Aku lagi, dan prinsipku yang goyah cuma gara-gara air mata dari seorang Juliet.
Aku mengaku kalah di hadapan July. Saat ini wajahku masih menatapnya dengan ekspresi mukaku yang tampak bodoh. July menghapus air matanya perlahan dimulai dari pipi sampai kantung matanya. "Sejak kapan disitu?" tanyanya, astaga aku bingung mau jawab apa. "Maaf sebenarnya aku..." belum selesai bibirku berucap, July lebih dulu berkata "ya sudahlah, kamu sudah disini." eh, syukurlah. July tidak perlu tahu kalau aku menguping pembicaraannya dengan Bluez. "Kenapa menangis?" dia memiringkan kepalanya, pipi July memerah ditanya seperti itu olehku. "Tidak apa-apa, oh ya. Rome, aku turut berduka cita atas meninggalnya ayahmu. Sabar ya..." tangan lembut July merangkul, dan memelukku. Tapi soal ayah, dia tahu dari mana? "Siapa yang bilang Jul?" tanganku menyambut dan membalas pelukannya. "Tobey, dia yang memberitahukanku lewat sms." ternyata Tobey, tak heran kalau dia tahu tentang itu. Rumahnya ada di depan rumahku, mungkin tangannya masih sakit sehingga dia tidak sempat hadir ke rumah duka. "Iya Jul, kebetulan Tobey tetanggaku. Aku sejujurnya penasaran, kenapa kamu menangis?" July mendaratkan dahinya di bahuku, dia kembali menangis terisak-isak. "Kakakku, Mia. Dia meninggal karena over dosis saat berpesta narkoba bersama temannya jam 7 tadi. Sebenarnya aku akan pergi ke upacara pemakamannya, tapi tidak bisa karena ayah tidak mengijinkan aku pergi sendirian. Dia menyuruhku supaya ada teman yang menemaniku kesana." jelas July, aku menelan ludahku saat itu juga. Lagi-lagi karena narkoba.
Sepertinya akhir-akhir ini banyak kasus kematian karena itu, belum lama Abby meninggal, sekarang Mia kakak July.
"Astaga, aku menyesal telah bertanya. Sabar ya July. Aku mengerti apa yang sedang kamu rasakan saat ini. Jadi kamu mau pergi? Ini sudah larut, mau pergi bersamaku? Aku janji tidak akan macam-macam." July melepas pelukannya. "Kamu mau? Serius?" aku mengangguk saja. "Iya kalau itu tidak membuatmu risih pergi bersamaku." July tersenyum melihatku kemudian dia menggapai tanganku. "Terima kasih Rome, untung kamu muncul tiba-tiba begini. Masuk lewat jendela saja, kalau pintu aku takut ada orang lihat." aku yakin yang dia maksud adalah Bluez, aku tahu sifat Bluez yang suka penasaran itu. Jadi aku masuk ke rumah July lewat jendela. "Sama-sama Jul, kapan kita berangkat?" July mengusap wajahnya. "Tunggu di ruang tamu ya, aku ganti baju dulu sebentar. Kalau kamu haus atau lapar ada makanan di kulkas. Jangan gugup ya nanti." Huh... Sejujurnya aku gugup sekali.
Tanganku kembali kedalam saku jaketku, menghembuskan nafas seraya berkata. "Malam ini bukan malam untuk berandalan."
•••Kutunggu July di ruang tamu, terlebih dahulu kuambil minuman dari kulkas. Tak sengaja kulihat sebuah cokelat dalam kotak yang dibungkus sangat rapih sedemikian rupa, mereknya sangat tak asing bagiku. Heh... Benar saja, ini dari buatan pabrik cokelat milik keluarga Bluez, tapi kenapa aku tidak lihat Bluez memberikannya? Ah, cokelat ini bisa menjadi alasan untuk pertanyaanku pada July.
Tak lama kemudian July keluar dari kamarnya dengan baju serba hitam. "Rome, kamu juga ikut ganti baju. Tidak mungkin kita ke pemakaman dengan jaket merahmu itu?" July meledekku dengan senyumnya, dia benar juga. "Bluez datang kemari?" July mengangkat bahunya. "Dia tadi kesini, mangkanya kamu aku suruh masuk lewat jendela. Aku memang suka cokelat, tapi aku lebih suka dark cokelat yang tidak ada kandungan susunya. Aku alergi susu sejak kecil, jadi cokelat itu belum aku sentuh sejak kemarin." kalau sejak kemarin berarti Bluez sudah sering mampir kesini. "Bluez berapa kali berkunjung Jul?" July membuang nafasnya "baiklah sepertinya aku harus memberitahukanmu, tapi di mobil ya. Sekarang segera ganti baju, aku sudah menyiapkannya untukmu" oke, aku juga penasaran soal maksud dan tujuan kedatangan Bluez. Jadi supaya cepat aku langsung masuk kamar July lalu mengganti seluruh pakaianku dengan baju dan celana serba hitam untuk simbol berduka cita dan supaya lebih membaur di upacara pemakaman nanti.
•••
Akhirnya aku dan July berangkat ke rumah duka terlebih dahulu. "July, kenapa kakakmu tidak dimakamkan besok pagi saja?" July mulai menginjak pedal gas. "Ayah mau cepat-cepat melaksanakannya Rome, ibuku suka histeris kalau melihat kondisi kakaku. Mereka punya kepercayaan kalau mayat yang lama tidak di kubur. Ruhnya akan tersiksa, jadi kakakku dikuburkan sekarang." jelas July sambil masih menahan air matanya. "Tapi bukannya orang tuamu ada urusan kerja ke luar negeri?" tanganku mengelus-elus bahu July seraya agak dia lebih tenangan. "Mereka seharusnya kembali pagi ini ke rumah, namun lebih dulu mampir ke rumah kakakku. Sesampainya disana kakak malah tidak ada, dan mereka baru mendapat telpon dari polisi jam delapan malam tadi. Aku heran Rome, apa enaknya menjadi pecandu? Hidup tersiksa, uang habis untuk membeli obat-obatan haram itu. Dulu sudah banyak teman-temanku yang mati, sekarang kakakku sendiri! Sialan! Mudah-mudahan kamu menjauhi narkoba ya, Rome." tanganku lemas saat selesai mendengar kata-kata July, aku cuma mengangguk pelan. "Ada apa? Apa aku salah bicara?" kalau aku masih terlihat lemas begini July akan mencurigaiku, dia tidak boleh tahu saat ini. Jangan sampai. "Tidak ada, kakakmu tidak diotopsi? Untuk lebih lanjut?" July mengangkat alisnya. "Baguslah, Mia sudah ketahuan mati over dosis Rome. Jadi tidak perlu melewati proses otopsi." akhirnya dia teralihkan. "Hmm, begitu ya..."
"July kalau perjalanan masih panjang dan kamu capek, biar aku yang gantikan. Tapi kamu beri tahu aku kita kemana dan lewat mana, oke?"
"Oke Rome." jawab July singkat.
"Sebenarnya aku masih penasaran hubunganmu dan Bluez." July terkisap, dia baru ingat kalau akan menceritakan semuanya. "Hahaha, maaf Rome. Aku terlalu larut dalam keadaan ini. Jadi Bluez itu beberapa kali mendekatiku di kelas maupun datang ke rumah. Tetapi cuma sekali kunjungannya yang kuperbolehkan masuk, setelah itu tidak lagi. Aku kurang suka dengan gelagatnya, sepertinya dia playboy walau aku akui dia baik dan perhatian. Beda denganmu Rome." July melirikku dengan senyum lebar. "Beda apanya?" pandangan July kembali fokus ke depan. "Kamu bukan playboy, kamu laki-laki baik walaupun kita baru kenal." oh tidak jangan sebut aku baik. "July aku bukan laki-laki baik." kataku cepat, July sedikit terkejut. "Maksudmu?" kutatap July walaupun matanya masih memperhatikan jalan. "Aku tidak sebaik Bluez. Aku bahkan jauh beda darinya." July tertawa kecil mendengar kata-kataku. "Hei Rome ingat, kamu baik. Oke? Jangan protes ya... Aku punya penilaian khusus untuk kamu"
"Penilaian khusus?"
"Iya, penilaian. aku rasa kalau kita pacaran aku adalah wanita beruntung"
Ayolah July, janga siksa aku dengan pujianmu. Aku hanya terdiam.
"Kenapa diam?" tanya July. "Aku kesal kalau kau menyebutku baik." July lagi-lagi tertawa, kali ini lebih keras lagi. "Kamu benar-benar pria baik. Karena cuma pria jahat yang terima disebut pria baik."
"Kamu berlebihan." kataku ketus.
"Tuhkan aku benar."