin kelihatan tolol, tapi seenggaknya hal ini bisa buat gue semakin yakin untuk mundur.

Enam tendangan pertama Fadli bisa gue handle tapi dengan bodohnya gue kebobolan pada tendangan ke tujuh dan sebelas.

Langit sudah mulai gelap, dan gue benar-benar berharap Fadli mengehentikan permainan ini, karena, hanya kalau dia menyerah tanpa tiga goal, gue masih bisa ngasih kesempatan untuk diri gue sendiri untuk terus usaha ngejar Thalia.

Tepat pada saat itu, gue melihat mata Fadli yang melirik ke arah koridor samping lapangan, dan saat itulah, gue merasa seperti dibanting.

Saat gue mengikuti arah pandang Fadli, satu-satunya objek yang dapat mata kami tangkap, satu-satunya orang yang berlalu di koridor itu, adalah orang yang sama dengan alasan gue ngajak Fadli latihan hari ini. Thalia.

Fadli nggak butuh satu goal lagi, karena gue sudah cukup sadar bahwa sejak awal gue memang sudah kalah, telak.

"Dli, stop."

"Eh? Udahan, Nu?" gue hanya mengangguk asal, lalu berjalan ke pinggir lapangan, tempat kami meninggalkan tas.

Gue melemparkan botol minum ke Fadli, yang alih-alih di minum, airnya langsung dia siramkan ke wajahnya.

Di ujung koridor, gue lihat Thalia memperhatikan Fadli, tapi seperti sebelumnya, dia langsung melengos begitu mata kami bertemu.

Gue meringis, menyadari betapa bancinya gue. Kenapa gue harus sakit hati karena dia berpaling dari gue? Padahal dia nggak pernah menghadap ke arah gue sekalipun.

CrushTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang