Changi Airport, Singapore.
Dhanu.
Untuk menempuh perjalanan ke Jerman, maskapai gue memilih gerbang utama ini sebagai pendaratan transitnya.
Masih ada tiga jam lagi sampai kami--gue dan Diandra--harus kembali duduk manis di dalam pesawat.
Gue memandang sekeliling, orang dengan berbagai etnis dan suku berlalu lalang di sekeliling gue. Sejujurnya, gue mengagumi arsitektur Bandara ini. Pemerintah Singapore tidak main-main dalam menjadikannya negaranya sebagai gerbang transit utama di Asia Tenggara.
Theater movie, outlet-outlet brand dengan harga selangit, sampai kebun kupu-kupu dan bunga matahari terdapat di Bandara ini.
Sejak menginjakan kakinya di sini, Diandra sudah rewel mau pergi ke terminal tiga, dimana outlet-outlet tas dan baju dengan merk ternama berjejer.
Gue menghembuskan napas kesal, lalu menatap Diandra dengan tatapan datar.
"Terserah mau kemana, yang jelas dua jam lagi harus udah ada di sini! Awas kalau belum, lo gue tinggal."
Diandra tersenyum lebar, lalu mengacungkan kedua jarinya sebelum berlari dan menghilang di kerumunan.
"Yaudah terserah mau kemana! Satu setengah jam lagi harus udah disini! Awas kalo belom"
Gue duduk di atas kursi yang terletak pada salah satu sisi Bandara, tangan gue bergerak mengaduk ransel, namun terhenti ketika menyentuh sebuah benda pipih. Gue meraih benda tersebut.
Dalam genggaman gue sekarang terdapat ponsel yang sudah dalam keadaan mati, sesaat gue menghembuskan napas sebelum memantapkan hati. Gue mencabut sim card lalu mematahkannya menjadi dua bagian, lantas menatapnya nanar.
Sejak gue dan Diandra bangun tadi pagi, entah kenapa gue jadi orang yang sentimental.
Gue bahkan menatap seluruh isi kamar gue dengan pandangan merambat, sekalipun yang tersisa di sana hanya kasur dan lemari yang telah kosong, gue memperhatikan warna tembok yang pudar berkat gue tempel poster, paku-paku yang masih menancap bekas frame yang pernah gue pajang, sisi kamar lainnya yang tadinya di huni oleh meja belajar, gitar, karpet dan benda lainnya.
Ketika menuruni tangga, pelan-pelan ingatan gue tertarik ke masa lampau. Ruang makan dan ruang keluarga yang tampak dari tempat gue berdiri membuat tenggorokan gue sedikit tercekat.
Gue ingat waktu beberapa gue dan bokap main PS sampai lupa mandi dan akhirnya menjadi korban amukan nyokap.
Ketika hari ibu, gue, bokap dan Diandra berniat membuat kejutan dengan menyiapkan makan malam, yang berakhir pada bencana karena makanan kami gagal sejuta persen.
Saat pertama kali Thalia dan Najla berkunjung ke rumah ini dan langsung ketiduran di sofa ruang keluarga sampai langit menggelap.
Terakhir, setelah gue dan Diandra memasukan koper ke dalam bagasi taksi, gue menatap rumah ini sekali lagi, merekamnya baik-baik ke dalam memori.
Banyak kenangan sederhana namun berkesan yang tercipta di rumah ini. Namun sayang, seperti kenangan yang lainnya, gue baru merasakan maknanya menjelang detik-detik perpisahan.
Gue menghela napas lalu tersenyum, teringat tujuan gue datang sejauh ini, sampai bisa berada di Bandara ini detik ini.
Seberat apapun, perpisahan akan selalu ada. Manusia hanya perlu terus berjalan, karena bagaimana pun ia berharap waktu tidak pernah melangkah mundur. Kita, di paksa menjalani hidup, namun tetap di beri pilihan.
Apakah ingin selamanya terkekang pada masa lalu dan penyesalan, atau berani menghadapi setiap luka yang menanti di depan sana.
Dan gue memilih untuk berani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crush
Novela Juvenil#26 in teenfiction (19 April 2017) Jika ada tempat, dimana memiliki terasa begitu mustahil, dan meninggalkan rasanya terlalu sulit, maka Dhanu dan Thalia berdiri di sana. Begitulah keduanya, yang satu berlari, yang satu hanya diam, yang satu mengeja...