Sejauh ini aku belum mendengar apapun dari luar kamar, sepertinya mereka sudah berhenti bergulat kata.
"Ibu? Ayah?" tanyaku dari balik pintu kamarku, mereka memperhatikanku dengan sorotan mata tidak suka. Aku kembali masuk kedalam kamar. Mungkin mereka tidak mau aku ikut berperang.
Mereka Sudah sering seperti itu sejak usiaku masih menginjak dua tahun, ketika tiga tahun. Kakek meninggal dunia karena kecelakaan, usaha ayahku bangkrut kala itu juga. Akhirnya aku yang seharusnya bisa merasakan kasih sayang kedua orang tuaku cuma bisa diam tanpa kata di kamar, menyimak hinaan demi hinaan yang mereka lontarkan satu sama lain setiap harinya. Rasanya dadaku sesak, mengapa aku lahir dari dua orang keparat?! Lebih baik mereka mati saat itu juga, dan aku dengan baik hati akan menguburkan mereka. Lalu menyiapkan nisan terbaik yang pernah ada.
Si keparat keras kepala
Si keparat tukang mengeluh
Terima kasih atas beban berat yang meninju kepalaku, tenanglah di Neraka.
Tapi di satu sisi, aku kasihan dengan ibuku. Dia perempuan yang mudah stres. Dia memang keras kepala, lebih keras dari siapapun. Tidak mau kalah, egois, dan yang paling aku benci adalah setiap hembusan asap rokok yang dia kepulkan setiap saat.
Di satu sisi juga aku kasihan dengan ayahku, dia sudah mati-matian mencari pekerjaan. Banting tulang kesana kemari. Namun saat mendapatkan pekerjaan yang layak, uangnya dia hamburkan untuk minum-minuman. Yang paling aku benci dari dia adalah bau alkohol disetiap hembusan nafasnya.
Tidak akan ada yang kuat hidup sepertiku. Aku berani bertaruh.
Tuhan, kalau aku sudah tidak kuat lagi. Cabut saja nyawa mereka, kalau kau tidak mau. Biarkan aku yang melakukannya.
Sialnya sekuat apapun keinginanku untuk menghabisi mereka, aku tetap saja tidak mampu. Mataku langsung berair saat memegang pisau setiap malam, saat berusaha menikam salah satunya yang tengah bermimpi. Aku langsung tidak berdaya melihat foto lama mereka saat masih hidup harmonis yang menggendongku waktu aku berusia enam bulan. Aku tidak mampu, keparat. Aku sungguh tidak mampu! Tetapi aku juga tidak kuat! Bathinku berperang sekarang ini, bathinku menjerit dalam heningnya kamarku. Rasanya aku mau menghabisi diriku sendiri.
"Obatku, mana obatku?" tubuhku menggigil, aku harus mencari temanku satu-satunya.
Mataku menyapu ke setiap sudut kamar, aku terkisap dan teringat. Jarum suntik ku ada di bawah kasur. "Kemarilah sayang, tenangkan aku." nafasku memburu, aku lebih dulu menelan pil itu. Malam ini dua pil cukup sampai pagi buta, lalu aku menjepit lenganku dengan ikat pinggang, aku mengikatnya kuat. Saat nafasku berada di puncaknya dan mataku sudah meninggi. Jarum mulai menusuk lenganku, merasakan setiap fantasi yang dia timbulkan di kepalaku, terbang bagai malaikat di sore hari. "Huh..." nafasku sudah tenang, namun mataku sepertinya sudah tidak kuat terjaga. Aku...
Akhirnya bisa tertawa lega tanpa ingat masalah apa yang aku alami seharian tadi, aku bisa melihat masa kecilku yang bahagia. Aku melihatnya...
Sungguh menyenangkan, kusenderkan kepalaku pada lemari. Kutarik selimut untuk mendekap tubuhku, lalu lagi-lagi fantasi itu terasa menjalar ke setiap organ tubuhku. Menghapus sedikit demi sedikit ingatan kelam, membuat bingkai baru untuk memori indah. Nikmatnya...
Tuhan, maafkan aku. Jangan hitung perbuatanku sebagai dosa. Aku memang salah dan aku menyesalinya setiap pagi. Aku sadar dengan apa yang aku lakukan. Jadi tolong, pahami keadaanku.
Mungkin hidupku akan lebih baik kalau mempunyai adik yang bisa menemaniku, atau teman-teman berandalan yang mengajak ku keluar setiap hari menikmati dunia malam. Tapi aku bukan orang seperti itu. Para berandalan tidak mempunyai masalah, mereka lebih senang menikmati hidup dengan caranya sendiri. Aku cukup bahagia dengan yang aku lakukan, aku tidak bisa terlalu jauh mendalami ini.
Aku memang pemakai, dan aku sama sekali tidak menikmatinya. Ya memang nikmat. Tetapi tujuanku hanya untuk melupakan masalah yang ada. Masalah yang menyiksa diriku.
Lalu air mata jatuh dari sela mataku, ada kemarahan setiap memakai obat-obatan ini. Aku menyesal lagi. Untuk dua tahun hidupku sebagai pecandu. Tanganku merangkul lututku erat, tubuhku rebah ke samping melihat kolong kasurku yang berantakan. Tangisanku semakin menjadi, tetapi aku masih kuat menahannya. Aku masih kuat. Tanganku berganti mencengkram dadaku, memukul kepalaku berulang-ulang seraya memberikan hukuman kepada diriku karena telah menyakiti tubuhku sendiri.
Tuhan, aku sekali lagi menyesalinya. Tolong hentikan aku, tolong hentikan aku, tolong hentikan aku.
Dalam relung jiwaku kembali menjerit. "Tolong hentikan aku."
Siapapun tolong...
Makin malam makin larut rasa penyesalan yang aku rasakan, baru kali ini rasa sesal itu datang lebih cepat. Aku kira dia bisa bertahan lebih lama. Karena obatku sudah habis bersama semua uang yang aku miliki. Bagaimana kehidupanku besok?
Oh tuhan, aku benar-benar bodoh.
Aku harus masuk hari ini, aku harus bertemu Black untuk berhutang obat padanya.
Bibirku membiru, udara semakin dingin mengigit. Mataku semakin tidak kuat menahan lemas sekujur tubuhku. Andai ada seseorang yang menampar dan menyadarkanku. Aku akan berhenti untuknya, aku akan memujanya.
Namun sepertinya mustahil.