Eleven

256 11 1
                                    

Aku, July, dan orang-orang yang berduka. Kami telah sampai di tempat tujuan. July lebih dulu menemui ayah, dan ibunya.

"July!" sapa ayah Jul, ia langsung memeluk puterinya yang dilanda kesedihan. Ibu July juga memeluk anaknya sungguh erat, aku cuma melihat mereka dengan senyum tipis. Mataku menyapu ke berbagai arah. Rupanya prosesi pemakaman sudah dimulai sejak tadi.

"July, dia temanmu?" July mengangguk iya, kemudian dia memperkenalkanku dengan orang tuanya. "Ayah, ini Romeo. Romeo, ini ayahku. Ibu, ini Romeo. Romeo, ini ibuku" jabatan tanganku disambut baik oleh mereka berdua, kami saling beradu senyuman perkenalan. "Saya turut berduka om, tante."

"Terima kasih Romeo, terima kasih juga sudah mau mengantar July. Kami sedikit tenang kalau laki-laki yang mengantarnya." aku cuma tersenyum lebar membalas kata-kata ibu July. "Eh, iya Romeo ini kebetulan teman sekelasku di sekolah baru itu." ibu July mengangkat alisnya. Ohh... "Ibu kira kalian berpacaran." aku dan July langsung berbagi pandangan, dia melihatku dengan senyum lebarnya. Aku melihatnya dengan senyum lebarku. Kemudian July menjawab. "Bukan, bu." mulutku juga langsung keceplosan. "Belum, tante." July melirikku aneh, aku hanya mengangkat bahuku. "Apa?" ibu July tertawa geli dengan kelakuan kami, berbeda dengan ayahnya yang masih tegang dengan keadaan. "Belum ya, yasudah semoga hubungannya baik-baik saja. Sekarang ayo. Mia butuh kita untuk yang terakhir kalinya."

•••

Dan disinilah kami, dimana jasad Mia diturukan ke liang lahat dengan perlahan. Tangisan July dan ibunya pecah lagi, beberapa orang disini juga terlihat kehilangan. Salah satunya pria dengan kemeja biru tua itu. Dia paling histeris saat melihat Mia untuk terakhir kali, dia terus berkata "jangan tinggalkan aku Mia, bagaimana dengan cita-cita dan kebahagiaan kita kelak?" sepertinya dia pacar Mia. Kasihan, kalau dilihat pria itu orang baik-baik, juga bos yang memimpin perusahaan besar. Itu terlihat dari tata pakaian, dasinya yang rapih, dan arloji mewah berlapis emas itu. Wah... Wah... Mia seharusnya bisa lebih menikmati hidup tanpa narkoba dengan pacarnya.

Semakin lama jasad Mia makin ke bawah, setelah di bawah. Seluruh keluarga, dan teman mengubur Mia bergantian. Ini ulah narkoba. Dalam hatiku, aku berkata..

Tuhan, engkau terlalu baik membiarkanku masih hidup. Sebab tidak banyak orang yang bisa selamat sejauh ini sepertiku.

Dalam benakku, aku merasa beruntung sejauh ini. Aku masih menahan menggigilku dua malam ini. Tak kusadari ternyata Mia sudah sepenuhnya terkubur, kami semua berkabung. July tersandar di bahuku, aku merangkulnya erat. "Kemari, Jul." tanganku merubah posisi kami, aku memeluk July, mengusap punggungnya agar dia bisa lebih tegar lagi melepas kepergian kakaknya. Sejujurnya aku bingung, orang seperti Ayah dan Mia akan masuk Surga atau Neraka?

•••

Setelah prosesi yang mengharukan itu, July bermaksud untuk mengajak orang tuanya pulang ke Rumah. Tetapi kelihatannya ayah July menolak pulang sekarang, dia mengajak July untuk berbicara empat mata. Sementara aku dan ibunya menunggu mereka.

"Romeo?" panggil ibu July. "Iya tante?" ibu July memberikanku kartu namanya. "Jaga July ya, kalau ada apa-apa kamu bisa hubungi tante." aku menerima kartu nama itu ragu-ragu. Heran, orang tua July juga percaya begitu saja denganku? "Tapi saya tidak setiap hari bertemu July, tante." ibu July mendengakkan kepalanya ke atas, lalu kembali melihatku. "Tante minta tolong, sesempat apapun kamu tengok July di rumahnya ya. Tante tahu kamu anak baik, July tidak pernah salah memilih teman sejak kecil." oh tidak, tapi July salah kali ini. "Tante percaya denganku?" dengan cepat ibu July berkata dengan senyumannya. "Percaya."

•••

Aku dan July sudah berada di mobil lagi, ini pukul 03.00 dini hari. "Ibuku bilang apa Rome?" tanya July. "Ibu kamu bilang aku harus jaga kamu, terus sempatkan waktu untuk menengok kamu." July tertawa terbahak-bahak. "Kenapa ketawa?" sungutku. "Ibu dari dulu memang suka begitu. dia agak berlebihan. Tapi Rome, kurasa kalau kamu mau. Kamu bisa main atau menginap di rumahku." astaga, ini bisa menimbulkan anggapan yang tidak baik nantinya. "Tapi apa buruk kalau aku main setiap hari?" tanyaku datar. "Tidak buruk, main saja. Aku kapan-kapan main ke rumahmu ya." oh tidak, apapun asal jangan main ke rumahku. "Oh ya, Rome. Kamu ada masalah apa dengan Black?" mataku terbelalak dengan pertanyaan July. "Tahu dari mana?" kataku. "Waktu kamu tidak masuk kelas, Black datang dengan marah-marah mencarimu. Memang ada apa?" sialan, si bodoh mengamuk. "Aku punya hutang dengannya, aku janji akan aku bayar dengan balapan. Tapi tidak jadi karena aku sudah terlanjur pingsan malam itu." jelasku. "Berapa banyak?" Huh... "Lumayan."

Sebenarnya banyak, aku malu mentatakannya. Mungkin aku tidak masuk lagi hari ini.


Dear GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang