Fifteen

222 11 1
                                    

Nafasku semakin memburu seiring berjalannya waktu, rasa menggigil ini kutahan kuat-kuat. Tanganku mencengkram bahu July saking kuatnya rasa ini menyerangku. Oh tidak, July kesakitan. Aku langsung melepas ciuman kami. Nafasku masih tersengal-sengal, memburu udara demi udara yang ada di dalam mobil. "Maafkan aku." July terlihat mengusap bahunya yang sakit, kubantu dia dengan tanganku. "Tak apa Rome, kamu baik-baik saja?" aku cuma menatap July tiga detik sebelum membuka pintu mobilnya dan pergi keluar. "Pulanglah July, istirahat. Maafkan aku." tanpa perlu tahu apa yang July katakan selanjutnya. Aku menghilang...

•••

Tanganku kembali merangkul lutut, aku melawan segala kesakitan di tubuhku. Aku tahu, aku sedikit kasar dengan July tadi, aku cuma tidak mau dia lebih lama merasakan gelagat aneh yang keluar dari tubuhku. Dari lua kamar, kulihat ibu membawakanku sebuah obat penenang seperti malam-malam sebelumnya. "Ini, minum lah." tentu saja aku menolak. "Obat itu cuma membuatku semakin kecanduan, sama sekali tidak membantu." namun ibu bersikeras memberikannya padaku. "Ini bukan obat penenang, ini obat penekan kemauan dan rasa candumu. Sore tadi ibu pergi dan berkonsultasi dengan profesor Daniel, dia dokter di pusat kota. Anaknya, Madelyn adalah teman ibu mengobrol dulu saat bermain poker bersama." "Penekan? Memang bisa?" ibu membuang nafas, dia memutar matanya apa kupikir ini adalah obat penenang jenis baru? "Tentu saja bisa, kalau tidak buat apa aku berkonsultasi? Lagi pula sayang, ibu cuma menghisap sebungkus hari ini." itu prestasi yang mengagumkan. Akhirnya kucoba obat itu, kepalaku terasa pusing dalam satu menit. Gemetarku benar-benar hilang, tapi kesadaranku juga turut hilang.

•••

Pukul 02.33 dini hari, aku terbangun dengan mata hitam seperti biasanya. Ini masih terlalu pagi, sebelum getaran handphone dari kantung celana mengejutkanku. Ini pesan dari July, jam segini? Dia belum tidur?

July to Rome
Tok! Tok! Siapa disana? Ada orang?

July bercanda.

Rome to July
Disini Rome, ada apa?

Kubalas juga dengan canda. Balasan July agak lama.

July to Rome
Kamu masih bangun? aku kira tidur, tidak lihat riwayat panggilanmu? Aku sedikit mengkhawatirkanmu, masalahnya kamu pergi begitu saja tadi.

Aku senang dengan perhatian July, aku membenci diriku karena membuatnya khawatir.

Rome to July
Masih July, aku terbangun. Oh, maafkan aku. Kamu masih mengingatnya sampai tak bisa tidur? Aku mengacaukan tidurmu.

July to Rome
Syukurlah, tidak apa-apa Rome. Aku cuma mencemaskanmu, hmm... Ngomong-ngomong, aku tidak ada teman untuk sms. Aku sendirian di Rumah bersama dua cangkir kopi dan sepiring penuh bolu cokelat. Aku berharap ada yang menemaniku :')

Oh, kasihannya sang Juliet.

Rome to July
Satu cangkir lagi untuk siapa? :b

July to Romeo
Untuk siapapun yang mau menemaniku :3

Romeo to July
Jangan diminum Jul.

July to Romeo
Kenapa?

Rome to July
Itu punyaku :b On The Way rumah kamu. Jangan bobo dulu!

July to Rome
Aku tunggu kamu, hantu berjaket. (Pasti karena mataku yang setiap hari hitam)

Rome to July
Iya, cerewet.

July tidak membalas lagi, oke ini aba-abanya aku harus pergi.

•••

Tidak butuh waktu lama untuku agar sampai di rumah July, aku tadi melewati banyak jalan tikus. Ya, lumayan kan? Sebelum pagi itu lebih baik. Kau mengerti maksudku kan? Wanita benci dingin sendirian.

Tanganku mengetuk kaca jendela kamar July cepat. July langsung membukakan pintu untukku. "Hai." sapaku, aku tidak tahu kenapa. Aku langsung memeluk July. "Aku memang bukan siapa-siapa kamu, tapi jujur saja kamu buat aku rindu." July juga balas memelukku, dia salah tingkah setelah aku melepas pelukanku. "Jadi, mana kopiku?" July tertawa, dia mengajakku lebih dalam ke kamarnya disana masih ada dua cangkir kopi dan bolu cokelat enak yang baru dimakan sedikit, aku dan July bersandar dibawah lantai yang beralaskan kasur kecil, sepertinya July sengaja menaruhnya. Di depan kami sudah tayang sebuah film berlatarkan gelap, agak sedikit menakutkan dengan suara ringkikan pada film itu. "Kita nonton yuk?" ujar July, aku cuma tersenyum. "Alasan lain kamu, ingin ditemani nonton film Jeff The Killer ini?" tanganku mencubit hidung July pelan, ia menekan tombol play, dan film dimulai "Rome, maaf kalau alasanku payah dan cepat ketahuan. Aku tidak pandai berbohong." July melirikku dengan tawanya saat film ini baru menayangkan judulnya yang membuat siapapun ngeri. "Jeff The Killer. Si pembunuh berwajar riang masih berkeliaran." bibir July mengilat sekali malam ini, apa ada polesan lip balm atau semacamnya? Leher July yang jenjang dan rambut indahnya. Glek, aku menahan ludah. Namun khayalanku buyar setelah tahu film sudah dimulai.

Oh sial, kau benar-benar pengacau, Jeff

Dear GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang