Aku menyadari kalau aku tidak pernah berpikir sebelum bicara. Jadi mulai saat ini aku akan lebih menjaga bicaraku.
•••
Sesampainya di Rumah, aku melihat ibu tengah berpikir sambil merokok. Kerasukan apa dia? Tumben sekali berpikir. Kukira otaknya tidak ada.
"Kau sudah pulang?" sapanya. "Menurutmu?" jawabku ketus, ibu berbalik badan lalu membuang puntung rokoknya. Dia berdiri di depanku, melepaskan jaket dan tasku. "Mandilah, ibu memasak makanan untukmu." aku terbelalak dengan kelakuannya hari ini.
- dia tidak pernah membangunkanku tidur.
- dia paling malas menyapaku lebih dulu.
- dia tidak pernah berpikir.
- dia tidak pernah membereskan dan mencuci pakaianku.
- terakhir kali dia memasak adalah sejak usiaku masih dua tahun. Dan yang terakhir dia tidak pernah membereskan Rumah.Namun sekarang yang aku lihat, dia mandi. Terlihat lebih segar. ya... walaupun masih merokok.
"mabuk, bu?" tanyaku meledeknya, dia menatapku tajam. "Rome, aku ingin kau tahu. Kami berdua memang brengsek! Tetapi brengsek bisa berubah." terserahlah, aku tidak percaya dengan kata-katanya. "Brengsek itu jago berbohong, bu." tanpa pikir panjang ibu menamparku keras, pipiku langsung memerah. "Siapa yang mengajarkanmu kata-kata itu?" aku tertawa. "Kau, bersama ayah." aku langsung masuk kedalam kamar mandi. Wajah ibu terlihat malu dengan perbuatannya, terdengar dari kamar mandi dia cuma duduk sambil menunggu masakan buatannya matang.
Tunggu, aku teringat sesuatu. Aku langsung keluar dari kamar mandi. "Kau membereskan kamarku?" ibu mengangguk iya. Sial, sial, sial jarum suntik ku! Tanpa pikir panjang lagi aku pergi ke kamar, benar saja. Keadaanya bersih tidak berantakan seperti biasa. Ibu mendekatiku, dia bersender di pintu sambil menyulut rokoknya.
"Tidak kusangka kau memakai narkoba." benar ternyata, nenek peyot ini membereskannya. "Kemana jarumku? Kemana!?" ibu tertunduk, dia meniup asap rokoknya ke bawah. "Aku buang, sekarang jawab pertanyaanku. Dari mana kau dapat benda haram itu?" mataku menyorot padanya tajam. "Apa perdulimu? Kemana kau buang jarum suntik ku?" ibu mengangkat bahunya. "Lenyap, aku bakar." tanganku mengepal keras, aku ingin menghajarnya sampai mati. Lalu setelah tanganku sudah hampir melesat. Ibu tampak santai. "Hajar saja aku, aku tahu aku salah. Aku tidak pandai mendidikmu menjadi anak baik." tanganku berhenti, air mata ibu menetes. "Diam kau brengsek!!!" bentak ku, ibu mengelap air matanya. "Aku memang brengsek, sudah ku katakan sejak awal. Dengar Rome, kalau kau benci dengan brengsek sepertiku. Lalu kenapa malah kau menjadi brengsek? Sanggupkah kau membenci dirimu sendiri?" kuhempaskan tanganku kebawah, lalu melewatinya. "Persetan, kalian mana preduli denganku." dengan cepat kusambar lagi jaketku, lalu pergi ke luar Rumah. Ibu cuma tersujud lemas di depan kamarku. Aku tidak mau tahu bagaimana keadaannya.
•••
Hari semakin malam. Aku tidur meringkuk di pinggir jalan seperti gelandangan. Ada keinginan untuk pergi ke Rumah Bluez sebenarnya, namun aku enggan kesana. Aku masih malu mengingat kejadian siang tadi.
Malam nanti entah aku bisa menang atau tidak, aku ragu. Tetapi sudah pasti Black menyiapkan mesin terbaiknya untukku.
Aku mulai lapar lagi, bulan ini aku kurang makan. Dan sepertinya juga aku telah merusak tubuhku dengan obat-obatan itu. Tetapi kalau tidak ada peralatanku, apa gunanya obat ini? Sialan!
•••
Astaga, sudah jam sepuluh malam. Aku harus tepat di tempat Black jam 12 tengah malam. Dengan kondisiku yang sekarang, aku tetap tidak yakin bisa sampai disana. Aku terlalu pusing. Argh, lututku gemetar. Aku berhenti di depan kios burger. Ah enaknya punya banyak uang...
Tidak, biar buruk aku tidak pernah mencuri. Aku harus cepat sampai di tempat Black. Aku harus sampai!
•••
Sudah setengah jalan payah! Aku harus kuat! Argh... Huh... Tubuhku menggigil lagi, aku tidak tahan. Aku... Mataku buram, mataku tidak bisa melihat apa-apa. Aku bisa! Jangan menggigil sekarang keparat! Jangan sekarang! Aku melepas jaketku, lalu menggigitnya dan tetap mencoba berjalan. Tanganku meraba dinding jalanan sambil tetap menggigit, aku tidak perduli dengan banyak orang yang melihatku. Tatapan mereka, aku benci tatapan itu. Seolah aku orang terkotor di dunia, memangnya siapa mereka? Dosa mereka juga tidak kalah banyak denganku.
Sepertinya semua makhluk di bumi ini tidak ada yang mendukungku, kali ini hujan. Sial kenapa harus hujan!? Tubuhku makin dingin Tuhan, jangan siksa aku. Aku mohon...
Tubuhku sudah tidak tahan lagi, ini terlalu dingin. Mataku melihat kesamping, menelusuri keadaan dan mencari tempat untuk berteduh. Namun sejauh apapun mencari yang ada disini cuma Rumah-rumah besar. Aku sungguh tidak kuat menahan. Akhirnya tubuhku ambruk menghujam bumi, tanganku lemas, kaki ku sudah tidak bisa berdiri. Aku menggeram kedinginan, menggigit jaketku juga sudah tidak berguna lagi! Tanganku terus menghujam tanah melampiaskan kekesalanku, tidak ada satu pun orang yang menolongku. Padahal mereka lalu-lalang melewatiku. Astaga, beginikah rasanya orang terbuang? Atau memang rasa kepedulian semua orang di dunia sudah sirna? Entahalah... Yang jelas banyak keparat disini!
"AAAAARRRRGGHH!!!!!!"
Tuhan, sepertinya aku akan mati sebentar lagi. Tetapi kenapa aku belum melihat tanda-tanda kehadiran malaikatmu?
Tidak, aku salah. Aku melihat malaikatmu sedang menjemputku. Sial, aku benar-benar akan mati.
