Twenty

230 19 7
                                    

If I got locked away.
And we lost it all today.
Tell me honestly, would you still love me the same?

Yang aku lakukan saat ini adalah mengejar pesawat dua jam lagi, andai July ada disini.

"Rome." panggil ibuku, dengan mata sembab dia langsung menarik dan memelukku penuh haru, Tobey yang berada di sampingku mengelap kaca matanya yang berair. "Kau sahabatku satu-satunya, Rome. Apa kau yakin mau pergi?" setelah pelukanku dengan ibu selesai aku menjabat tangan Tobey. "Hei temanmu bukan cuma aku, oke? Bertemanlah dengan siapa saja Tob. Aku pasti merindukan nasihat darimu saudaraku." Tobey melirikku cepat, dia lantas memakai kaca matanya. "Saudara?" aku mengangguk. Yeah, saudara. "Iya saudaraku? Ada apa?" Tobey menangis tersedu-sedu melihatku. "Astaga Tobey, aku bukan mau ke planet lain. Aku cuma, hmm... Apa kata yang tepat ya. Oh ya! Aku cuma menetap sementara ke luar negeri Tob, memang agak jauh. Tapi kan cuma tiga tahun, kita bisa saling balas pesan di Facebook, kan?" Tobey mengelap air matanya. "Kau janji mengabariku? Janji membalas pesanku kalau aku kesepian?" kulepas jaket hitamku yang dulu sangat Tobey inginkan. "Janji, nah pakai ini agar ibuku tidak kehilangan bauku." kataku, Tobey menerima jaketku lalu cepat-cepat dia memakainya. "Aku akan menjaga ibumu, saudaraku." ibu mengelus kepala Tobey penuh kasih sayang, aku suka mereka makin dekat. Jadi tidak terlalu beban meninggalkan ibu sendiri.

"Aku keluar sebentar ya, tiga puluh menit lagi aku kembali."

"Hei mau kemana?" tanya Tobey.

"Jerry." jawabku cepat, lalu buru-buru keluar rumah. Ibu dan Tobey saling beradu pandang. "Jerry? Rome punya teman laki-laki lain?" Tobey mengangkat pundaknya. "Sebenarnya itu panggilan sayang."

•••

Kalau July tak hadir, aku yang akan datang ke rumahnya dengan perasaan gembira sekaligus sedih. Kulihat July sedang berbicara dengan ayah Bluez ada ibunya Bluez juga disana. Bahkan kedua orang tua July. Mereka akrab sekali. Sepertinya aku datang di waktu yang salah. Tidak, ini bagus! Bagus apanya!? Ini buruk, aku cuma hanya akan mengganggu. Payah kau Rome.

Ah aku pulang saja, aku memang tidak ditakdirkan berjodoh dengan July. Firasatku mengatakan mereka mulai serius. Serius melupakanku juga, tak apa. Aku bisa menunggu, dan menunggu saja.

Jadi, dari pada harus pulang. Lebih baik aku mengunjungi ayah. Sampailah aku di makamnya yang jaraknya tidak sangat jauh dari kediaman July.

Foto ayah masih disana dengan senyuman telernya.

"Hai ayah..."

"... aku akan pergi ke tempat jauh hari ini untuk menempuh pendidikan lebih dalam lagi. Ini atas dasar cita-cita ayah juga, kan? Romeo lihat di koper yang bau apek itu kalau ayah sangat menginginkan aku menjadi Arsitek, hari ini aku buktikan pada ayah. Mimpi ayah akan menjadi kenyataan..."

"... Yah, anggaplah ini ucapan minta maafku karena tidak bisa menjadi anak yang baik, aku mantan pecandu narkoba, dan itu buruk..."

"... Yah, mungkin ayah adalah satu-satunya orang yang belum tahu kalau aku sedang menyukai sorang gadis. Tapi sayang yah, dia sudah punya Bluez. Teman masa kecilku dulu, ayah ingat? Iya. Yang aku sering ajak bermain bajak laut di pekarangan rumah. Nama gadis itu July yah. Dia cantik, pintar, menawan, perhatian. Pokoknya dimataku dia sempurna..."

"... Mungkin bukan jodoh Romeo kali ya, yah. Aku senang kok temanku bahagia. Aku juga bahagia kalau July menikmati hubungan mereka..."

Angin berhembus sedikit melewati leherku.

Seperti ada bisikan "tidak yakin akan merelakan July."

Lalu air mataku menetes sedikit, demi sedikit.

"... aku bohong ayah, aku bohong." tangisanku makin menjadi kala aku bersujud di makam ayah, rasa yang kupendam keluar semua disana.

"Aku sayang July ayah, aku cinta dengannya. Tapi kenapa malah Bluez? Kenapa yah? July bilang aku laki-laki baik, bahkan kami punya panggilan sayang masing-masing. Aku jujur saja tidak kuat meninggalkannya, tapi aku juga tidak mau menyia-nyiakan cita-cita yang ayah titipkan padaku. Aku kesal, aku menyesal telah menjadi pecandu obat-obatan itu. aku menyesal ayah... Kalau aku tidak mengkonsumsinya, July pasti ada di sampingku, mendoakan ayah si surga, merawat ibu saat aku pergi kuliah ke luar negeri. Aku benci hidup ini, tapi yang paling aku benci adalah nanti yang memasukan cincin tanda cinta bukan aku! Bukan aku! Bukan aku! Ayah dengarkan Romeo, jawab aku, apa yang harus aku lakukan? Aku bingung, aku sakit, aku kepayahan, dadaku sesak ayah sesak! Aku mohon jawablah ayah... Jawab aku!!!"

"Romeo." seseorang bertangan hangat menepuk pundakku, aku langsung bangkit dan menoleh.

Dan tidak ada apa-apa.

"Ayah?"

"Ayah?"

"Ayaaaaaah?!"

Angin hangat melewatiku, arahnya seperti masuk ke makam ayah. Disana sepi, hanya aku seorang dan air mataku.

Lalu aku sadar, itu cuma teguran agar aku harus merelakan July. Aku tahu, tapi susah ditutupi kalau aku masih menunggu July.

•••

Kulirik jam tanganku, satu jam lagi aku berangkat. Aku hapus air mataku, membuang semua rasa pedihku. "Ayah, Romeo sebenarnya mau lebih lama lagi dengan ayah. Tapi maaf yah, satu jam lagi aku harus bersiap. Selamat tinggal yah, aku menyayangimu. Doakan aku."

•••

aku sudah di bandara dengan ibu, juga Tobey. "Sampai jumpa lagi, bu. Aku akan telpon kalau sudah mendarat." ibu mengelus pipiku hangat. "Iya sayang, jaga diri baik-baik. Ibu menyayangimu." aku memeluk ibu sekali lagi, kemudian mengecup pipinya. "Tobey, saudaraku. Aku berangkat ya." Tobey menangkap uluran tanganku. "Jaga dirimu saudaraku, aku akan menjaga ibumu. Rome, aku ingin bicara empat mata denganmu." ujar Tobey serius.

Aku menarik kursi rodanya. "Sebentar, bu." Tobey mulai bicara. "Aku tahu soal July memanglah berat untukmu..." dengan cepat ku potong kata-kata Tobey. "Tidak jangan bahas dia kawan." Tobey menarik tanganku. "Dengarkan aku!" bentaknya. "Baiklah, apa?" Tobey menghela nafas panjang. "Aku masih berkomunikasi dengan July, demi kau juga Rome. Jadi perkembangan July akan selalu kuberitahukan padamu." tentang July? "Kau serius?" Tobey mengangguk cepat. "Sangat serius." aku tersenyum lalu merangkul sahabatku, kami kemudian bertukar tinju persaudaraan. "Aku tidak tahu bagaimana cara berterima kasih padamu, kau sangat baik." Tobey membalas senyumanku. "Cepatlah kembali, dan jaga diri, juga kesehatanmu. July aku awasi disini." aku janji, aku akan kembali.

•••

Kini aku berada di kabin pesawat, melihat pramugari cantik sedang memberi arahan untuk para penumpang. "Maaf, bisa matikan handphone anda tuan?" tanya salah satu dari mereka. "Oh iya, maafkan aku. Segera aku matikan." jawabku ramah. "Terima kasih." sebelum handphoneku mati, tiba-tiba dia bergetar. Lalu sebuah sms muncul.

Tobey to Rome
July mencarimu di rumah, dia datang dengan wajah kusut. Tapi jangan khawatir Rome. Aku berhasil menenangkannya.

°°°

Vote Vote Vote!!!
Jadikan Dear God sebagai bacaan kesukaanmu.

Masih berlanjut^^ Author akan lebih giat lagi ngerjainnya.

Special thank you untuk para pembaca saya yang setia, kalian luar biasa...

Super duper ultimate special thank you untuk pacar saya Sekar, gregetan kalo belom bikin kamu penasaran.

Chapter kali ini, sumpah bikin baper.

-Muhammad Rijal Q

Dear GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang