Six

256 10 0
                                    

Aku dan kebodohanku, kamar July terlihat begitu rapih tetapi ada juga bagian yang berantakan khas kamar perempuan, aku cuma berdiri di depan kamar. July menyuruhku tidur di sebelahnya, akhrinya tubuhku rebah juga disana. Aku tidak menghadap July dan lebih memilih membelakangi July.

Dan disanalah mataku kembali terpejam, aku tidak ingat. Sepertinya July mengucapkan sesuatu terlebih dahulu. Entahlah, sepertinya ucapan selamat tidur. Kalau iya, selamat tidur juga, July.

•••

Bagus, kakiku gemetar lagi. Nafasku mulai memburu, seharusnya ini jam-jam dimana aku mengkonsumsi obat keparat itu. Tetapi malam ini aku tahan perasaan itu. Aku akan sangat berdosa kalau tiba-tiba mengamuk lalu melukai July, aku tidak boleh membiarkannya.

Lama kelamaan tidak bisa dipungkiri gigiku bergemeretak, aku terus saja menggaruk leher dan kepalaku. Ini sangat dingin, dingin sekali. Jangan sampai July tahu. Sial, tubuhku menggetarkan seisi kasur. Aku cuma menahannya dengan menggigit bantal sampai akhirnya July curiga juga. "Rome?" aku masih menahan kemauanku. "Aku baik-baik saja." dia membalik tubuhku, melihat aku menggigil kedinginan. "Astaga kenapa denganmu? Bibirmu membiru Rome! Bangun, cepat!" July membangunkan tubuhku, dia menyenderkanku di bawah kasur. Lalu dia menyelimutiku. "Lebih baik?" tanyanya, jujur? Tidak. Aku semakin menggeram tak kuasa menahan ini semakin lama. "July, keluar dari kamarmu. Biarkan aku disini sendiri!" bentakku ke arah July dengan tatapan yang membuatnya takut, July terhentak ke belakang. Dia menggigit jarinya, terlihat jelas dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. "Tunggu sebentar." July keluar dari kamarnya, selang tiga menit dia kembali dengan handuk yang sudah dikompres air hangat. Dia mengelap dahiku, turun ke leherku dan dia melepas bajuku. Handuk itu membuatku terasa sedikit nyaman, cuma dinginnya tidak kunjung hilang. "Sabar ya, semoga ini akan membantu." dalam wajah paniknya aku bisa membaca apa yang dia pikirkan. "Tuhan, tolong aku." tubuhku rebah di lantai, getaran ini semakin membekukan tubuhku, sial! Bibirku semakin biru, mataku naik, aku menggigit bibirku keras terus menggigitnya kencang sampai tak aku sadari kalau itu menimbulkan luka. "Jangan menggigit bibirmu! Kemari, jangan begitu!" July menarik lenganku duduk tersandar lagi, dengan khawatir dia mengelap darah di bibirku. Dia menghapusnya sambil tetap menghangatkan tubuhku dengan handuk itu. "Rome, maaf. Tetapi aku harus melakukan ini supaya kesadaranmu kembali!" July menindihku, mendekapku, lalu mendaratkan bibirnya ke wajahku. Ada perasaan aneh menggelayuti bathinnya, namun dia tidak memperdulikan itu dan akhirnya bibir lembut itu menjamah permukaan bibirku, anehnya tubuhku terhentak dan dingin itu hilang. Mataku terbelalak melihat July yang terpejam menciumku. Dia kenapa? Sialan! Kami baru pertama Kali kenal! Apa harus seperti ini? July mengatakan. "Ini rahasia kita, maaf telah melakukannya sejauh ini. Niat awalku cuma mau..." aku semakin tidak sabaran. "Apa?" tembakku, July memalingkan wajahnya dan sekali lagi getaran tubuhku terasa. "Kau diam saja, aku akan menenangkanmu." tatap July dalam sambil kembali menjamah bibirku, July mengisap darahku yang masih mengalir, getaran tubuhku hilang lagi. Dia masih melumat bibirku hangat, dan lembut. Wajahku yang semula pucat pasi berubah menjadi memerah saking hangatnya. Aku melepas ciuman kami. "July? Aku sudah baikan." July menghela nafas kecewa. "Syukurlah." Ekspresi kecewanya membuatku merasa berdosa, dia begitu baik. Tetapi aku tidak mampu membalasnya, bahkan bibirku tidak mampu membalas ciumannya. Astaga.

Tubuh July rebah di sebelahku, kepalaku masih mencoba berpikir jernih dengan keadaan yang ada. July cuma mau menenangkanku, tidak lebih Rome! Tetapi kenapa dia memasang raut wajah kecewa? Kurasakan tubuhku membaik, getaran ini masih terasa bersama menggigilnya namun tidak seperti tadi, aku mampu mengendalikan tubuhku kali ini. "Rome?" panggil July. "Apa?" sahutku, tubuhnya berbalik ke samping menatap hembusan nafasku. "Apa aku berlebihan?" wajah July menjadi lemas, itu membuatku tidak tega. Lalu tubuhku juga membalik ke arahnya. "Tidak Jul, kau berhasil menenangkanku." July membuang nafas lega Huh... "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, lalu otakku berpikir kalau aku menciummu. Itu akan membuatmu lebih tenang, aku cuma mendengar kata hatiku." itu bagus, aku menyukainya. "Dengar July." tanganku memegang dagunya, July melihatku. "Tindakanmu sudah benar, terima kasih. Aku benar-benar menghargai usahamu." lalu bibirku mengecup bibirnya, aku tidak mau tenang sendirian. July terdiam, tetapi air matanya menggenang walaupun senyuman itu masih menghiasi wajahnya. "Apa aku salah Jul?" tanyaku. "Itu membuatku tenang, aku memang cengeng Rome. Air mataku dangkal dan cepat menangis kalau ada hal yang membuatku bahagia." July sedikit tertawa mengingat apa yang baru saja dia lakukan padaku. "Kau tahu Rome? Aku masih takut mencium seorang lelaki. Tetapi kau sialan! Kau membuatku melakukannya." kali ini aku yang tertawa mendengar kata-kata July. "Baguslah, itu tandanya kau bukan seperti perempuan lainnya. Tapi Jul, aku baru pertama kali berciuman." apa aku mempermalukan diriku? Kalau bisa membuat July tertawa aku senang. Dia menepak pipiku pelan. "Dasar payah, apa kau takut mencium perempuan?" July menghapus air matanya dan kembali tertawa. "Aku terlalu kikuk, aku sangat payah. Bagaimana denganmu?" kataku sambil membalas senyumannya. "Aku? Hanya dua orang di dunia ini yang pernah aku cium. Kau salah satunya." July kembali rebah, dia melihat langit-langit kamarnya. "Satunya lagi siapa?" July hanya menggelengkan kepalanya, ekspresinya berubah. "Aku lupa." mungkin dia hanya berasalan, atau dia tidak mau menceritakannya. Tak apalah, itu urusannya.

"Rome?"

"Ada apa?"

"Sebenarnya kau mengidap penyakit apa sampai menggigil seperti itu?"

Aku cuma diam seribu bahasa.

Dear GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang