Twenty Eight

226 12 6
                                    

Saat itu, ada celah dimana aku bisa lebih dekat lagi dengan Flow. Tapi dia tetap bersikap cuek denganku, tidak masalah selagi masih bisa bicara akrab sebelum dia mengatakan see you.

Ku tahu bila berjalan maju itu sulit apa lagi harus memikul beberapa beban di pundakmu, belum lagi jalannya mendaki. Ini sangat membosankan kalau kau berjalan sendirian.

Seminggu lalu, aku bisa bicara lebih dekat dengan Flow. Dua minggu lalu, Flow selalu meninggalkanku dengan senyum misterius. Dan beberapa tahun yang lalu aku tahu, aku mencintai wanita yang salah. Wanita yang aku yakin akan aku tunggu sampai sekarang, tapi semuanya sudah pudar. Perasaanku, harapanku. Semuanya.

•••

Sekarang setiap sore Flow sering berkunjung jika tidak sibuk. Ya, bersama kameranya. Namun sore ini dia terlihat lemah, keringat dingin terus turun membasahi wajahnya, bibirnya pucat, sorotan matanya lurus menatap lantai. "Kamu sakit?" kuambil sapu tangan Flow dari tangannya, ini sudah basah. Kuambil beberapa lembar tissue dari mejaku, lalu mengelap keringat di wajahnya. Flow masih diam, setelah wajahnya kering baru dia terlihat hidup kembali. Nafasnya berat. "Cuma kambuh." sahut Flow pada akhirnya. Dari sini aku tahu, dia mengidap suatu penyakit. "Apa yang kambuh?" Flow mengambil paksa sapu tangannya yang basah dari tangan kiriku, kemudian mengelap mukanya. "Iya." katanya. Tapi bukan itu maksud pertanyaanku, dia butuh istirahat saat ini. "Tunggu ya, kamu belum makan, kan?" dia masih diam, kuangap itu iya. "Aku akan kembali sebentar lagi." kuacak rambutnya jahil, tapi tetap saja Flow tidak merespond padahal aku tahu dia benci jika ada rambut di wajahnya. Hhh, Flow. Apa yang terjadi padamu? Langkahku terhenti, menyikap rambutnya lagi sambil menatapnya. Baru aku keluar kamar untuk membeli makanan.

Beberapa menit kemudian setelah makanan yang kubeli matang, otakku berpikir. Dia akan menyukainya. Sesampainya di kamar, Flow tidur. Dia terdengar sedikit mendengkur di dalam mata lelahnya. Selamat tidur. Kuambil bantal yang tidak Flow pakai, lalu meletakannya di bawah kasur. Akhirnya tubuhku rebah juga bersama penat. Aku tidak mau mengganggunya biarpun aku tahu ada yang dia sembunyikan. Biarlah, sambil menyamping kuambil handphoneku. Membuka facebook lama yang berdebu, hanya ada dua pesan, satu pemberitahuan, dan lima permintaan pertemanan. Salah satunya punya Flow, oke.

Kulihat pesan, jaringan memutar lambat karena koneksiku yang sedang labil. Setelah terbuka itu nampak pesan dari July.

July
Apa kabar?
Dua hari yang lalu.

Di samping namanya langsung muncul lingkaran hijau.

Rome
Baik, kamu sehat?

July langsung membalas.

July
Ya begitulah, lancar kuliahmu?

Rome
Lancar.

July
Kamu marah?

Rome
Iya. Jangan tanya apa alasannya.

July
Iya kamu benar, memang aku yang salah atas semuanya. Tapi asal kamu tahu Rome. Tidak ada sedikitpun dasar aku menyayangi Bluez. Aku tahu kamu membenciku, Tobey membenciku, ayah dan ibu membenciku, mertua bahkan suamiku pun membenciku. Sekarang apa yang kamu mau? Aku sudah terlalu banyak dibenci orang karena bodohnya aku selalu memilih pilihan yang salah.

Rome
Ya, bicara saja sana dengan mobilmu.

July
Astaga. Terserah padamu. Yang jelas aku minta maaf yang sebesar-besarnya telah menyakitimu. Maaf Rome.

Rome
Kamu menyesal?

July
Menurutmu aku tampak bahagia?

Rome
Tidak. Ya sudahlah. Aku mau tidur, kamu aku maafkan.

July
Sulit memang menerima wanita murahan sepertiku.

Hmm, aku tidak perduli. Dia menghina dirinya sendiri, sangat lucu.

•••

Malam datang, masuk dini hari sampai menjemput pagi. Flow bangun sambil mengecek handphone dan kameranya. Lalu dia menggoyang-goyangkan pipiku. "Hei, bangun." terasa sebentar, Flow beranjak dari kasur sambil menguncir rambutnya. Tidak jelas apa yang dia lakukan tetapi ada sedetik tawa yang keluar. "Dia tidak memakannya." sahut Flow pelan sambil melihat bungkusan makanan yang kemarin aku beli, mungkin sudah basi. Sejenak terdengar suara goresan pensil di atas kertas, dan samar suara batuk kecil sampai terasa ada helaian rambut di wajahku lalu... Mwaah. Kecupan entah apa itu mendarat di pipiku, Flow berbisik saat aku bermimpi "selamat pagi, terima kasih untuk segalanya. See you Romeo ku." Romeo ku? Apa aku tidak salah dengar? Dan dentuman bunyi pintu tertutuplah penanda berakhirnya Flow di kamarku.

Pukul 08.00 pagi aku sadar Flow sudah tidak ada di kasur, dia meninggalkan sebuah catatan dengan sebutir permen karet rasa melon.

Selamat lagi, terima kasih Romeo karena mau membiarkanku mengiler di bantalmu. Keadaanku sudah membaik. Aku suka dengan rasa pedulimu Rome. Tetaplah begitu.

Kampus libur hari ini, istirahatlah karena nanti sore aku akan merepotkanmu lagi. Jangan lupa mandi.

Kulihat ke bantal, ya memang ada dua pulau disana. Aku cuma tersenyum sambil membayangi tingkah lucu Flow. Dasar anak itu...

•••

Aku cuma bengong di depan laptop, tidak ada yang bisa aku lihat selain beranda Facebook yang kosong. Dan tiba-tiba munculah pesan baru lagi.

Ternyata July.

July
Sudah tahu kabar Tobey?

Rome
Kenapa dia?

July
Dia terkena infeksi paru-paru, keadaannya keritis.

Rome
Bagaimana bisa!? Dia tidak punya sejarah penyakit paru-paru!

Dengan sigap kuambil telpon, lalu menelpon ibu. Tapi sial tidak ada jawaban!

July
Maaf Rome, itu ada di hasil tes darahnya dua minggu lalu. Dia masuk pagi ini.

Rome
Kamu kok bisa tahu?

July
Karena aku dokternya.

Rome
Apa? Kamu dokter!? Bagaimana kondisi Tobey sekarang!?

Astagaaaaa Tobey, kenapa kau ini kawan!

July
Iya, itu tidak penting. Yang Tobey butuhkan hanyalah dukungan dari teman dekatnya Rome.

Rome
Jaga dia! Aku pulang besok atau lusa, akan ku usahakan cepat. Tolong July rawat dia..

July
Akan ku lakukan semampuku, baiklah Rome. Maaf aku harus kembali bekerja.

Tanpa buang-buang waktu aku langsung memesan tiket pesawat via sebuah aplikasi dari handphoneku. Kutelpon ibu sekali lagi, masih tidak ada jawaban. Sial!


Dear GodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang