Mendung pagi, hal yang paling membahagiakan untuk sebagian banyak anak. Hari ini aku mengutuk cuaca, berharap hari cerah dan matahari kembali menyinari wajah-wajah yang mengantuk.
"Rome, sarapanmu ada di dalam oven. Uang sakumu ada di atasnya. Aku harus pergi ke rumah Megan." ucap ibuku, dia memang enggan masuk kedalam kamar karena aku benci ada orang yang memasuki kamarku. "Oke." jawabku singkat.
Setelah penuh kesadaranku. lekaslah aku pergi ke dapur untuk mengecek oven. "Argh, bagus. Makanan kemarin yang dihangatkan lagi." aku sudah biasa menyantap makanan kemarin walau aku tau resikonya akan sakit perut. Tanganku meraba atas oven, setelah kuambil yang terlihat cuma sepuluh keping uang receh. "Aku benar-benar harus berhutang obat."
Setelah mandi, aku mengambil jaket hitam pekatku lalu mengambil tas yang berisi satu buku dan satu pulpen.
Pergilah aku saat itu juga.
•••
Jalan kaki, dimana setiap remaja gadis menganggap hal itu sangat payah. Sebenarnya dahulu setiap anak berjalan kaki atau menaiki bus sekolah, namun saat mereka memiliki sim. Jalanan manapun miliknya.
Tidak bagiku, ini sudah setengah jalan dan aku sungguh kedinginan. Tanganku langsung masuk kedalam saku jaket tanpa perlu otak ku pinta lebih dahulu. Lalu aku melihat Bluez dengan kaos oblong biru dan celana jinsnya. "Hei bro." sapanya setelah dua hari tidak melihatku masuk sekolah, aku menghindarinya dan cepat-cepat menuju ruangan olahraga karena aku tau Black sedang bermain basket di dalamnya. Tetapi Bluez tetap mengejarku, dan saat dia mendapatkanku tepat dihadapannya, dia menyerahkan secarik kertas. "Rome, Abby mati over dosis dua hari yang lalu." aku mengambil paksa kertas itu. "Apa maksudmu?" Bluez menggaruk-garuk kepalanya. "Kau belum paham maksudku? Abby mati, jadi sebaiknya kau berhenti mengkonsumsi obat-obatan itu. Ayolah bro, aku bisa membantumu." jelasnya, aku tau dia memang sahabat terbaik ku. "Maaf, tidak usah repot-repot." kataku sambil menyobek kertas kematian Abby tersebut. Lalu masuk ruang olahraga tanpa peduli Bluez masih ada di hadapanku.
"Kau hanya mengejar kesenangan Rome! Apa yang kau dapatkan dari benda haram itu!" bentak Bluez, entah kenapa tanganku menjadi panas dan pukulan kencang mendarat di matanya. Bluez tersungkur di lantai dengan mata lebam.
"Aku bukan mengejar kesenangan! Kalau kau sahabatku, kau pasti mendukungku!" mataku menyorotinya penuh amarah, lalu kembali melanjutkan langkahku ke ruang olahraga. Terakhir yang aku lihat tentang kondisi Bluez, dia malu diperhatikan banyak anak di lorong kelas. Dengan cepat dia menyambar tasnya lalu pergi dengan kata terakhir. "Persetan!"
Sebenarnya pantangan bagiku memukul sahabatku sendiri, namun kata-kata Bluez barusan memaksaku untuk melakukannya, aku menyesal. Mungkin setelah jam istirahat aku akan meminta maaf padanya.
•••
Kembali pada Black, dia terlihat bukan sedang bermain basket. Dia sedang bercumbu bersama anak kelas dua, Lance. Yang kebetulan juga pacarnya. "Black, aku butuh." pintaku dengan wajah tidak meyakinkan, dia melepas ciumannya bersama Lance. "Wow... Santai saja, kau tidak lihat aku sedang apa?" sahutnya kesal, dia langsung berbisik pada pacarnya. "Tunggu aku di kelas, aku akan segera menyusul sayang." Lalu dia menepuk bokong pacarnya kencang sampai Lance pergi berlalu. "Aku selalu suka kedua bola basketnya." apa dia sedang bergurau padaku? Black turun, lalu mendekatiku. "Kau mau lagi bocah kera?" aku langsung menyambar. "Aku tidak bisa membayar kali ini, aku hutang dulu padamu." wajahnya berkerut mendengar kata-kataku. "Tidak bisa kawan, aku juga sedang butuh uang. Ada uang, ada barang." dia mengacuhkanku dan pergi menjauh. "Aku akan bayar dua kali lipat nanti! Aku janji!" teriakku, tetapi dia tetap berjalan pergi. "Aku akan balapan untukmu malam ini!" setelah mendengar kata-kata terakhirku dia berhenti melangkah, berbalik badan, lalu mengangkat bahunya seperti berkata "ya apa boleh buat" kemudian Black menghampiriku. "Sanders St 66, nanti malam, jam 24. Jangan terlambat, aku mengandalkanmu. Kalau kau menang, ada bonus." ujar Black, dia langsung melemparkan barang yang aku butuhkan.
Setelah itu aku menuju kedalam kelas, di perjalanan aku melihat Tobey berada di kursi roda. Dia juga teman sekelasku, Tobey sangat religius karena sifatnya yang sangat tenang dan bijaksana. "Bro, baru kelihatan lagi." benar saja, dia menyapaku. "Hai Tobey, bagaimana kondisimu?" dia menjawab. "Tuhan masih menyayangiku bro." betulkan, dia memang religius. "Oke, baguslah. Semoga harimu menyenangkan." namun Tobey kembali memanggilku. "Rome, bolehkah aku meminta bantuan? Kalau kau sedang tidak buru-buru." aku membalikan badanku. "Katakan saja, bro." dia tersenyum. "Tolong dorong aku sampai kelas kita, tanganku sedang kurang sehat sekarang ini." kulirik tangannya, astaga penuh luka bakar parah. Tobey cuma memperbannya sedikit agar tidak terlalu kelihatan memerah. Aku jadi tidak tega padanya. "Baiklah, kita akan ke kelas." aku tidak tahu kenapa dia terlihat tenang begitu, padahal hidupnya tidak jauh buruk dariku. Bahkan dia berada di kursi roda, dan sekarang tangannya terluka.
Ya Tuhan, lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Aku tidak melihat keadaan orang-orang sekitarku yang ternyata lebih buruk dariku. Dan malam ini aku harus menemui Black untuk melakukan balapan liar. Semoga engkau masih berbaik hati memberikan nafas untukku.
•••
"Thanks bro." ujar Tobey setelah sampai di mejanya. "Oke bro." ada yang berbeda hari ini. "Kau merasa aneh?" sapa Bluez di bangkunya, wajahku berubah malu melihatnya. "Dengar Blue, kejadian tadi itu..." dia memotong kata-kataku. "Aku tau kawan, sudahlah lupakan saja." syukurlah, dia memang sahabatku.
Aku langsung duduk di sebelah Bluez, ada anak baru rupanya. "Aku baru melihatnya." kataku membuka pembicaraan. "Oh ya, dia anak baru. Namanya..." aku menahan mulut Bluez dengan bukunya. "Shhht, diam kawan. Aku akan mengetahuinya dengan caraku." Bluez melihatku dengan wajah jeleknya, lalu dia mengangkat bahunya seraya ingin berkata. "Terserah padamu saja."
![](https://img.wattpad.com/cover/50176833-288-k748970.jpg)