Nine

245 16 0
                                    

Aku dan kesendirian, terduduk di sudut kamarku sambil menggigit jaket. Bukan pemberian July tentunya. Tanganku merangkul lutut erat, menggigit kencang melawan getaran dan kemauan besar ini. Kalian pasti tahu apa yang terjadi. Aku menggigil lagi.

Apapun yang terjadi, aku harus tahan. Air mataku belum surut semenjak membaca catatan ayah. Gigiku bergemeretak hebat, susah sekali mengunci mulutku.

Tubuh ini ambruk ke samping, tanganku masih setia mendekap. Mataku naik ke atas menahan kesakitan dalam jiwaku, anganku terbang membayangkan kalau aku akan bertemu ayah sebentar lagi.

Tok.. Tok.. Tok.. "Rome?" panggil ibu dari luar kamarku, aku tidak menjawabnya karena memang tidak sanggup. Lama tidak mendengar sepatah kata apapun dariku, ibu membuka pintu dengan kunci cadangan. Dia melihatku terkapar tengah melawan dingin. Ibu terbelalak kaget, tangan keriputnya menarik rokok yang masih menempel di bibir, lalu mematikannya. Kemudian dia mengambil selimut lalu mendekapku secara menyeluruh.

"Kenapa?" tanyaku, ibu melihatku curiga. "Ada apa?" kubalas tatapannya. "Kenapa kalian berhenti menyiksaku?" setelah kami beradu tatapan, air mataku keluar lagi perlahan. Kucoba tahan, namun tidak bisa. Ibu memelukku, baru kali ini dia memelukku dengan kasih sayangnya. "Maafkan aku, maafkan kami. Kami sudah lelah berdosa padamu. Sekarang Howard sudah tidak ada, aku tidak bisa hidup sendirian. Maafkan ibumu yang egois dan bodoh ini Rome, terkadang aku merasa hina di hadapanmu." jelas ibu dia juga menangis sambil memelukku. "Kalian kasar, egois, pemarah, berisik, tidak pernah perduli denganku." tanganku mendekap tubuh ibu juga erat, air mataku benar-benar pecah di pundaknya. Aku berteriak, mengerang, mengeluarkan semua amarah dan kesedihanku, Air mata ibu juga pecah, kesedihan benar-benar mendominasi hati kami malam ini sampai-sampai tak kusadari menggigil yang aku rasakan hilang, lenyap begitu saja.

•••

Aku mengalami titik balik dalam hidupku, aku mengerti sesuatu. Apa yang terjadi selanjutnya haruslah lebih jelas. Ibu menyuruhku untuk rehabilitasi, namun aku menolaknya. Saat ini pekerjaan ibu belum tetap, aku juga harus membantunya mencari uang untuk makan dan membayar sewa rumah kami yang sebentar lagi akan habis.

Malam makin larut, setelah aku dan ibu menangis di kamarku. Ibu mengajak untuk makan dan membicarakan kelangsungan hidup kami berdua.

"Rome, Sewa rumah kita habis dua bulan lagi. Dan kita belum punya uang dalam jumlah besar untuk membayarnya. Ibu bekerja paruh waktu bersama Betty. Bagaimana menurutmu? Kalau yang ibu mau, kau sekolah saja sampai lulus, ibu akan mengusahakan uang untuk smester akhir. Uang tabungan ayahmu kita pakai untuk apa? Sewa rumah atau sekolahmu?" tanya ibu, aku tertunduk memikirkan jalan keluarnya. Bagaimana caranya supaya dapat membayar keduanya dengan uang ayah? Tiba-tiba di kepalaku terlintas sesuatu.

"Tidak dua-duanya." ibu melirikku tajam. "Berarti untuk?" aku sedikit tersenyum. "Kita putar uang ini, kita buat modal usaha supaya keduanya bisa terbayar." dia menunjukan ekspresi setuju. "Tapi apa?" benar juga, aku menghela nafas ke atas. "Aku juga tidak tahu bu."

•••

"Kau mau kemana tengah malam buta begini?" aku mengambil jaket merahku, memakai sepatuku. "Aku ingin main ke rumah teman, tenang saja bukan untuk obat-obatan keparat ini."

"Tapi kemana, Rome? Rumah siapa?"

"July."

•••

Setelah ditahan, aku tidak kuat juga menahan perasaanku ingin bertemu July. Tapi aku enggan masuk ke rumahnya setelah kejadian waktu itu.

Aku cuma mau melihat dia sedang apa, itu saja.

•••

Setelah sampai di rumah July, aku langsung mencari jendela kamarnya. Kulihat July sendirian tidur meringkuk dengan selimutnya. Matanya terpejam, kurasa dia sudah tertidur sangat nyenyak dengan memakai kaos merah muda. Aku penasaran kenapa letak jendela kamarnya begitu strategis untuk melihat posisi kamar July, kalau ada pencuri atau perampok entah bagaimana jadinya. Saat masih serius mengawasi July dari luar rumahnya, tiba-tiba saja pintu depan Rumah July diketuk seseorang. Sialan! Aku bisa ketahuan, kutundukan kepalaku sebelum semuanya terlambat. Sepertinya July sudah bangun, dan membukakan pintu untuk orang itu, kemudian aku berganti posisi pindah ke halaman depan, lalu bersembunyi di antara pot bunga July.

"Ada apa Bluez malam-malam begini?"

Bluez? Mau apa dia?

"Aku mengkhawatirkan keadaanmu Jul, sudah baikan?"

"Lumayan."

"Sebenarnya siapa laki-laki sialan yang membuatmu menangis?"

"Bukan urusanmu."

"Kamu mau cerita?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Bukan apa-apa."

July menangis, sepertinya ini kesalahanku. Sial, aku tidak tahu kalau July akan merasa sesakit ini.

"Baiklah, kalau kamu butuh apa-apa. Kamu bisa menghubungiku."

"Iya, thanks Blue."

"Eh, Jul. Tentang acara pesta dansa untuk menyambut ulangan tahun ini. Rencananya kamu ingin pergi dengan siapa?"

Kulihat July tertunduk tak ada jawaban, setelah beberapa detik kemudian dia menjawab pertanyaan Bluez. Matanya berkaca-kaca.

"Tidak ada, aku libur."

Bluez yang melihat July ingin menangis langsung memegang dagunya, sial! Kenapa kau memegang dagunya!? Kau bukan orang lama yang mengenalinya! Kemudian July menepak tangan Bluez. Aku merasa menang saat July melakukan itu. Bluez menarik tangannya.

"July kamu menangis, ada apa kali ini?"

July masuk kedalam, dan menutup pintu rumahnya. Namun Bluez masih bersikeras untuk masuk. Sialan Bluez!

"Kamu mau pergi atau kutelpon kantor polisi?"

Bagus! aku senang mendengarnya. Bluez terlihat kacau ditembak seperti itu oleh July. Dia menarik tangannya.

"Maafkan aku, aku hanya mencoba menenangkanmu. Selamat malam Jul."

Kalian tahu apa balasan ucapan selamat malam Bluez? Suara Bruuugh! Dari pintu Rumah July yang dibanting kencang. Itu sangat menyakitkan. Akhirnya Bluez masuk kedalam mobilnya dan pergi dengan kecewa. Sepertinya Bluez tidak bisa tidur malam ini.

•••

Kembali kepada July, aku juga beralih dari jendela yang satu dan jendela yang lain. aku mendengar suara tangisan yang pecah dari sebuah jendela, aku mengendap merangkak perlahan-lahan menuju sumber suara tangisan July sampai sebuah tetesan air jatuh di hidungku, aku kira itu hujan. Tapi ternyata itu air mata tangisan July, jendelanya sangat dekat. Tidak sampai 60 senti dari kepalaku, sial aku bisa ketahuan kalau begini. Air matanya terus terjun ke bawah membasahi wajahku, tangisan July semakin keras. Aku semakin tidak tega, apa aku kejam kalau mendengar tangisan seorang perempuan tanpa menenangkannya? Tapi aku sudah mengatakan pada July kalau dia tidak boleh terlalu dekat denganku. Astaga, dalam keadaan seperti ini pun bathinku berkecamuk antara menenangkan July dan menjaga ucapanku.

Air mata July semakin menjadi-jadi. Tangisannya semakin keras membuatu tidak tahan karena ada rintihan sedih itu ada di setiap deru nafasnya.

Ah tidak! aku tetap harus jaga perasaanku. Jadi kutunggu saja dia supaya lebih tenang. Semoga, aku menakutkan sesuatu kalau July tetap menangis seperti ini. Aku tidak mau dia jatuh sakit karena kesedihannya, ah aku makin serba salah. Sial! Sial! Sial!

Alah persetan dengan kata-kataku!

"July!" kepalaku muncul di hadapannya. July terbelalak kaget melihatku muncul begitu saja bak hantu. Air matanya tertahan, mulutnya sedikit terbuka karena terkesima dengan kehadiranku.

"Maaf aku mengejutkanmu."

"Rome..."

•••

Vote dan Comment sangat membantu semangat Author. Silakan beri kritik, saran dan komentarnya.

Thanks for reading.

-Rijal

Dear GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang