Nineteen

255 12 7
                                    

Hujan di pelupuk mata dapat kurasakan, hangat tidak berembun. Kafetaria masih berjalan seperti biasanya, cuma aku di sudut jendela, dan jaket merah pemberian wanita itu, wanita yang sedang berjalan dengan temanku, wanita yang pernah kulumat bibirnya, wanita yang kusukai. Tapi sudah punya orang lain. Kalau ditanya kecewa aku sangat kecewa, bahkan sedih karena kurasa Tobey benar. Orang-orang hanya memanfaatkan kebaikanku. Yang selalu kuharapkan adalah Bluez akrab lagi denganku, biarlah July menjadi kekasihnya. Tapi jangan jauhi aku, aku memang kasar dan tidak tahu aturan. Kemarin aku sudah mengirim Email, sms kepada Bluez bahkan mengatakan langsung kalau aku minta maaf dan aku sangat menyesalinya, balasan yang aku dapat apa? Bluez bilang kalau aku akan merebut July, memalingkan hati July padaku. Padahal nyatanya aku cuma mau kami akrab lagi seperti dulu. Selain itu, aku sadar aku mencintai July. Aku merasa kehilangan sosoknya saat ini. Aku rindu saat dia selalu mengucap selamat pagi untukku, rindu akan senyumannya, rindu canda tawanya, sedihnya. Aku benci menyakuinya, kehilangan July memaksa bathinku untuk bertatap muka langsung dengannya lalu mengatakan July! Aku menyayangimu! Aku akan menunggumu berpisah dengan Bluez. Benar, aku akan menunggu meraka putus. Lalu menyambung hubungan baru dengan July, sambil menunggu hari itu tiba. Aku cuma seorang pria yang tersesat, dan sendirian.

•••

Sudah terlalu lama sendiri, sudah terlalu lama aku asik sendiri. Lama tak ada yang menemani, rasanya...

Sudah terlalu asik sendiri, sudah terlalu asik dengan duniaku sendiri. Lama tak ada yang menemani, rasanya...

Tubuhku rebah di atas ranjang, tanganku meremas kencang jaket merah yang aku pakai. Ini terasa sesak namun aku tidak mau melepasnya. Sudah seminggu aku memakainya dan itu sama sekali tidak membuatku bosan.

Sepi, kurasakan hari ini dan tetaplah, sepi. Diam di sudut, atas, hilang tanpa arah cuma di kamar. Sendiri.

Cuma buku tentang cinta ini menutupi kepalaku yang panas, berharap hujan datang, menutup hati sang bulan. Walau dekat kurasa July ku tetap saja hilang.

Lalu aku sadar dengan kisah sang puteri, yang selalu berakhir happy ending. Tapi tidak untuk penunggang kuda hitam sepertiku. Aku, cuma, pria, hilang, dan, tersesat di dalam cerita Juliet yang curang.

Juliet yang curang.

Cinta yang kurang.

Rindu yang terlarang.

Semua senyumu bahkan bagai hilang.

"Walau jauh di lubuk hati, aku tak ingin terus begini. Aku harus berusaha. Tapi mulai dari mana?"

Terlintas dengan kisah Romeo, dan Juliet. Aku bagaikan mati. Tapi July tidak ada disini. Percuma, yang bisa ku harapkan saat ini hanyalah menunggu.

•••

"Rome, ibu berencana mengkuliahkanmu ke luar negeri. Mau mau sayang?" aku merangkul ibu hangat, nafasku keluar berasap karena disini sangat dingin. "Aku tidak tahu, bu." lalu ibu mengusap kepalaku. "Pikirkan saja dulu, ibu tinggal ya. Ada undangan dari nyonya Johanes." ujar ibu, aku cuma mengangguk iya.

Kalau di ingat-ingat, Bluez dan July sudah satu tahun bersama. Sekarang mereka juga belajar di kampus yang sama, selalu sama. kapan akan berbeda?

•••

Malam ini aku putuskan untuk berkunjung ke rumah July, Bluez pasti ada disana. Aku juga mengajak Tobey agar tidak ada salah paham diantara kami.

•••

Malam tiba, aku dan Tobey sudah berada di depan pintu rumah yang sudah lama tak aku kunjungi. Aku mengetuk pintunya, namun tidak ada jawaban. Ku ketuk lagi untuk kedua kalinya, terdengar suara gaduh di dalam. "Mungkin mereka sedang memasak." sahut Tobey iseng. "Mungkin, bro." belum lima menit berselang, pintu terbuka. Bluez yang membukanya. "Mau apa?" tanyanya tajam, kubalas dengan senyum hangat. "July ada di dalam?" Bluez tidak menjawabnya, lalu July datang. "Aku disini, ada apa Rome?" aku mengulurkan tangan ke July, Bluez menepaknya. Huh, aku tidak boleh marah. "Baiklah, apa kabar? Kami hanya ingin tahu kabar kalian." mata July menatapku dalam, aku mencoba mengalihkan tatapannya tapi Bluez dengan sigap menjawab. "Kami baik. Kalian?" Tobey buru-buru menyambar sebelum aku menjawab. "Kami? Ingin mencincang seseorang." kulirik Tobey dalam, lalu menepuk kepalanya. "Wahaha Tobey memang suka bercanda." Tobey meringis, Sakit tahu! "Kami baik, bro. July, beberapa waktu lalu kamu ulang tahun kan? Maafkan aku kalau telat mengucapkannya, aku jarang keluar dari kafetaria. Jadi, aku punya hadiah kecil untukmu. Aku yang membuatnya sore ini, hehe. Maaf kalau tidak enak ya." aku memberikan July brownies buatanku tadi sore, aku tahu July suka dark cokelat. Jadi kubuat ini sesuai kemauannya. July tersenyum melihatku, dia menerimanya dengan mata berkaca-kaca. Lalu July membukanya, dia terdiam melihat brownies yang aku buat. "Ini dark cokelat, kamu masih ingat?" mata July sembab, dia terharu dengan senyuman manis di wajahnya. Bluez mulai risih dengan respond pacarnya. " "Happy Birthday July, kamu tidak suka cokelat susu karena alergi susu, aku tidak bisa melupakannya. Kamu memang pemakan keju, Jerry." aku tersenyum sambil menepuk pundak Bluez bercanda. "Wow pacarmu memang cantik kalau tersenyum Blue, beruntungnya sahabatku yang ini." Bluez menepak tanganku lagi, ah masa bodo. Aku merasa menang kali ini. "Siapa itu Jerry?" tanya Bluez, tapi pertanyaanya tidak ada yang menjawab. "Terima kasih, Tom. Sungguh aku sangat senang menerimanya. Kamu sangat baik." ujar July, air matanya kini menetes turun membasahi pipinya. "Siapa lagi itu Tom?" sungut Bluez, pertanyaanya masih tidak ada jawaban. kemudian July juga teringat sesuatu. "Bukankah ulang tahunmu masih satu bulan denganku, Rome? Bulan Juli juga kan?"aku tersenyum July masih ingat soal itu. "Sebenarnya kemarin, Jul. Kita cuma berbeda tanggal saja hehe." dengan cepat July melirik Bluez. "Sayang, mereka harus makan malam disini ya... Anggap saja ini hadiah ulang tahun Rome." ucap July. "Oh tidak usah repot-repot, aku sudah makan July. Lagi pula aku tidak mau mengganggu waktu kalian, betul Blue?" mataku melirik Bluez, dia hanya mengangkat bahunya seperti berkata. Diam kau pencari perhatian. "So, aku dan Tobey harus pergi." Tobey menyambar "ya, ada pesawat yang harus Rome kejar."

"Pesawat? Kamu mau kemana, Rome?" tanya July pada akhirnya. "Apa perduli kita sayang, sudahlah biarkan dia pergi." sungut Bluez kesal. Aku tersenyum. "Aku kuliah ke luar negeri, kurasa besok. Aku juga mau berpamitan dengan kalian." kalian ingat tentang ajakan ibuku? Itu kemarin. Dan aku menyetujuinya, aku akan memperdalam mencari ilmu di negeri orang. Besok packing persiapanku selesai, sorenya aku berangkat. "Kenapa jauh-jauh? Kamu dan Tobey bisa satu kampus dengan kami. Iya kan sayang?" July nampak kecewa, sementara Bluez tampak senang.
"Aku mau, tapi. Ya aku sudah didaftarkan ibu disana. Mungkin kita bertemu tiga tahun lagi." ucapku tenang. July menyikap rambutnya, dia terlihat menyesal. Aku tidak tahu apa yang dia sesali, mungkin... Ntahlah. "Sudahlah, kau pulang saja sana! Thanks hadiahnya. Sayang, ayo masuk. Kita tidak perduli dengannya yang sekarang sudah sok kaya." Bluez menarik tangan July sampai ke dalam rumah, July menangis. Air matanya jatuh di sepatuku. Kemudian, Bruuugh!!! Pintu ditutup kencang. "Sialan." sungut Tobey, huh... Tenang, Rome. Yang penting aku sudah pamit dengan July.

"Sudahlah kawanku, ayo pulang." kubalikan tubuh, menarik kursi roda Tobey. Lalu kami menyusuri jalanan gelap berdua, sampai bayangan kami hilang.

Satu pelajaran, jangan terlalu terikat pada sesuatu. Belajarlah merelakan. Aku rela, tapi masih sayang. Itu saja, sekarang waktunya Move On. Aku akan menjadi diriku sendiri yang baru.


Dear GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang